Selasa, 09 Oktober 2012

Kami dan Penguasa Belantara Bukit Tiga Puluh (Bagian 1)



Catatan Ekspedisi Pengamatan Masyarakat Tradisional
Suku Talang Mamak – Dusun Tuo Datai, Propinsi Riau
MAHITALA – UNPAR 2007

Perjalanan darat menuju Dusun Tuo Datai melalui Simpang Pendawa, Riau.
Dok. Ekspedisi PMT Suku Talang Mamak Mahitala Unpar





Perjalananmenuju Dusun Tuo Datai yang merupakan pemukiman Suku Talang Mamak itu mulaimemasuki malam hari. Langkah kaki kami kini hanya ditemani lampusenter dan headlamp serta ramainya bunyi-bunyian binatang rimba Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Perjalanan menembus hutanbelantara yang hanya berjarak kira-kira empat kilometer itu harus dilalui dalamwaktu lima jamlebih karena beban logistik yang kami bawa memang terhitung banyak. Kebutuhanperbekalan enam hari untuk tinggal bersama Suku Talang Mamak memaksa kamimembawa ransel tidak hanya di punggung, namun juga di bagian depan badanmasing-masing. Sungguh sebuah perjalanan alam bebas yang penuh tantangan.

Tantangan berikutnya datang setelah kamimelakukan perjalanan sekitar lima jam. Saat itu sudah pukul delapan malam danjalan setapak yang menjadi panduan kami memasuki dusun tiba-tiba saja terputusoleh seluas lahan hutan yang habis terbabat dan terbakar. Ternyata lahan inisengaja dibabat dan dibakar oleh Suku Talang Mamak yang merupakan penghunilokal hutan tersebut untuk dijadikan ladang menugal (menanam padi). Pemandangandi hadapan kami saat itu hanyalah batang-batang pohon berdiameter sangat besarbekas tebasan yang melintang di sana-sini dengan warna kehitaman karenadibakar. Sesaat, kami kehilangan orientasi di tengah-tengah rimba TamanNasional Bukit Tigapuluh.

Bapak Lancar, pria Suku Talang Mamak asalDusun Durian Cacar yang menemani perjalanan kami memasuki Dusun Tuo Datai puntidak kalah bingungnya dari kami. Bersama dua orang anggota tim kami, beliaumerambah sudut-sudut ladang menugal untuk menemukan kembali akses masuk keDusun Tuo Datai. Sementara mereka mencari, beberapa anggota tim lain membuatapi di tengah-tengah ladang menugal itu dan mulai memasak makan malam karenasaat itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

Hampir tersesat di tengah hutan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.
Dok. Ekspedisi PMT Suku Talang Mamak Mahitala Unpar

Barulah setelah makan malam, kami berhasilmenemukan kembali jalan setapak yang terputus itu. Perjalanan melelahkan namunpenuh ketegangan itu akhirnya berakhir di sebuah dusun mungil di tengah rimba.Dusun ini amat menyerupai sebuah resortdengan cottage-cottage yang memiliki tanah lapang di bagian depannya. Sangatnyaman dan sangat alami.

Ya, inilah dusun yang menjadi mimpi kamiberenam. Dusun Tuo Datai yang merupakan pemukiman bagi Suku Talang Mamak,komunitas masyarakat adat yang terkenal karena kearifan masyarakatnya menggunakansegala sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kami berasal dari program studi yangberbeda di Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR). Bersama-sama, kamitergabung dalam unit kegiatan mahasiswa pencinta alam UNPAR yaitu MAHITALA.Sejak 1974, MAHITALA telah melakukan berbagai bentuk perjalanan alam bebas kesejumlah daerah di Indonesia. Dan kini di tahun 2007, kami berenam memutuskanuntuk melakukan sebuah perjalanan pengamatan masyarakat tradisional kepemukiman Suku Talang Mamak di Dusun Tuo Datai, Taman Nasional Bukit Tigapuluh,Riau. Selain memiliki nilai adventuredari segi perjalanan, kehidupan tradisional dari Suku Talang Mamak yang masihsangat bergantung dari alam pun menjadi alasan yang memancing penasaran kamiuntuk menyaksikan langsung keunikan ini.

