Rabu, 10 Oktober 2012

Kami dan Penguasa Belantara Bukit Tiga Puluh (Bagian 2)



Area Timur Dusun Tuo Datai
Area Barat Dusun Tuo Datai



Peta (Block Plan) Dusun Mungil Tuo Datai
Pengalaman hidup bersama Suku Talang Mamak ini tak ada bedanya dengan menghidupkan dongeng anak rimba layaknya Tarzan atau Jungle Book. Di sini, bukan pemandangan yang mengherankan apabila orang-orang dapat memanjat pohon selihai kera dan mahir berenang seperti ikan. Hutan rimba adalah rumah mereka, dari hutan inilah mereka bertahan hidup dan belajar mengenai nilai-nilai kehidupan.
Rumah mereka memang tidak dibangun di atas pohon seperti rumah Tarzan, tapi tetap saja menabjubkan menyaksikan sebuah rumah panggung yang seluruhnya dibangun dari bahan-bahan alami. Rumah adat suku Talang Mamak ini berdinding bilah-bilah bambu berkuran kecil, atau yang dalam bahasa setempat disebut buluh sorik, dan beratapkan daun lipai, sejenis tumbuhan palem-paleman yang memiliki daun cukup lebar dan lebat. Di dalam satu rumah panggung ini biasanya menghuni satu keluarga Talang Mamak. Sangat menarik menyaksikan kehidupan keluarga Talang Mamak di dalam rumah panggungnya ini, belum lagi binatang peliharaan mereka yang beraneka ragam, mulai dari anjing, kucing, ayam, burung, tupai, hingga beruang. Ya, di tengah belantara Taman Nasional Bukit Tiga Puluh memang masih hidup satwa-satwa liar seperti beruang dan harimau Sumatra, dan melihat seekor anak beruang berkeliaran di tengah-tengah pemukiman masyarakat Talang Mamak sudah pasti menjadi pengalaman yang luar biasa.
 

Beruang pun jadi binatang peliharaan!

Adaptasi suku Talang Mamak terhadap rimba Taman Nasional Bukit Tiga Puluh terbilang cukup maju dengan kemampuannya memanfaatkan bahan-bahan alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka berdayakan segala sesuatu yang bisa mereka dapatkan dari hutan, mulai dari material untuk membangun rumah, perabot rumah tangga, hingga pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai obat.
Ekspedisi Biota Medika yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, IPB, UI dan LIPI (1998) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Cagar Biosfer Bukit Duabelas mencatat terdapat 110 jenis tumbuhan obat dan 22 jenis cendawan obat yang dimanfaatkan Suku Talang Mamak. Mengenail ilmu meracik tanaman yang tumbuh di sekitar hutan tempat mereka hidup, masyarakat Talang Mamak mengatakan bahwa ilmu ini diturunkan secara turun temurun oleh datuk munyang kepada mereka untuk menjaga suku mereka dari penyakit dan kematian. 2) 
Perjalanan pulang dari Dusun Tuo Datai kami pilih dengan menyusuri Batang Gangsal. Sungai utama yang membelah belantara Taman Nasional Bukit Tigapuluh ini merupakan sumber kehidupan utama bagi Suku Talang Mamak maupun Suku Melayu Tua yang hidup berkelompok di tepinya. Kedua suku tradisional yang masih berpegang teguh pada tradisi-tradisi warisan leluhur mereka ini memang dua suku penguasa hutan Bukit Tigapuluh. Mereka hidup berkelompok dan saling berdampingan dalam dusun-dusun di tepi Sungai Gangsal, karena itu bukanlah pemandangan yang asing melihat orang-orang rimba bertelanjang dada ini mengintip rakit kami yang melalui dusun mereka dari tepi sungai. 

Perjalanan keluar dari Dusun Tuo Datai ditempuh dengan rakit selama 2 hari 1 malam.

Rakit kami merupakan hasil pekerjaan tangan pemuda Suku Talang Mamak di Dusun Tuo Datai. Rakit dari susunan bambu berdiameter besar ini cukup untuk tiga orang penumpang dan dua orang pendayung. Membuat rakit bukanlah hal yang baru lagi bagi masyarakat Talang Mamak terutama bagi yang hidup di bantaran Batang Gangsal, karena salah satu transportasi mereka keluar dusun adalah transportasi air yaitu mengarungi Batang Gangsal. Dengan ransel-ransel yang kami ikatkan pada rakit, serta pelampung yang melekat kuat pada badan masing-masing, pengarungan ini pun kami mulai.
Air Sungai Gangsal yang kecoklatan membawa kami keluar dari rimba dengan arusnya yang tenang dan beberapa sambutan jeram-jeram kecil. Sepanjang pengarungan Batang Gangsal ini kami tidak hanya disuguhi keindahan alam Taman Nasional Bukit Tigapuluh beserta isinya saja, tetapi juga batuan-batuan keramat masyarakat Talang Mamak yang terdapat di kanan-kiri sungai lengkap dengan kisah-kisahnya yang melegenda. Masyarakat Talang Mamak percaya bahwa batuan-batuan tersebut adalah kutukan Dewa mereka di masa lampau terhadap pelanggar-pelanggar adat. Pengarungan menggunakan rakit bambu membelah rimba Taman Nasional Bukit Tigapuluh kami habiskan dalam waktu dua hari. Pada hari pertama, saat hari menjelang sore, kami menepi untuk bermalam di Dusun Sadan, yaitu Dusun Suku Talang Mamak lain yang letaknya agak ke hilir. Keesokannya, pengarungan kami mulai dari dusun ini hingga berakhir di Dusun Lemang pada sore harinya. Kami keluar Dusun Lemang dengan motor sewaan (ojek), kemudian di Jalur Lintas Timur Sumatra kami menumpang di bak sebuah mobil pick-up menuju Kantor Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di Rengat. Musholla kantor menjadi kamar tidur untuk kami bermalam hari itu.

Bersambung ke Bagian 3



2)   Datuk munyang adalah sebutan masyarakat Talang Mamak untuk nenek moyang mereka. Konon, nenek moyang mereka ini berasal dari Kerajaan Pagaruyung di daerah yang saat ini kita kenal sebagai Palembang, Sumatera Selatan. Karena masalah politik pada saat itu, yakni penjajahan dan peperangan, nenek moyang mereka melarikan diri ke dalam hutan. Hingga saat ini, Suku Talang Mamak enggan meninggalkan tanah bersejarah peninggalan nenek moyangnya itu. Nenek moyang Suku Talang Mamak juga mempengaruhi kepercayaan animisme yang dianut oleh keturunannya hingga saat ini. Suku Talang Mamak percaya akan kesaktian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar