Jumat, 31 Oktober 2014

Minggu, 24 Agustus 2014

Bab Pertama : Kesabaran


Saya ingat mencengkeram sangat erat lengan kirinya lalu menariknya hingga berhadapan muka dan muka dengan saya. Saya juga ingat menegur keras murid saya ini untuk mendengarkan kata-kata saya yang menyuruhnya berhenti berlarian keliling kelas saat pelajaran berlangsung.

Dalam pegangan saya, Si Anak seketika meringis, lalu terduduk di lantai kelas. Jangankan menatap muka saya yang tengah memarahinya, melirik sedikitpun dia tidak berani. Dia terus memaksa kepalanya tunduk dan mulai menangis. Sambil terus memeringatinya, saya menarik lalu mendudukannya di kursi yang sejak hari pertama tidak pernah betah ditempatinya untuk sedetik pun. Dan di hari itu saya tahu kalau batas kesabaran yang saya miliki tidak sejauh yang saya bayangkan. Baru saja hari kedua saya mengajar, saya sudah membuat satu murid saya sekarang terduduk takut di kursinya, di kelasnya yang sedari awal saya rencanakan beratmosfer happy learning.

Saya sarjana arsitektur yang sebelumnya berkarir di dunia broadcasting dan tidak pernah terbersit sekejap pun dalam hidup saya untuk menjadi pengajar. Proyek-proyek arsitektur semasa kuliah yang sekalipun bertumpuk-tumpuk harus bisa diselesaikan dalam waktu sekejap, serta tuntutan produksi di industri televisi yang serba kejar tayang membuat saya tidak terbiasa menunggu. Selama ini, kesabaran saya tidak terlatih. Dan kalau perjalanan menjadi Pengajar Muda setahun ke depan ini ibarat buku pegangan belajar mengajar, sepertinya saya tengah membuka bab pertama yaitu tentang Kesabaran.

***

Seumur hidup saya tidak akan pernah melupakan nama siswa yang pertama kali saya marahi sekaligus buat nangis dalam sejarah mengajar saya, yang mungkin hanya sekali-kalinya ini. Namanya Fersi Theon. Dia terbilang kurus untuk anak kelas tiga, tapi tingginya lumayan dibandingkan teman-teman laki-laki di kelasnya. Rambutnya agak plontos dan dia punya kekhasan Indonesia Timur, kulit hitam dan senyum yang sama-sama manis.

Setelah dua hari berturut-turut hanya berlarian mengelilingi kelas, dan tidak menghiraukan sedikit pun kata-kata Pak Guru hingga Pak Gurunya ini naik pitam, sekarang Fersi tertunduk dan menangis di kursinya. Saya berlagak tidak panik sambil terus mengajar seperti biasa, namun kepala saya mendadak dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan. Apakah saya baru saja melakukan kekerasan di dalam kelas? Apakah perbuatan saya barusan menghancurkan kepercayaan Si Murid pada gurunya untuk setahun ke depan? Bagaimana membuatnya berhenti menangis? Kenapa susah sekali menerapkan happy learning dengan anak-anak ini? Atau jangan-jangan praktek saya mengenai positive discipline salah?

Singkat cerita, hari itu sebelum pulang sekolah saya mengajak Fersi bicara. Saya memberikan pemahaman mengenai alasan saya menegurnya dengan nada sangat keras. Kemudian saya pun mengadakan perjanjian dengannya supaya hal serupa tidak terulang di kemudian hari. Kepalanya menunduk terus seharian ini, tapi ada anggukan kecil tanda dia mengerti.