Adalah Bapak Sidam atau yang akrab kamipanggil Pak Katak, ketua adat Suku Talang Mamak di Dusun Tuo Datai. Sosoknyasangat bersahaja – seorang pemimpin yang bijaksana dan tegas, namun juga rendahhati dan humoris. Malam itu kami tiba di Dusun Tuo Datai pukul 11 malam danlangsung menuju rumah panggung Sang Ketua Adat di ujung dusun. Malam itu dusunsudah sangat sepi, pintu rumah-rumah panggung yang kami lalui sudah tertutuprapat. Maklum kehidupan suku Talang Mamak yang masih jauh dari sentuhanteknologi dan listrik membuat mereka tidur malam lebih cepat, pukul delapanatau sembilan malam semua orang di dusun ini sudah bersembunyi di balik kelambumereka. Kami hanya berpapasan dengan beberapa orang pemuda yang pulang mencariikan di Batang Gangsal. 
Pak Katak, pemimpin komunitas adat Talang Mamak di Dusun Tuo Datai.
Dok. Ekspedisi PMT Suku Talang Mamak Mahitala Unpar
Sesampainya di rumah Pak Katak, kamilangsung diundang masuk ke dalam rumah tinggalnya yang terhitung lebih besardari rumah-rumah lain di dusun itu. Kami memperkenalkan diri kami satu persatu,kemudian menjelaskan maksud kedatangan kami berenam ke Dusun Tuo Datai.1)Obrolan kami malam itu berjalan dengan sangat santai dan mengasyikkan. Kamibercerita bagaimana kami mengidam-idamkan untuk sampai di dusun ini sejak empatbulan yang lalu, yang disambut takjub dan tersanjung oleh Pak Katak danistrinya setelah mengetahui apa-apa saja yang kami kerjakan untuk dapat sampaidi sana, mulai dari pengumpulan dana, persiapan fisik, perencanaan operasionalhingga perjalanan antar pulau yang kami lalui. Sebenarnya mereka sendiri tidakmengerti peta, sehingga mereka pun tidak tahu dimana Bandung, dan dimana Riauserta bagaimana perjalanan yang kami lalui. Namun begitu mendengar kami datangdari pulau lain dan menyeberangi lautan, mereka langsung terheran-heran dantakjub. Malam itu juga kami menyerahkan sebuah sarung untuk Pak Katak, sebuahkain untuk istrinya, tembakau dan papir, serta garam. Pemberian ini merekaterima dengan senang hati, lebih-lebih lagi saat diberi tembakau yang kamiperkenalkan sebagai tembakau Jawa, Pak Katak dan istrinya dengan sangatantusias langsung mencobanya. Maklum saja, Suku Talang Mamak terkenal sebagaisuku perokok, mulai dari anak kecil, pria, dan wanita sangat fasih dalam halmerokok. Untuk kebutuhan ini, mereka menanam sendiri tembakau di hutan,sedangkan untuk papirnya mereka gunakan daun sirih.

Obrolan itu akhirnya berakhir setelah PakKatak mempersilahkan kami untuk beristirahat. Di ruang tengah rumahnya yangmemang kosong, kami tidur beralaskan tikar melepaskan lelah perjalanan 11 jamyang kami lalui siang harinya.

Bersambung ke bagian 2 




1) Bahasa yang digunakan SukuTalang Mamak adalah Bahasa Melayu, sehingga tidak terlalu sulit melakukandialog dengan mereka. Untuk beberapa kosa kata yang sulit dimengerti baik olehkami, maupun masyarakat Talang Mamak, komunikasi kami lakukan dengan isyarat,atau penjelasan-penjelasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar