Minggu, 24 Agustus 2014

Bab Pertama : Kesabaran


Saya ingat mencengkeram sangat erat lengan kirinya lalu menariknya hingga berhadapan muka dan muka dengan saya. Saya juga ingat menegur keras murid saya ini untuk mendengarkan kata-kata saya yang menyuruhnya berhenti berlarian keliling kelas saat pelajaran berlangsung.

Dalam pegangan saya, Si Anak seketika meringis, lalu terduduk di lantai kelas. Jangankan menatap muka saya yang tengah memarahinya, melirik sedikitpun dia tidak berani. Dia terus memaksa kepalanya tunduk dan mulai menangis. Sambil terus memeringatinya, saya menarik lalu mendudukannya di kursi yang sejak hari pertama tidak pernah betah ditempatinya untuk sedetik pun. Dan di hari itu saya tahu kalau batas kesabaran yang saya miliki tidak sejauh yang saya bayangkan. Baru saja hari kedua saya mengajar, saya sudah membuat satu murid saya sekarang terduduk takut di kursinya, di kelasnya yang sedari awal saya rencanakan beratmosfer happy learning.

Saya sarjana arsitektur yang sebelumnya berkarir di dunia broadcasting dan tidak pernah terbersit sekejap pun dalam hidup saya untuk menjadi pengajar. Proyek-proyek arsitektur semasa kuliah yang sekalipun bertumpuk-tumpuk harus bisa diselesaikan dalam waktu sekejap, serta tuntutan produksi di industri televisi yang serba kejar tayang membuat saya tidak terbiasa menunggu. Selama ini, kesabaran saya tidak terlatih. Dan kalau perjalanan menjadi Pengajar Muda setahun ke depan ini ibarat buku pegangan belajar mengajar, sepertinya saya tengah membuka bab pertama yaitu tentang Kesabaran.

***

Seumur hidup saya tidak akan pernah melupakan nama siswa yang pertama kali saya marahi sekaligus buat nangis dalam sejarah mengajar saya, yang mungkin hanya sekali-kalinya ini. Namanya Fersi Theon. Dia terbilang kurus untuk anak kelas tiga, tapi tingginya lumayan dibandingkan teman-teman laki-laki di kelasnya. Rambutnya agak plontos dan dia punya kekhasan Indonesia Timur, kulit hitam dan senyum yang sama-sama manis.

Setelah dua hari berturut-turut hanya berlarian mengelilingi kelas, dan tidak menghiraukan sedikit pun kata-kata Pak Guru hingga Pak Gurunya ini naik pitam, sekarang Fersi tertunduk dan menangis di kursinya. Saya berlagak tidak panik sambil terus mengajar seperti biasa, namun kepala saya mendadak dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan. Apakah saya baru saja melakukan kekerasan di dalam kelas? Apakah perbuatan saya barusan menghancurkan kepercayaan Si Murid pada gurunya untuk setahun ke depan? Bagaimana membuatnya berhenti menangis? Kenapa susah sekali menerapkan happy learning dengan anak-anak ini? Atau jangan-jangan praktek saya mengenai positive discipline salah?

Singkat cerita, hari itu sebelum pulang sekolah saya mengajak Fersi bicara. Saya memberikan pemahaman mengenai alasan saya menegurnya dengan nada sangat keras. Kemudian saya pun mengadakan perjanjian dengannya supaya hal serupa tidak terulang di kemudian hari. Kepalanya menunduk terus seharian ini, tapi ada anggukan kecil tanda dia mengerti.

Keesokan harinya saya mengatur tempat duduk anak-anak di kelas saya dengan sedikit drama anak-anak yang tidak mau duduk bersebelahan dengan kawan lawan jenisnya. Fersi duduk di barisan muka karena saya ingin menaruh perhatian lebih pada anak-anak yang setelah beberapa hari saya amati memiliki karakteristik lebih kinestetis dibanding anak-anak yang lain. Tapi mengherankannya, sejak hari itu dia menjadi sangat tertib. Tidak ada lagi berlari-lari keliling kelas. Tidak ada lagi sikap tidak acuh. Fersi tetiba menjadi anak manis, yang saat saya memberi signal memulai pelajaran dengan sendirinya mengeluarkan sebuah buku dan bolpen dari tasnya dan bersiap belajar. Saking manisnya, saya jadi merasa bersalah. Mengingat teguran saya kemarin, saya jadi berpikir kemungkinan saya bersikap terlalu keras pada anak-anak yang masih kelas 3 SD.

Tapi tidak ada guru yang tidak senang kalau melihat anak-anaknya berperilaku baik.

Lalu tibalah hari itu dimana saya mengajar matematika. Materi hari itu adalah mengenai garis bilangan, dan saya mengajarkan mereka membandingkan dua bilangan dengan notasi lebih besar, lebih kecil dan sama dengan.

Saat berlatih soal, saya menemukan ada beberapa murid yang kesulitan memahami soal membubuhkan notasi-notasi ini. Mungkin karena sebelumnya tugas mereka hanyalah mengisi titik-titik pada soal-soal-soal penjumlahan. Saat titik-titik yang harus mereka isi ada di antara dua bilangan mereka menjadi kurang paham apa yang harus mereka lakukan.

Tidak terkecuali Fersi. Dia jadi anak paling terakhir yang belum juga selesai mengerjakan sepuluh buah soal yang saya berikan hingga bel istirahat berbunyi. Saya setia menunggunya selesai mengerjakan tugasnya itu.
Lima belas menit berlalu, saya mulai mengagumi kegigihannya bertahan di kursinya. Kursi yang tidak tahan didudukinya sedetikpun di dua hari pertama sekolah. Kali ini saya yang mulai tidak kerasan duduk di kursi saya. Saya mulai berjalan mengelilingi kelas. Bahkan Fersi pun tidak terusik dengan pergerakan saya.
Hingga akhirnya dia menengok ke arah saya, mengangkat bukunya dan bilang, “Sudah, Pak!” Segera saya memeriksa pekerjaan tak kenal menyerahnya itu.

Benar saja, Fersi masih bingung mengenai model soal perbandingan bilangan ini. Alih-alih mengisi titik-titik dengan tanda lebih besar, lebih kecil atau sama dengan, dia malah membubuhkan tanda-tanda itu di samping setiap bilangan yang ada. Perlahan-lahan saya menjelaskan kembali apa maksud soal-soal itu dan bagaimana menyelesaikannya, termasuk ekstra tips menjawabnya dengan metode ‘mulut monster’.
Tanda lebih besar (>) dan lebih kecil (<) diibaratkan mulut monster yang sedang terbuka. Monster lebih suka dengan angka yang lebih besar, jadi arahkan selalu bukaan mulutnya ke bilangan yang lebih besar.
Fersi senang dengan analogi ini. Menemukan penyelesaian yang mudah, dia pun tertawa. Karena saya pun puas bisa menanamkan pengertian padanya saya memberikannya tos serta kemudian beres-beres untuk memanfaatkan waktu istirahat yang tersisa.

Herannya, Fersi masih tekun dengan buku tugasnya. Tidak lama dia menyodorkan kembali buku tugasnya, “Sudah, Pak.”

Sudah apalagi kali ini, saya pikir kami sudah selesai dengan soal-soal ini.

Sepertinya itu kali pertama saya dibuat terharu oleh sebuah buku tugas matematika anak kelas 3 SD. Fersi menuliskan ulang secara rapi kesepuluh soal tadi, dan menyelesaikannya tanpa ada salah. Saya ingat betul, bukannya memberikan nilai saya malah mengalihkan pandangan saya pada anak murid saya yang satu ini. Apa yang ada di dalam isi kepala anak ini, ya?

Hari itu saya belajar tentang  Kesabaran. Lucunya, saya mendapat pelajaran itu dari korban ketidaksabaran saya di hari-hari pertama saya mengajar. Seorang anak yang saya tahu lebih senang berlari berkejar-kejaran di kelas memaksa dirinya duduk, mengerjakan soal matematika, mendapati hasil pekerjaannya salah semua, kembali duduk dan menyempurnakannya hingga betul semua.

***


Saya beberapa kali mendapati cerita agak dramatis semacam ini dari blog Pengajar Muda atau tayangan Lentera Indonesia. Dulu, saya agak skeptis. Sempat sepakat dengan salah satu tulisan teman alumni Pengajar Muda yang bilang cerita-cerita Pengajar Muda terlalu banyak ‘bedak’-nya. Tapi sekarang saya menghadapinya sendiri. Bedak-nya saya pakai sendiri. Tapi saya justru merasa sangat bersyukur bisa mengalami hal-hal semacam ini.

Saya sedang selalu bertanya, kenapa saya diberi kesempatan Pengajar Muda, kenapa saya yang ditempatkan di sini.

Jawaban pertama-nya sudah kian nyata, ini baru Bab Satu, saya mau diberi pelajaran tentang Kesabaran. Kesabaran pun punya sub bab, seperti tidak tergesa-gesa, melihat keadaan dari sudut pandang-sudut pandang yang lain hingga menyempatkan diri bercanda. Sub bab-sub bab lain masih menunggu di depan, saya pun tidak tahu ada apa lagi, saya masih terus mencari tahu. Persoalannya buku pelajaran Kesabaran ini agak berbeda, metode belajarnya konstruktif: kita sendiri yang menggali apa yang perlu kita pelajari. Kalau di pelatihan Pengajar Muda Indonesia Mengajar, metode ini dipercaya efektif bikin siswa ingat terus sama apa yang mereka pelajari.

Saya tidak sabar menemukan sub bab-sub bab yang lain. Sama tidak sabarnya menemukan bab-bab yang lain, juga buku-buku pelajaran yang lain dalam perjalanan satu tahun ke depan ini!

Jumat, 01 Agustus 2014

Belajar dari Pohon Lontar



Pulau Rote, yang oleh orang-orang lokalnya juga disebut Lote, adalah sebuah pulau di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang termasuk dalam Propinsi Nusa Tenggara Timur di Gugus Kepulauan Sunda Kecil.

Selain sebagai wilayah paling selatan di Indonesia, Rote juga dikenal sebagai Nusa Lontar. Lontar di sini adalah nama pohon yang mungkin lebih umum dikenal sebagai Siwalan, sejenis palma yang dapat tumbuh hingga usia seratus tahun di wilayah Asia Selatan dan Tenggara. 

Di Rote, pohon-pohon lontar adalah penguasa vegetasi. Di Oeulu, dusun penempatan saya di pesisir Rote Timur, dia tumbuh tinggi-tinggi menjulang mengalahkan pohon-pohon kelapa. Setiap tahun, mulai bulan Agustus hingga November, para Bapak tanpa kenal lelah akan naik turun pohon lontar menyadap karangan bunga atau tongkol bunga betinanya untuk mengumpulkan ber-barrel-barrel air nira atau yang disebut masyarakat lokal sebagai tuak. Empat bulan inilah yang dikenal sebagai musim sada tuak di Rote.

Sedari kecil, anak-anak Oeulu sudah akrab dengan pohon lontar. Pelepah pohon yang sudah kering dan jatuh ke tanah menjadi teman bermainnya walaupun hanya sekedar didorong-dorong dan ditarik-tarik ke sana dan ke sini layaknya gerobak balap. Saat akan datang musim sada tuak, ada Oe No Kili Vepa (dalam bahasa Rote Timur berarti air kelapa dan mengiris pelepah lontar) yaitu saat seisi rumah berkumpul dimana para laki-laki akan mengiris pelepah lontar dan mengikatnya satu persatu menjadi anak tangga panjat pohon lontar sementara anak-anak perempuan membantu ibu di dapur menyiapkan masakan berunsur santan serta penganan-penganan lain.  Tidak jarang juga, saat musim sada tuak tiba, beberapa anak menemani ibu mereka memasak air nira yang berhasil dikumpulkan Si Bapak hingga matang.

Kedekatan pohon lontar dengan kehidupan anak-anak murid saya inilah yang saya manfaatkan sebagai metode mengajar. Harapan saya adalah dengan menggunakan apa yang setiap hari mereka lihat akan membantu mereka mengingat apa yang saya ajarkan. Serta menggunakan apa yang mereka anggap penting dalam kehidupan mereka ini juga memudahkan saya untuk memaknakan apa yang saya ajarkan kepada mereka. Namanya Pohon Lontar Kebaikan, ide ini merupakan modifikasi dari Pohon Kebaikan-nya Priska Sebayang Pengajar Muda Angkatan ke-4 yang bertugas di Pulau Kawio, Sangihe, Sulawesi Utara.

Hari itu mata anak-anak murid saya lebih berbinar saat saya masuk kelas dengan beberapa gulung karton warna-warni yang mencuat dari sebuah kantung plastik yang saya jinjing, ada beberapa gunting dan lem di dalamnya. Kebahagiaan mereka meledak saat saya mengumumkan bahwa kami akan bersama-sama membuat pohon lontar sebagai penghias dinding kelas kami dari bahan dan alat yang saya bawa.

Dalam sekejap, karton coklat yang saya bawa sudah berubah rupa jadi batang pohon lontar, karton kuning diguntingnya segitiga menjadi apa yang mereka sebut bebak atau pelepah lontar yang tumbuh mencuat dari batang pohon lontar, dan karton hijau menjadi  daun-daun besar, terkumpul di ujung batang membentuk tajuk yang membulat. Helaian daun lontar memang serupa kipas bundar.

Di tengah kebanggaan murid-murid saya atas hasil buah tangan mereka yang kini memberi sedikit warna pada kelas kesayangan kami, saya pun menyampaikan sebuah kesepakatan kepada mereka bahwa pohon ini akan berbuah kebaikan setiap siapapun melakukan kebaikan itu. Pohon Lontar Kebaikan akan berbuah Ringan Tangan saat ada yang menolong temannya, atau berbuah Pemberani saat ada yang berani meminta maaf setelah berbuat salah pada temannya, itu janji saya. Harapannya sedikit demi sedikit pohon lontar ini dapat membuahkan banyak hal-hal baik yang dapat mereka baca setiap hari. Dengan hanya kata-kata positif yang mereka perhatikan setiap hari di kelas, saya berharap sifat-sifat itu jugalah yang tumbuh subur di dalam mereka.

Dan kemanapun mereka pergi dan melihat pohon lontar, semoga buah-buah kebaikan itulah yang senantiasa mereka ingat.


Pak berharap kalian seperti pohon lontar yang setiap bagiannya berguna bagi kehidupan manusia. 
Mulai dari pelepahnya yang biasa kalian jadikan pagar rumah dan sekolah kita, 
buahnya yang kita makan bersama, air niranya yang kalian sadap setiap musim sada tuak
hingga daunnya yang dapat dibuat Sasando dan Tilangga kebanggaan tanah kalian, Nusa Lontar.