|
Peta (Block Plan) Dusun Mungil Tuo Datai |
Rumah mereka memang tidak dibangun di atas
pohon seperti rumah Tarzan, tapi tetap saja menabjubkan menyaksikan sebuah
rumah panggung yang seluruhnya dibangun dari bahan-bahan alami. Rumah adat suku
Talang Mamak ini berdinding bilah-bilah bambu berkuran kecil, atau yang dalam
bahasa setempat disebut buluh sorik,
dan beratapkan daun lipai, sejenis tumbuhan palem-paleman yang memiliki daun
cukup lebar dan lebat. Di dalam satu rumah panggung ini biasanya
menghuni satu keluarga Talang Mamak. Sangat menarik menyaksikan kehidupan
keluarga Talang Mamak di dalam rumah panggungnya ini, belum lagi binatang
peliharaan mereka yang beraneka ragam, mulai dari anjing, kucing, ayam, burung,
tupai, hingga beruang. Ya, di tengah belantara Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
memang masih hidup satwa-satwa liar seperti beruang dan harimau Sumatra, dan
melihat seekor anak beruang berkeliaran di tengah-tengah pemukiman masyarakat
Talang Mamak sudah pasti menjadi pengalaman yang luar biasa.
Beruang pun jadi binatang peliharaan! |
Adaptasi suku Talang Mamak terhadap rimba
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh terbilang cukup maju dengan kemampuannya
memanfaatkan bahan-bahan alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka
berdayakan segala sesuatu yang bisa mereka dapatkan dari hutan, mulai dari
material untuk membangun rumah, perabot rumah tangga, hingga pemanfaatan
tumbuh-tumbuhan sebagai obat.
Ekspedisi Biota Medika yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan, IPB, UI dan LIPI (1998) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh
dan Cagar Biosfer Bukit Duabelas mencatat terdapat 110 jenis tumbuhan obat dan
22 jenis cendawan obat yang dimanfaatkan Suku Talang Mamak. Mengenail ilmu
meracik tanaman yang tumbuh di sekitar hutan tempat mereka hidup, masyarakat
Talang Mamak mengatakan bahwa ilmu ini diturunkan secara turun temurun oleh datuk munyang kepada mereka untuk
menjaga suku mereka dari penyakit dan kematian. 2)
Perjalanan
pulang dari Dusun Tuo Datai kami pilih dengan menyusuri Batang Gangsal. Sungai
utama yang membelah belantara Taman Nasional Bukit Tigapuluh ini merupakan
sumber kehidupan utama bagi Suku Talang Mamak maupun Suku Melayu Tua yang hidup
berkelompok di tepinya. Kedua suku tradisional yang masih berpegang teguh pada
tradisi-tradisi warisan leluhur mereka ini memang dua suku penguasa hutan Bukit
Tigapuluh. Mereka hidup berkelompok dan saling berdampingan dalam dusun-dusun
di tepi Sungai Gangsal, karena itu bukanlah pemandangan yang asing melihat
orang-orang rimba bertelanjang dada ini mengintip rakit kami yang melalui dusun
mereka dari tepi sungai.
Perjalanan keluar dari Dusun Tuo Datai ditempuh dengan rakit selama 2 hari 1 malam. |
Rakit kami merupakan hasil pekerjaan
tangan pemuda Suku Talang Mamak di Dusun Tuo Datai. Rakit dari susunan bambu
berdiameter besar ini cukup untuk tiga orang penumpang dan dua orang pendayung.
Membuat rakit bukanlah hal yang baru lagi bagi masyarakat Talang Mamak terutama
bagi yang hidup di bantaran Batang Gangsal, karena salah satu transportasi
mereka keluar dusun adalah transportasi air yaitu mengarungi Batang Gangsal.
Dengan ransel-ransel yang kami ikatkan pada rakit, serta pelampung yang melekat
kuat pada badan masing-masing, pengarungan ini pun kami mulai.
Air Sungai Gangsal yang kecoklatan membawa
kami keluar dari rimba dengan arusnya yang tenang dan beberapa sambutan
jeram-jeram kecil. Sepanjang pengarungan Batang Gangsal ini kami tidak hanya
disuguhi keindahan alam Taman Nasional Bukit Tigapuluh beserta isinya saja,
tetapi juga batuan-batuan keramat masyarakat Talang Mamak yang terdapat di
kanan-kiri sungai lengkap dengan kisah-kisahnya yang melegenda. Masyarakat
Talang Mamak percaya bahwa batuan-batuan tersebut adalah kutukan Dewa mereka di
masa lampau terhadap pelanggar-pelanggar adat. Pengarungan menggunakan rakit
bambu membelah rimba Taman Nasional Bukit Tigapuluh kami habiskan dalam waktu
dua hari. Pada hari pertama, saat hari menjelang sore, kami menepi untuk
bermalam di Dusun Sadan, yaitu Dusun Suku Talang Mamak lain yang letaknya agak
ke hilir. Keesokannya, pengarungan kami mulai dari dusun ini hingga berakhir di
Dusun Lemang pada sore harinya. Kami keluar Dusun Lemang dengan motor sewaan (ojek), kemudian di Jalur Lintas Timur Sumatra kami menumpang di bak sebuah mobil pick-up menuju Kantor Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di Rengat. Musholla kantor menjadi kamar tidur untuk kami bermalam hari itu.
Bersambung ke Bagian 3
2) Datuk munyang adalah sebutan masyarakat Talang Mamak untuk nenek moyang
mereka. Konon, nenek moyang mereka ini berasal dari Kerajaan Pagaruyung di
daerah yang saat ini kita kenal sebagai Palembang, Sumatera Selatan. Karena
masalah politik pada saat itu, yakni penjajahan dan peperangan, nenek moyang
mereka melarikan diri ke dalam hutan. Hingga saat ini, Suku Talang Mamak enggan
meninggalkan tanah bersejarah peninggalan nenek moyangnya itu. Nenek moyang Suku Talang Mamak juga mempengaruhi
kepercayaan animisme yang dianut oleh keturunannya hingga saat ini. Suku Talang
Mamak percaya akan kesaktian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar