Sabtu, 29 Juni 2013

A Bubu and Happy Story from West Borneo

Ensaid Panjang Village - Sintang, West Borneo.


The sun was about to set and the rain began to fall when we were ready to take the last scene that day. The last and the most difficult scene because we had to do it along the river. We will document how Dayak Desah Tribe catch fish for food.

For the umpteenth time, my small group of 8 traveled to remote village of Indonesia whose residents still live traditionally and keep the value of culture inherited by their ancestors. This time, it was Dayak Desah Tribe, one of the few Dayak (indigenous of Borneo) who still owns their traditional house, Rumah Betang. Here, in Ensaid Panjang, still stands 120 meters long house for the whole tribes. 



We would like to present the story on how Dayak Desah still keep local wisdom for gathering food (fish from the river). They will transport by boat to a point in the river to gather fish. I volunteered to handle the underwater camera and take the picture from the water. And shortly after I plunged into the river, I regretted my decision to volunteer. This narrow river created torrent and it is deeper than I expected. Being in the water for more than an hour under drizzling rain, fighting the tide while recording all the moments was really tough. But I had been warned about these kind of challenge the first time the job was offered & I was counted in the team to face any obstacle possible, come hell or high water.



It is Bubu, a rattan cage that the tribe uses to trap fish. Everyday at 4 or 5 pm, they swap Bubu that has been successfully trapped fish with a new empty cage for ensnares other fish until the next day. And they will paddle their little wooden boat to the point where Bubu is located.

They provide us one room among those rooms in Rumah Betang.


Rumah Betang or Long House is shelter for the whole tribes. With the length of the house reaching more than 100 meters, it is the only house for the people in the village. If you ask how big is Ensaid Panjang as a village, it is as big as the Rumah Betang. Located in the middle of the woods, Rumah Betang Dayak Desah consists of about 25 rooms for about 25 families. Try to visit them once and experience the warmth of the living-together-community.

After a dirty and exhausting afternoon, I immediately took a bath and finished my dinner. After almost a year traveled all over Indonesia to document the life of traditional tribes, this was the first night I felt really tired. I remember laying down in the room with bundle of my sleeping bag as a pillow, and started to manage my breathing for relaxation. "Even a dream job, what I thought as the most interesting job, can be frustating.." the statement crossed my mind.

"Far, let's make something very entertaining for the house tonight!" this imperative sentence came from my producer while I was busy to muse. Your first tought might be about tuak, traditional Dayak alcoholic drinks for the best of night entertainment, but night was still young and kids were still around. Yes, kids in Rumah Betang seemed to really love guests, they could wait in front of the guest room for hours, asked us random questions from in front of the door, or were very happy to be photographed. And so it is, we make special tonight show for the lovely kids!


It must be boring to read my story doing a puppet show for the kids. But this had been the most brilliant idea that could be created in Rumah Betang that night. From the limited materials, we used our socks and decorated them with hair and expressions to tell some stories. What is the story? It is the funny story about catching fish with Bubu in the river near Ensaid Panjang village. I doubted this would be a funny and entertaining at first, but this was the picture that I got from the night.


Plus! My friend added a little trick performance that make the kids astonished!
And I owned one happy memory that will last for sure.

It's sometime funny yet mysterious how feelings can change in a blink of eyes. But no matter what you do, how hard your job is, or how interesting other people's lifes are, I think Walt Disney said it well that Happiness is a state of mind.

It's just according to the way you look at things. From my story, thank God, I was given a look at that making a puppet show for the kids is more recharging spirit & energy than just laying around and questioning Life.

Have a nice weekend!


Minggu, 23 Juni 2013

To Balo Bulu Pao


Believing is not how you understand something

Pernah suatu hari saya menonton tayangan "The Biggest Mystery on Earth" di saluran luar negeri yang merangking mundur 15 misteri terbesar di dunia. Awalnya saya nonton santai menikmati ulasan Si Tayangan, hitungan mundur ini dimeriahkan oleh ulasan tentang Alienlah, Crop Circle-lah, hingga makhluk-makhluk misterius seperti Big Foot, Yeti dan Loch Ness. Saya mulai gelisah saat tayangan tersebut menempatkan Tuhan di rangking kedua.

Saya menduga Tuhan pasti misteri terbesar pertama di atas muka bumi ini. Apa lagi yang bisa mereka tempatkan di posisi teratas sebagai misteri paling misterius di dunia? Saya tertantang untuk menunggu ranking pertama versi mereka.

"And the biggest mystery on earth is..." voice over menggiring rasa penasaran semakin dalam. Tayangan ini mendramatisir dengan baik penyajian si misteri nomor satu ini. Seisi layar televisi menampilkan gambar alam semesta, dengan titik-titik bintang bertabur di kedalaman jarak tak terhingga, sepi dan misterius sekali. Pada satu detik, setitik cahaya muncul di kejauhan, perlahan terang ini mendekat, semakin dekat hingga terasa menyilaukan. Diiringi scoring menggugah, seketika muncullah jawaban itu...


Tayangan ini sukses mengobrak-abrik keimanan saya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan yang bertubi-tubi diajukannya. Tentang penjelasan logis zat penyusun sel telur dan sel sperma yang bisa menjelma jadi embrio-lah, tentang jiwa dan raga-lah, tentang kematian hingga pertanyaan tentang tujuan diciptakannya kehidupan.

Sejak hari itu, saya seperti mulai menyusun rapi puzzle tentang kehidupan. Keping demi keping disambung untuk mencoba melihat sebuah gambar yang utuh.

---


Tidak pernah ada riset perjalanan sefiktif ini sebelumnya.

Saya mengarahkan riset perjalanan saya kali ini ke Pulau Sulawesi. Dan saya menemukan sebuah artikel yang bercerita tentang sebuah tempat di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, kurang lebih 100 kilometer jauhnya di Utara Makassar, dengan waktu tempuh kira-kira tiga setengah sampai empat jam mengendarai mobil. Tapi artikelnya seperti cerita fiksi. Satu bagian membuat dahi berkernyit, bagian lain membuat sedikit bergidik.

http://news.liputan6.com/read/59205/tobelo-manusia-belang-kutukan-sang-dewa

Tapi semakin terasa fiktif, semakin terasa layak untuk disinggahi. Apalah artinya misteri tanpa rasa penasaran yang diundangnya, kan? Mari berangkat!

Pegunungan Bulu Pao di Kabupaten Barru jadi tujuan saya kali ini. 



Dari Makassar perjalanan kami lanjutkan ke utara. Hingga kabupaten Barru yang memakan waktu kira-kira 3 jam, perjalanan belum terlalu menantang. Perjalanan jadi lebih beresiko saat mulai mendaki dari desa di kaki gunung. Mobil bergardan ganda yang kami tumpangi harus melipir jalur sempit yang berbatasan langsung dengan jurang-jurang dalam. Belum lagi di beberapa titik, jalur yang memang hanya muat untuk satu mobil ini longsor. Kami harus menangguhkan kembali pondasi jalan tanah ini dengan batu-batuan dan batang kayu.

Perjalanan kali ini tidak seperti membawa misi dokumentasi budaya, lebih terasa jadi Agen Murder atau Agen Scully-nya X-Files. Semakin jauh perjalanannya pun teman-teman kru semakin sering bertanya kepada saya. Sedikit mengancam kalau-kalau Tobalo yang dicari sebenarnya tidak ada. 


Empat jam kami habiskan di jalur pendakian, yang setelah kami ketahui baru kali ini dilalui mobil. Dan tibalah kami di tahap perjalanan terakhir, berjalan kaki mendaki dan menuruni bukit mendatangi pondok demi pondok untuk bertemu dengan salah satu Tobalo. Anggaplah ini tempat persembunyian Tobalo, tapi bisa jadi ini tempat pengasingan diri yang paling membahagiakan. Mari lihat apa yang terbentang sejauh mata kami memandang saat kami berhenti untuk mengambil nafas sejenak di tengah pendakian kami.


Sosok Tobalo pertama yang saya temui adalah seorang ibu di sebuah pondok kecil, sosoknya pemalu dan pendiam, Ibu Samina. Setelah memohon ijin, beliau mengantar kami ke pondok Sang Kakak, sosok yang menjadi kepala atau yang dituakan para Tobalo saat ini.  Perasaan sedikit lega saat kami diterima dengan hangat, terjawab sudah Tobalo bukan mitos. Keluarga itu ada bersama kami sekarang, bertukar cerita.





Menurut saya Tobelo bukan suku, mereka lebih merupakan satu keluarga keturunan Bugis namun berbahasa berbeda, yaitu bahasa Bentong. Konon, bahasa ini pun sulit dimengerti oleh siapapun. Beberapa hari kami habiskan bersama Pak Nuru dan keluarga, diajari cara memanjat pohon nira untuk mengambil air gula, diajak ke sungai berarus deras untuk mandi, hingga membuat penganan dari air gula resep warisan nenek moyangnya. Menyenangkan sekali.

Ada sebuah cerita yang coba saya yakini ketika bertanya mengenai asal bercak putih yang terus terwaris di tubuh mereka secara turun temurun. Satu cerita berkisah tentang nenek moyang mereka, seorang ksatria yang berhasil menaklukkan sayembara kerajaan di masa lampau untuk menjinakkan seekor kuda istana dan mendapatkan putri raja sebagai istri. Namun karena tak kunjung dikaruniai keturunan, Sang Ksatria bernazar kepada Dewa agar diberikan keturunan sekalipun belang seperti kuda yang dijinakkannya. Sejak hari itulah semua keturunannya hingga hari ini bertubuh belang. 

Berusahalah meyakini tapi jangan sekali-sekali menyandingi cerita ini dengan teori-teori genetika. Ilmu pengetahuan bukan bagian dari hidup Tobalo. Dan pernahkah kalian coba bayangkan hidup tanpa ilmu pengetahuan? Tanpa sesuatu yang melatih logika untuk membuat semua jadi apa yang kita pahami sebagai 'masuk akal'.

Saya melamun untuk pengalaman ini dan sempat terlintas : Tanpa ilmu pengetahuan, mungkin iman akan lebih terlatih untuk mengamini dan memahami bahasa-bahasa alam. Bahkan bercak turun temurun Tobalo pun bisa jadi sandi dari Tuhan, untuk kita memahami secuil pelajaran tentang kehidupan. Tentang apa itu? Saya juga belum tau. Toh, dari tadi pun saya bilang mungkin dan bisa jadi.

Saya menyimpan tulisan ini sebagai draft sekian lama. Ada keyakinan catatan perjalanan ini abu-abu, atau membingungkan. Sedikit penjelasan logis yang bisa saya tambahkan untuk bagian-bagian yang saya ceritakan. Posting ini belum saya tambahkan cerita dimana Pak Nuru mengajak kami menyaksikannya menari Sere Api, menunjukkan kekebalannya menari di atas api.

Atau apa jawaban mereka atas konfirmasi isi paragraf terakhir artikel di atas yang membuat saya bergidik? Ah, biarlah beberapa misteri ditinggal sebagai misteri.



Sabtu, 08 Juni 2013

Salam dari Anak Seribu Pulau!



Waktu kecil ada sebuah tayangan televisi yang setia saya tunggu setiap akhir pekan, judulnya Anak Seribu Pulau. Apa yang saya ingat dari kenangan yang satu ini mungkin agak kabur. Tapi saya tidak akan lupa damainya lagu "Negeri di Awan" Katon Bagaskara yang jadi soundtrack opening mengiringi adegan sekelompok anak lari di sawah atau naik kuda, saya juga ingat setiap episodenya bercerita tentang kehidupan anak-anak negeri di seluruh pelosok tanah air.

Ingatan boleh kabur, tapi perasaan akan kenangan yang satu ini masih saya simpan dengan baik. Saat itu usia saya masih sangat muda, awal tahun di Sekolah Dasar kalau tidak salah, tapi Anak Seribu Pulau masih lekat sekali dalam hidup saya hingga hari ini.

Kalau saya ingat-ingat, mungkin boleh jadi Anak Seribu Pulau adalah yang pertama kali memperkenalkan saya pada tanah air saya. Pada keindahan alamnya, keragamannya, serta semangat untuk menyinggahinya suatu hari nanti.

"Once you make a decision, the universe conspires to make it happen." kata Ralph Waldo Emerson. Dan alam semesta berkonspirasi mewujudkan keinginan saya singgah di tempat-tempat terindah di negeri ini.

---

Inilah foto-foto dari 'hari' yang saya maksud. Hari-hari saya singgah di beberapa sudut tanah air. Menghidupkan kenangan masa lalu tentang Anak Seribu Pulau dan alam Nusantara yang jadi rumahnya yang luar biasa indah.

Sambutlah hangat salam mereka : Anak Seribu Pulau!

Dusun Ensaid Panjang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat




Teluk Sumbang, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur

 


Dusun Tuo Datai, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Riau




 Suku Bajau, sebuah dusun di pesisir Hutan Lambusango, Sulawesi Tenggara



Dusun Wabou, Hutan Lambusango, Buton, Sulawesi Tenggara




Dusun Lidak, Kabupaten Belu, Atambua Selatan, NTT
 


Tamkesi, Timor Tengah Selatan, NTT







Tuhan dan rencananya untuk hidup setiap manusia tetap jadi misteri paling besar buat saya. Saya pun tidak pernah tidak mempertanyakan apa sebenarnya yang ingin diperlihatkan pada saya dari perjalanan-perjalanan ini.

Ah, bersyukur dulu sajalah diberi kesempatan menghidupkan tayangan TV favorit semasa kecil di depan mata seperti ini.