Rabu, 24 Oktober 2012

Secuil Vietnam di Batam

Ada nisan-nisan berjajar di lahan pemakaman yang tidak terlalu luas, bangunan-bangunan yang dibiarkan rusak dan lapuk, sebuah replika kapal kayu yang teronggok janggal di daratan, serta gereja dan vihara berlabel nama bahasa Vietnam. Semua dibiarkan menua dan memberikan kesan tak lagi digunakan. Atefak-artefak di Kamp Pengungsi Vietnam ini berperan mulia sebagai peringatan akan tragedi kemanusiaan yang pernah menimpa Indocina, yang semoga tidak pernah terulang lagi.

Jembatan Satu Barelang. Dari Pulau Batam ke Pulau Galang tidak hanya Pulau Rempang yang harus dilalui, ada pulau-pulau kecil lain. Jadi jembatan antarpulaunya pun ada beberapa.

Untuk mencapai Kamp Pengungsi Vietnam, dari kota Batam tinggal ngebut 1 jam melewati jalanan yang cenderung lengang dan beberapa jembatan menuju Pulau Galang. Nanti di sebelah kiri jalan ada gerbang penanda pintu masuk menuju kawasan yang kini dijadikan objek wisata, Kamp Pengungsi Vietnam Pulau Galang atau Vietnamese Refugee Camp Pulau Galang. Anggaplah gerbang ini seperti pintu antardimensi waktu yang akan membawa kita kembali ke tahun 1975-1996, saat lokasi ini menjadi rumah bagi para pelaku eksodus dari Indocina.

Sekarang kata Indocina seringkali dipakai untuk Laos, Kamboja dan Vietnam. Disebut Indocina karena ketiga negara Asia Tenggara tersebut terletak di antara India dan Cina. 

Menurut catatan sejarah, tahun 1975 adalah tahun yang kacau bagi Indocina. 
30 April 1975, Perang Vietnam berakhir dengan jatuhnya Saigon (sekarang Ho Chi Minh City) ke tangan Vietnam Utara dan Viet Cong. 
Pada April 1975 juga, Pnom Penh, ibukota Kamboja jatuh ke Rezim Khmer. 
Kemudian di penghujungnya, gerakan politik kelompok komunis Pathet Lao di Laos menggulingkan kekuasaan Kerajaan Laos. 
Setelah kejadian-kejadian ini, warga negara Indocina dipenjara di kamp-kamp indoktrinasi politik yang intensif. Kesengsaraan, kemiskinan, dan kelaparan yang tidak jarang menyebabkan kematian  mendorong para tahanan untuk kabur meninggalkan  kamp. Mereka mengarungi laut lepas dengan kapal kayu yang dimuat melebihi kapasitas. Mungkin mereka tau ini membahayakan jiwa dan melanggar hukum, tapi mereka tidak punya pilihan.


United Nation High Commissioner for Refugee (UNHCR) adalah badan PBB yang bertugas memimpin dan mengkoordinir gerakan internasional yang bermaksud melindungi pengungsi dan menyelesaikan masalah pengungsian di seluruh dunia. UNHCR mendirikan Kamp Pengungsi Vietnam di Pulau Galang ini bagi sekitar 250.000 orang pengungsi. Banyak cerita-cerita sedih dari tanah ini, seperti keputusasaan yang berujung pada bunuh diri, kriminalitas yang tinggi, hingga aksi bunuh diri massal saat para pengungsi diberi tau akan dikirim kembali ke negara asal mereka.


Nu Vuong Vo Nhiem Nguyen Toi Gl II


Sakyamun Sinam Galang KV Vientu

Dan inilah hasil peradaban mereka sebagai sebuah kelompok manusia. Ada vihara yang berdiri berdampingan dengan sebuah gereja atau kapel, namun semua berpapan nama dalam bahasa Vietnam. Ada pula beberapa bangunan rumah tinggal yang dibiarkan terlantar, katanya sih perkakas-perkakas rumah tangga masih dibiarkan di dalamnya. Arsitekturnya memang tidak bisa dibandingkan dengan bangunan-bangunan di sekelilingnya karena kawasan ini memang ada di antah berantah, tapi tertangkap kesan yang berbeda. Saya tidak bertanya, apakah para pengungsi yang membuat sendiri patung-patung Buddha di vihara, tapi saya sudah cukup speechless dengan mendengar cerita dan menyaksikan langsung apa yang ada di hadapan saya di kawasan ini. Bahkan di kondisi jasmani dan rohaninya yang serba terbatas, manusia akan tetap survive.

Kalau mau eksplor sedikit, ada artefak-artefak lain di balik semak!


Lebih banyak foto di sini




gambar-gambar diambil dengan SLR Analog Minolta Dynax 5 kesayangan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar