Kamis, 31 Januari 2013

Penjaga Tradisi di Batas Negeri


Penjaga tradisi di batas negeri?
Ya, ini ada sedikit foto dan cerita saya tentang kunjungan ke Suku Matabesi di Atambua, Nusa Tenggara Timur. CMIIW - Bisa dipastikan Matabesi adalah komunitas adat di negeri kita yang terletak paling Timur di Pulau Timor, dekat sekali dengan perbatasan Indonesia-Timor Leste. Jadi nanti kita juga main-main sebentar ke garis perbatasan.

Kupang menuju Atambua ditempuh dengan maskapai berkapasitas kecil Susi Air. Pesawat yang kami tumpangi tidak terbang terlalu tinggi, jadi saat cuaca cerah, sepanjang penerbangan bisa menikmati horison yang indah seperti ini. Pesawat juga terbang tidak terlalu stabil, agak oleng, namanya juga pesawat kecil, jadi hati-hati bagi yang mudah mabuk udara :D.



Cari-cari lewat googling di Internet, ini dia pesawat yang kami tumpangi ke Atambua : Cessna 208 Caravan. Ternyata pesawat ini banyak lagi jenisnya, dan setelah cari-cari lebih mendalam ternyata yang kami tumpangi adalah Cessna C208B Grand Caravan.



Kenapa ada beberapa orang yang mudah dibuat jatuh cinta sama gugusan kepulauan Sunda kecil? Mungkin karena medannya yang khas, hutan kering tropis Indonesia.



Cessna C208B Grand Caravan ini hanya berkapasitas 12 penumpang saja. Sebelum naik pesawat, berat bawaan dan bobot tubuh ditimbang terlebih dahulu. Bukan tidak mungkin kelebihan massa bagasi terpaksa harus ditinggal terbang dan cari jalan lain (jalur darat) untuk bisa sampai Atambua. Nah kelebihan berat badan yang akan repot ditanggulanginya.


Suku Matabesi bermukim di Dusun Lidak, Kabupaten Belu, Atambua Selatan , Nusa Tenggara Timur. Hanya 15-20 menit dari pusat kota Atambua, Dusun Lidak terletak di daerah perbukitan berbatu.
Matabesi adalah sub (bagian) dari suku terbesar di Pulau Timor, yaitu Suku Belu. Konon Matabesi ini adalah sebuah kerjaan yang dikembangkan secara bersama-sama oleh penjelajah Malaka dengan para penduduk lokal.


Dusun Lidak terletak agak tinggi, yaitu di daerah perbukitan batu. Saat matahari terbit, kami dapat mengintip Matahari yang mengendap-endap datang dari balik perbukitan sana. Karena terletak di atas bukit, udara di sini sejuk, tapi kalau malam anginnya cukup kencang dan menjadikan suhu udara turun.


Tatanan kompleks tempat tinggal, artefak dan tradisi masih sangat dijaga ketat oleh adat Suku Matabesi yang diwariskan turun temurun sejak jaman leluhurnya. Kampung Lidak ini pun terasa berbeda dengan kehadiran artefak dari batu-batu besar seperti kubur batu, mezbah/altar persembahan dan simbol-simbol. Rumah-rumah pun masih sangat tradisional, ada rumah peninggalan pemangku jabatan penting di masa lampau (raja dan Perdana Menteri) hingga rumah penduduk dengan tipe yang lebih sederhana. Tidak hanya itu, ada juga pohon-pohon tua berdiameter besar-besar, saksi bisu peradaban suku ini, yang turut menjadikan saya berpikir kalau pada perjalanan Suku Matabesi yang selama ini pasti ada nilai penting yang mereka pertahankan lewat tradisi.


Sumur ini adalah Wei Tuan. Dalam bahasa setempat yaitu Bahasa Tetun, Wei Tuan artinya Air Tua. Wei Tuan adalah warisan berupa sumber air utama bagi kelangsungan hidup kampung. Keberadaan Wei Tuan sangat penting bagi Suku Matabesi karena satu kampung berbagi hanya dari satu mata air ini. Dan siapapun tamu yang datang harus singgah di sumur ini untuk melalui proses dipercik dengan air dari sumur. Mereka percaya percikan air sebagai simbol membersihkan tamu dari segala keburukan yang dibawa dari luar.


Lakumatebian: Ritual adat berkurban babi & berdoa utk kemakmuran bersama dlakukan di atas kubur batu (Rate) leluhur. Setelah babi dikurbankan, darah babi yang tecurah dikumpulkan oleh pemangku adat pemimpin ritual. Seluruh warga kampung berbaris menunggu giliran dibubuhkan sejari darah tersebut oleh pemimpin ritual di dada atau perut mereka. Daging babi kemudian diolah untuk dinikmati seisi kampung!

Lakumatebian dilakukan sebelum musim menanam dimulai sebagai wujud pengharapan agar ladang mereka berhasil. Ladang memiliki arti penting bagi mereka, karena sebagian besar dari apa yang dikonsumsi kampung adalah hasil produksi ladang mereka sendiri.

Tais Feto (kain tenun berukuran besar) & Tais Oan (kain tenun yang berukuran lebih kecil berupa selendang) adalah kain adat khas Suku Matabesi. Kebanggaan akan tradisi & warisan leluhur yg datang dari seni berbusana, bagian dari kekayaan Indonesia yang tidak pernah ada habisnya.


Suku Matabesi mempertahankan adat bukan hanya sebagai penghormatan kepada leluhur mereka tetapi juga alat pemersatu suku. Tradisi benar-benar jadi kebanggaan masing2 warga. Warga Matabesi tidak tertutup kepada perubahan dan modernitas, tapi hidup modern tidak membuat orang tidak melihat mereka sebagai Orang Matabesi kan? Setidaknya itu yang saya lihat.


Main-main ke Perbatasan Indonesia-Timor Leste


Cuma sekitar 15-20 menit perjalanan darat menggunakan mobil dari Dusun Lidak ke perbatasan. Ini adalah pagar pembatas Negara Timor Leste, yang dulunya pernah jadi saudara sebangsa dan setanah air kita.
Minuman beralkohol beragam merk dijual dengan harga paling miring di sini. Dijualnya pun di toko kelontong!


Background adalah Pintu Gerbang masuk Indonesia dari Atambua. Garis kuning di dasar adalah garis pembatas negara Indonesia dengan Timor Leste. Entah kenapa keberadaan Si Pintu Gerbang dan Garis Kuning memancing hasrat untuk foto aneh-aneh.


Sampai jumpa lagi Atambua, kapan-kapan saya datang lagi berkunjung!

Jumat, 04 Januari 2013

Talang Mamak : Pets at Their Best

Sejak kapan manusia memelihara binatang sebagai teman (bukan sebagai pekerja)?
Entah darimana datangnya tiba-tiba saya langsung mengetik keywords "history of keeping pets" di Google. 

Jadi begini katanya.

Sejarah peradaban manusia mencatat kegiatan memelihara binatang untuk kesenangan sudah dimulai sejak Jaman Romawi Kuno. Anjing diperkirakan adalah binatang peliharaan pertama di dunia, karena sudah sejak dahulu kala dijinakkan manusia. Anjing dan burung menjadi binatang yang umum dipelihara untuk kesenangan pada Jaman Romawi. Begitu juga kucing dan kuda, walaupun dua hewan ini masih dipekerjakan.

Abad ke-7 peradaban Cina kemudian mencatat ikan mas koki (goldfish) sebagai peliharaan para biksu Buddha di kolam kuil mereka. Budaya ini berlanjut di Cina, hingga abad ke-14, jenis ikan ini kemudian dipelihara di akuarium bulat di dalam rumah.



Berlanjut ke jaman pertengahan (Middle Age), para penyihir juga identik dengan kepemilikan kucing sebagai peliharaan.

Sejarah juga mencatat mulainya kebiasaan memelihara hewan pengerat di tahun 1500-an. Guinea Pigs (mirip hamster) aslinya berasal dari Amerika Latin. Hewan ini dibawa penjelajah Spanyol ke Eropa hingga akhirnya mendunia, bahkan Ratu Elizabeth I pun pelihara Guinea Pigs!
Lukisan Queen Elizabeth I oleh William Segar.

Dan hubungan manusia dan hewan sebagai binatang peliharaan berlanjut hingga sekarang. Ada yang pelihara reptil purbalah, anjing super minilah, sampe binatang langka yang sebenarnya dilindungi. Sejarawan sih bilangnya cuma orang berduit yang bisa punya hewan peliharaan.

Tapi saya jadi ingat tujuan ekspedisi saya tahun 2007 silam, Dusun Tuo Datai, dusun Suku Talang Mamak terhulu di Batang Gangsal, Riau. Ini beberapa binatang engga biasa yang jadi teman mereka.

  Majikan kecilnya asik mengasah bilah bambu jadi mainan, sementara binatang yang entah tupai entah cecurut ini setia menunggu. Ekornya seperti tupai tapi moncongnya lancip seperti cecurut, tinggalnya pun di lubang-lubang tanah! Sore itu kakak-beradik ini mengasuh adik bungsunya sambil membawa Si Peliharaan jalan-jalan.

 Kalau yang ini peliharaan Bapak Dukun Desa, tukang mengobati seisi dusun. Seekor tupai berbulu hitam-coklat-putih dan memakai anting berbentuk pendulum dengan motif garis warna-warni. Si tupai ini tidak pernah mau keluar dari rumah Si Dukun. Saking jinaknya saya pun sempat berfoto sama si tupai dan anggota keluarga Pak Dukun, lengkap!


Ini yang mengejutkan, seorang ibu tua yang pelihara anak beruang! Saat berjumpa, Si Ibu mau mengajak beruangnya mandi di sungai. Si beruang layaknya anak girang saja mengikuti Si Ibu ke Batang Gangsal.
Si Ibu bercerita dia menemukan beruang saat masih bayi, ia ditinggal induknya di hutan yang kabur karena takut akan kedatangan Si Ibu dan beberapa orang yang hendak menugal. Saya sebagai anak kota sih mikir apa jadinya kalau si beruang sudah jadi besar, naluri hewan akan tetap naluri hewan kan? Tapi melihat Si Beruang asik bermain sama Si Ibu sepertinya semua akan baik-baik saja.

Dusun Tuo Datai jadi dunia baru buat saya. Dimana lagi saya bisa melihat dusun yang warganya berteman dengan penghuni hutan? Tidak perlu diikat-ikat atau dikandangi. Ya, buat saya ini seperti The Jungle Book yang jadi nyata. Kalau ada kesempatan, mampirlah ke sini.

Bahkan suatu malam pun, warga dusun tetangga datang ke rumah ketua adat tempat kami menginap, untuk membicarakan soal gajah yang mengamuk di kampung mereka. Saya dan teman- teman cuma bisa saling meyakinkan kalau kami engga salah dengar, tetangga mereka memang beruang, gajah dan harimau sumatra. Tidak seperti kita.

Mungkin manusia harusnya memang seperti itu, dekat dengan alamnya. Tidak menjinakkan binatang karena tali ikat atau kandang, tapi karena memang ga ada yang jadi majikan, saling jadi teman aja.

Ah saya jadi merasa beruntung pernah ke sana.

Mamak Beruang
Seorang ibu Suku Talang Mamak mengasuh seekor anak beruang yang ditinggalkan induknya di hutan. Suku Talang Mamak tinggal di tengah rimba Bukit Tiga Puluh Riau. Aneka satwa liar memang sahabatnya. Begitu juga dengan Si Ibu yang sudah menyayangi Si Beruang layaknya anak, lebih dari sekedar sahabat. Mungkin memang begitu adanya, kasih sayang tidak melihat rupa, ia hanya perlu dibagi dan dirasa.
Tulisan ini terinspirasi oleh tema dan dibuat untuk berpartisipasi dalam Turnamen Foto Perjalanan Ronde 10.