Keesokan harinya saya mengatur tempat duduk anak-anak di kelas saya dengan sedikit drama anak-anak yang tidak mau duduk bersebelahan dengan kawan lawan jenisnya. Fersi duduk di barisan muka karena saya ingin menaruh perhatian lebih pada anak-anak yang setelah beberapa hari saya amati memiliki karakteristik lebih kinestetis dibanding anak-anak yang lain. Tapi mengherankannya, sejak hari itu dia menjadi sangat tertib. Tidak ada lagi berlari-lari keliling kelas. Tidak ada lagi sikap tidak acuh. Fersi tetiba menjadi anak manis, yang saat saya memberi signal memulai pelajaran dengan sendirinya mengeluarkan sebuah buku dan bolpen dari tasnya dan bersiap belajar. Saking manisnya, saya jadi merasa bersalah. Mengingat teguran saya kemarin, saya jadi berpikir kemungkinan saya bersikap terlalu keras pada anak-anak yang masih kelas 3 SD.

Tapi tidak ada guru yang tidak senang kalau melihat anak-anaknya berperilaku baik.

Lalu tibalah hari itu dimana saya mengajar matematika. Materi hari itu adalah mengenai garis bilangan, dan saya mengajarkan mereka membandingkan dua bilangan dengan notasi lebih besar, lebih kecil dan sama dengan.

Saat berlatih soal, saya menemukan ada beberapa murid yang kesulitan memahami soal membubuhkan notasi-notasi ini. Mungkin karena sebelumnya tugas mereka hanyalah mengisi titik-titik pada soal-soal-soal penjumlahan. Saat titik-titik yang harus mereka isi ada di antara dua bilangan mereka menjadi kurang paham apa yang harus mereka lakukan.

Tidak terkecuali Fersi. Dia jadi anak paling terakhir yang belum juga selesai mengerjakan sepuluh buah soal yang saya berikan hingga bel istirahat berbunyi. Saya setia menunggunya selesai mengerjakan tugasnya itu.
Lima belas menit berlalu, saya mulai mengagumi kegigihannya bertahan di kursinya. Kursi yang tidak tahan didudukinya sedetikpun di dua hari pertama sekolah. Kali ini saya yang mulai tidak kerasan duduk di kursi saya. Saya mulai berjalan mengelilingi kelas. Bahkan Fersi pun tidak terusik dengan pergerakan saya.
Hingga akhirnya dia menengok ke arah saya, mengangkat bukunya dan bilang, “Sudah, Pak!” Segera saya memeriksa pekerjaan tak kenal menyerahnya itu.

Benar saja, Fersi masih bingung mengenai model soal perbandingan bilangan ini. Alih-alih mengisi titik-titik dengan tanda lebih besar, lebih kecil atau sama dengan, dia malah membubuhkan tanda-tanda itu di samping setiap bilangan yang ada. Perlahan-lahan saya menjelaskan kembali apa maksud soal-soal itu dan bagaimana menyelesaikannya, termasuk ekstra tips menjawabnya dengan metode ‘mulut monster’.
Tanda lebih besar (>) dan lebih kecil (<) diibaratkan mulut monster yang sedang terbuka. Monster lebih suka dengan angka yang lebih besar, jadi arahkan selalu bukaan mulutnya ke bilangan yang lebih besar.
Fersi senang dengan analogi ini. Menemukan penyelesaian yang mudah, dia pun tertawa. Karena saya pun puas bisa menanamkan pengertian padanya saya memberikannya tos serta kemudian beres-beres untuk memanfaatkan waktu istirahat yang tersisa.

Herannya, Fersi masih tekun dengan buku tugasnya. Tidak lama dia menyodorkan kembali buku tugasnya, “Sudah, Pak.”

Sudah apalagi kali ini, saya pikir kami sudah selesai dengan soal-soal ini.

Sepertinya itu kali pertama saya dibuat terharu oleh sebuah buku tugas matematika anak kelas 3 SD. Fersi menuliskan ulang secara rapi kesepuluh soal tadi, dan menyelesaikannya tanpa ada salah. Saya ingat betul, bukannya memberikan nilai saya malah mengalihkan pandangan saya pada anak murid saya yang satu ini. Apa yang ada di dalam isi kepala anak ini, ya?

Hari itu saya belajar tentang  Kesabaran. Lucunya, saya mendapat pelajaran itu dari korban ketidaksabaran saya di hari-hari pertama saya mengajar. Seorang anak yang saya tahu lebih senang berlari berkejar-kejaran di kelas memaksa dirinya duduk, mengerjakan soal matematika, mendapati hasil pekerjaannya salah semua, kembali duduk dan menyempurnakannya hingga betul semua.

***


Saya beberapa kali mendapati cerita agak dramatis semacam ini dari blog Pengajar Muda atau tayangan Lentera Indonesia. Dulu, saya agak skeptis. Sempat sepakat dengan salah satu tulisan teman alumni Pengajar Muda yang bilang cerita-cerita Pengajar Muda terlalu banyak ‘bedak’-nya. Tapi sekarang saya menghadapinya sendiri. Bedak-nya saya pakai sendiri. Tapi saya justru merasa sangat bersyukur bisa mengalami hal-hal semacam ini.

Saya sedang selalu bertanya, kenapa saya diberi kesempatan Pengajar Muda, kenapa saya yang ditempatkan di sini.

Jawaban pertama-nya sudah kian nyata, ini baru Bab Satu, saya mau diberi pelajaran tentang Kesabaran. Kesabaran pun punya sub bab, seperti tidak tergesa-gesa, melihat keadaan dari sudut pandang-sudut pandang yang lain hingga menyempatkan diri bercanda. Sub bab-sub bab lain masih menunggu di depan, saya pun tidak tahu ada apa lagi, saya masih terus mencari tahu. Persoalannya buku pelajaran Kesabaran ini agak berbeda, metode belajarnya konstruktif: kita sendiri yang menggali apa yang perlu kita pelajari. Kalau di pelatihan Pengajar Muda Indonesia Mengajar, metode ini dipercaya efektif bikin siswa ingat terus sama apa yang mereka pelajari.

Saya tidak sabar menemukan sub bab-sub bab yang lain. Sama tidak sabarnya menemukan bab-bab yang lain, juga buku-buku pelajaran yang lain dalam perjalanan satu tahun ke depan ini!

Jumat, 01 Agustus 2014

Belajar dari Pohon Lontar



Pulau Rote, yang oleh orang-orang lokalnya juga disebut Lote, adalah sebuah pulau di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang termasuk dalam Propinsi Nusa Tenggara Timur di Gugus Kepulauan Sunda Kecil.

Selain sebagai wilayah paling selatan di Indonesia, Rote juga dikenal sebagai Nusa Lontar. Lontar di sini adalah nama pohon yang mungkin lebih umum dikenal sebagai Siwalan, sejenis palma yang dapat tumbuh hingga usia seratus tahun di wilayah Asia Selatan dan Tenggara. 

Di Rote, pohon-pohon lontar adalah penguasa vegetasi. Di Oeulu, dusun penempatan saya di pesisir Rote Timur, dia tumbuh tinggi-tinggi menjulang mengalahkan pohon-pohon kelapa. Setiap tahun, mulai bulan Agustus hingga November, para Bapak tanpa kenal lelah akan naik turun pohon lontar menyadap karangan bunga atau tongkol bunga betinanya untuk mengumpulkan ber-barrel-barrel air nira atau yang disebut masyarakat lokal sebagai tuak. Empat bulan inilah yang dikenal sebagai musim sada tuak di Rote.

Sedari kecil, anak-anak Oeulu sudah akrab dengan pohon lontar. Pelepah pohon yang sudah kering dan jatuh ke tanah menjadi teman bermainnya walaupun hanya sekedar didorong-dorong dan ditarik-tarik ke sana dan ke sini layaknya gerobak balap. Saat akan datang musim sada tuak, ada Oe No Kili Vepa (dalam bahasa Rote Timur berarti air kelapa dan mengiris pelepah lontar) yaitu saat seisi rumah berkumpul dimana para laki-laki akan mengiris pelepah lontar dan mengikatnya satu persatu menjadi anak tangga panjat pohon lontar sementara anak-anak perempuan membantu ibu di dapur menyiapkan masakan berunsur santan serta penganan-penganan lain.  Tidak jarang juga, saat musim sada tuak tiba, beberapa anak menemani ibu mereka memasak air nira yang berhasil dikumpulkan Si Bapak hingga matang.

Kedekatan pohon lontar dengan kehidupan anak-anak murid saya inilah yang saya manfaatkan sebagai metode mengajar. Harapan saya adalah dengan menggunakan apa yang setiap hari mereka lihat akan membantu mereka mengingat apa yang saya ajarkan. Serta menggunakan apa yang mereka anggap penting dalam kehidupan mereka ini juga memudahkan saya untuk memaknakan apa yang saya ajarkan kepada mereka. Namanya Pohon Lontar Kebaikan, ide ini merupakan modifikasi dari Pohon Kebaikan-nya Priska Sebayang Pengajar Muda Angkatan ke-4 yang bertugas di Pulau Kawio, Sangihe, Sulawesi Utara.

Hari itu mata anak-anak murid saya lebih berbinar saat saya masuk kelas dengan beberapa gulung karton warna-warni yang mencuat dari sebuah kantung plastik yang saya jinjing, ada beberapa gunting dan lem di dalamnya. Kebahagiaan mereka meledak saat saya mengumumkan bahwa kami akan bersama-sama membuat pohon lontar sebagai penghias dinding kelas kami dari bahan dan alat yang saya bawa.

Dalam sekejap, karton coklat yang saya bawa sudah berubah rupa jadi batang pohon lontar, karton kuning diguntingnya segitiga menjadi apa yang mereka sebut bebak atau pelepah lontar yang tumbuh mencuat dari batang pohon lontar, dan karton hijau menjadi  daun-daun besar, terkumpul di ujung batang membentuk tajuk yang membulat. Helaian daun lontar memang serupa kipas bundar.

Di tengah kebanggaan murid-murid saya atas hasil buah tangan mereka yang kini memberi sedikit warna pada kelas kesayangan kami, saya pun menyampaikan sebuah kesepakatan kepada mereka bahwa pohon ini akan berbuah kebaikan setiap siapapun melakukan kebaikan itu. Pohon Lontar Kebaikan akan berbuah Ringan Tangan saat ada yang menolong temannya, atau berbuah Pemberani saat ada yang berani meminta maaf setelah berbuat salah pada temannya, itu janji saya. Harapannya sedikit demi sedikit pohon lontar ini dapat membuahkan banyak hal-hal baik yang dapat mereka baca setiap hari. Dengan hanya kata-kata positif yang mereka perhatikan setiap hari di kelas, saya berharap sifat-sifat itu jugalah yang tumbuh subur di dalam mereka.

Dan kemanapun mereka pergi dan melihat pohon lontar, semoga buah-buah kebaikan itulah yang senantiasa mereka ingat.


Pak berharap kalian seperti pohon lontar yang setiap bagiannya berguna bagi kehidupan manusia. 
Mulai dari pelepahnya yang biasa kalian jadikan pagar rumah dan sekolah kita, 
buahnya yang kita makan bersama, air niranya yang kalian sadap setiap musim sada tuak
hingga daunnya yang dapat dibuat Sasando dan Tilangga kebanggaan tanah kalian, Nusa Lontar.

Rabu, 30 Juli 2014

Kita Mulai Dari Sini

Jembatan yang harus kami lalui menuju desa penempatan salah satu teman Pengajar Muda di Kuli, kecamatan Lobalain. Beberapa balok kayu yang sudah rusak bahkan lepas menjadi sangat menakutkan untuk dilangkahi apalagi dilalui dengan sepeda motor. Salah sedikit, terjun bebas ke sungai di bawah.


Oeseli, Rote Ndao
27 Juli 2014
pk. 21.00 WITA

Saya berada di Oeseli, sebuah kampung pesisir yang terletak di Barat Daya Pulau Rote. Untuk merayakan hari raya Idul Fitri yang jatuh pada esok hari, saya dan teman-teman satu tim penempatan memutuskan untuk singgah di sini. Karena selain menjadi tempat tinggal salah satu teman kami, di sini pun ada komunitas Muslim sehingga kami bisa merayakan hari kemenangan bersama.

Sudah kira-kira satu bulan lebih dua minggu saya menjalankan tugas sebagai Pengajar Muda dari Gerakan Indonesia Mengajar. Setelah melalui dua bulan pelatihan, di sinilah saya untuk setahun ke depan bersama dengan delapan rekan saya yang lain. Bersama-sama kami akan menjadi Guru SD dan bekerja sama dengan masyarakat memajukan pendidikan di kabupaten paling selatan di negeri ini. Selebihnya, kami yang akan belajar. Untuk mengenal bangsa kami lebih dekat, untuk menjadi pemimpin dalam lingkup-lingkup kecil, untuk hidup.

Dan malam ini saya bersama tiga orang teman bersembunyi dalam gelapnya malam sambil merebahkan diri di pantai belakang rumah yang menjadi tempat tinggal salah satu teman kami, yang juga akan kami inapi. Takbir Mesjid tanpa henti berkumandang di kejauhan dan kami berbaring memandangi langit yang terhampar tanpa batas di hadapan kami. Seluas sapuan mata memandang, bintang-bintang seolah pasir yang ditabur di sana, hanya saja mereka berkilauan. Entah sudah berapa bintang jatuh yang kami tunjuk dan entah sudah berapa banyak sumpah serapah yang diucapkan saking tidak adanya cara lagi yang bisa kami temukan untuk mengagumi apa yang sedang kami lihat. Kami berdiskusi tema-tema acak.

“Kalau semua umat hidup menurut kehendak Tuhan lalu masuk Surga tapi lalu ada hari kiamat, terus hidup buat apa ya?” sebuah pertanyaan kami jawab dalam hening. Kebetulan takbir juga sedang berhenti. Saya tidak tahu tiga teman saya yang lain, tapi bagi saya pertanyaan semacam ini bukan untuk dipikirkan. Tapi merefleksikannya sambil memandang kebesaran Tuhan atas bintang di hadapan kami rasa-rasanya jadi jauh lebih mudah.

***

Saya tidak pernah bercita-cita menjadi guru. Apalagi mengisi kekosongan guru di sekolah-sekolah yang memiliki kekurangan tenaga pengajar.

Saya ingat pernah menonton film Tiga Hari untuk Selamanya yang berkisah tentang dua saudara sepupu yang menempuh perjalanan Jakarta-Yogyakarta bersama sambil memaknai hidup. Salah satu adegan yang menurut saya paling menarik dalam film yang dibintangi Nicholas Saputra dan Ardinia Wirasti itu adalah obrolan mereka tentang usia 27. Si Sepupu Perempuan menuturkan bahwa pada usia umat yang ke-27, Allah akan membuka selebar-lebarnya pintu-pintu kesempatan atau justru menguncinya rapat-rapat. Untuk Kurt Cobain, Jimi Hendrix, Jim Morisson dan sederet nama figur publik yang meninggal dunia di usia 27 misalnya, dikatakannya Allah menutup pintu kesempatan itu. Tapi untuk beberapa orang lain pintu menuju hal-hal penting atau justru terpenting dalam hidup mereka akan dibukakan.

Dan disinilah saya di usia saya yang ke-27, mengambil keputusan untuk mengambil bagian dalam Gerakan Indonesia Mengajar. Membagi apa yang telah saya dapat pada saudara-saudara saya di pelosok negeri dan belajar dari kelas, sekolah dan daerah penempatan saya yang terletak di pulau paling selatan Indonesia, Pulau Rote.

Saya terlahir dari dua orang tua yang sangat memperhatikan pendidikan. Sejak pra sekolah hingga perguruan tinggi, Ayah dan Ibu selalu menyediakan pendidikan yang mumpuni untuk saya dan kakak saya. Tidak hanya pendidikan formal dan pengenalan kepada ibadah, Ayah dan Ibu pun sudah gemar mengajak saya ke alam bebas sejak kecil. Pendakian gunung pertama saya adalah saat di bangku SMP, saya diperkenalkan pada Puncak Gede oleh kedua orang tua saya. Bagi mereka, perjalanan di alam bebas adalah sebuah pendidikan untuk kemandirian dan kemapanan, yang tidak bisa didapatkan di tempat lain. Pendidikan diharapkan dan dijadikan dasar yang kuat bagi saya untuk menjadi pribadi yang siap mempertanggungjawabkan apapun yang saya lakukan. Ayah dan Ibu menjadikan pendidikan sebagai wali mereka, orang tua kedua kami, yang apabila saatnya nanti mereka tidak dapat lagi menemani kami, ada Pendidikan yang telah dijadikannya bekal yang cukup untuk senantiasa memandu kehidupan kami.

Ayah dan Ibu mungkin tidak pernah bermimpi menjadi siapa-siapa, tapi mereka bermimpi anak-anaknya kelak menjadi seseorang yang berguna. Pendidikan yang dibekalkannya kini berbuah kesempatan yang melimpah bagi saya. Saya bisa mengejar cita-cita apapun yang ingin saya raih, saya bisa singgah di penjuru negeri manapun yang ingin saya singgahi, dan cakrawala dunia pun jadi terlihat terlalu luas untuk saya jelajahi karena ilmu yang saya pelajari. Ya, pendidikan memberikan kesempatan kepada siapapun untuk merancang hidup seperti yang diinginkannya.

Saya ingin menjadi Pengajar Muda seperti Ayah dan Ibu saya, yang tidak hanya mendidik tapi juga memberikan kunci untuk pintu-pintu kesempatan bagi anak-anak Indonesia. Membagi apa yang telah selama ini saya dapat.

Saya juga terlahir sebagai warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Kakek-kakek buyut saya berasal dari dataran Cina, memutuskan menetap, menikah dengan orang Indonesia dan melanjutkan hidup di Indonesia.
Tinggal di Indonesia, memiliki darah keturunan yang kental dan kewarganegaraan yang selalu dipertanyakan, menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi saya. Pertanyaan tentang identitas diri saya sendiri.
Lingkungan tempat saya lahir, tumbuh dan berkembang, di Bekasi pun tidak menyematkan saya dengan identitas-identitas lokal seperti halnya teman dari Jakarta yang bisa membanggakan dan mengidentikan dirinya dengan budaya Betawi, atau teman dari Bandung dengan budaya Sundanya. Padahal identitas lokal ini turut memperkuat identitas kebangsaan seseorang.

Saya menemukan identitas ke-Indonesia-an saya ketika saya menjelajahi gunung-gunung tinggi dan alam-alam yang indah di negeri ini. Saat mengagungi indahnya matahari terbit dan tenggelam di berbagai belahan Indonesia. Dan saya juga menemukan identitas ke-Indonesia-an saya ketika saya berkontribusi pada lingkungan saya, aktif berorganisasi bersama teman-teman sekampus, serta ikut andil dalam kegiatan sosial di tengah masyarakat. Dengan hal-hal itu saya mencintai tanah dan air yang menghidupi saya sedari kecil, dengan hal-hal itu saya merasa tidak perlu mempertanyakan kewarganegaraan saya lagi.
Saya ingin berusaha menghilangkan pertanyaan saya dan orang-orang tentang identitas kebangsaan ini dengan menjadi Pengajar Muda. Saya ingin menunjukkan bahwa nasionalisme tidak bisa dikaitkan dengan garis keturunan. Nasionalisme lahir dari kecintaan pada tanah air tempat kita dilahirkan, dan keinginan kita untuk terus membangunnya.

***

Manusia boleh berkehendak, tetapi Tuhan jugalah yang memutuskan. Apa iya saya dipilih untuk kesempatan membalas semua pemberian yang telah saya dapat? Apa iya saya ditempatkan jadi guru di Rote untuk menemukan identitas ke-Indonesia-an saya?

Sepertinya Tuhan tidak se-complicated itu. Hari-hari awal saja saya diberikan pengalaman gagal me-manage kelas dengan baik karena ramainya anak-anak yang masuk ke dalam kelas, atau membuat anak murid saya menangis karena teguran saya yang agaknya terlewat keras. Mungkin saja Dia mau saya merasa gagal, supaya saya tahu bahwa saya harus lebih banyak mendengar dan belajar. Sesederhana itu.

Jadi jangan tanya saya kenapa saya memilih untuk jadi Pengajar Muda sekarang. Tanya saya pada Juni 2015, saat penugasan saya berakhir dan saat saya diijinkan untuk mengerti apa maksud Tuhan menempatkan saya di sini.

***

Pk. 22.00 WITA

Dari tengah laut tetiba ada cahaya senter yang sumbernya ternyata adalah perahu nelayan bermotor yang membantu mengangkut pasukan penjaga Pulau Ndana, pulau terluar di selatan NKRI, yang hendak merapat ke Oeseli untuk merayakan Idul Fitri esok hari. Sudah empat jam mereka terombang-ambing di tengah Samudera Hindia di atas kapalnya yang tidak bisa menepi karena air laut keburu surut. Kami menyambut bapak-bapak tentara yang kuyup dan mabuk laut, memandunya berjalan ke pos.

Dan baring-baring pinggir pantai kami pun berakhir di situ. Menyisakan pertanyaan tadi yang sepertinya akan sama-sama kami cari jawabannya setahun ke depan.

Oeseli, 28 Juli 2014 - Idul Fitri 1435 Hijriah

Minggu, 20 April 2014

Serendipity Sawai


Menurut Wikipedia, serendipity merupakan satu dari sepuluh besar kosakata Bahasa Inggris yang paling sulit diterjemahkan dari vote sebuah perusahaan penerjemah ternama di London, Today Translation. Tapi mengacu pada surat Horace Walpole (sejarawan dan politisi dari abad 18), dimana kata ini muncul untuk pertama kalinya, serendipity dimaksudkan untuk menyatakan : “always making discoveries, by accidents and sagacity, of things they were not in quest of.


Ilustrasi di atas menunjukkan letak Teluk Sawai di Pulau Seram. Teluk ini menyimpan banyak daya pikat wisata, mulai dari keindahan alam di atas maupun di dalam permukaan perairannya, kehidupan satwa hingga masyarakatnya yang bersahabat. 
Dari pusat kota Ambon, saya dan kedua teman saya harus bergerak sedikit ke Pasar Mardika. Di sini, Anda bisa menemukan bemo-bemo (angkutan umum di Ambon) ke tujuan mana pun di pulau Ambon, termasuk ke Tulehu, pelabuhan kapal yang akan menyeberangkan kami ke Pulau Seram, tepatnya ke Amahai.

Naik bemo dari Ambon ke Tulehu memakan biaya Rp. 10.000,-/orang. Dan biaya tiket speedboat untuk menyeberang dari Tulehu ke Amahai adalah Rp. 110.000,-/orang. Perjalanan Tulehu – Amahai ini kira-kira 2 jam saja.

Pelabuhan Tulehu, Ambon. Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan speedboat Express Cantika menuju Amahai. Courtesy of : Indra AW.
Kami membayar tiket untuk kelas eksekutif dimana semua tempat duduk saat itu hampir penuh terisi. Ada penduduk lokal yang asyik mengobrol dengan segunung barang dagangan yang baru dibelinya dari Ambon, adik-adik kecil yang berlarian di lorong tempat duduk, ibu yang sibuk memarahi anaknya karena gaduh, pedagang keliling hingga wisatawan-wisatawan asing yang mungkin bingung dengan betapa memungkinkannya semua keadaan berisik ini terjadi di dalam kapal.

Tiba-tiba tepat di belakang tempat duduk saya, saya mendengar seorang wisatawan asing sibuk bertanya pada penumpang lokal di sebelahnya. Dengan bahasa Inggris yang terbatas dia bertanya arah menuju Pantai Ora sambil menunjuk Lonely Planet lecek berbahasa Perancis yang dipegangnya dan Si Bapak yang duduk di sebelahnya kebingungan tidak bisa menjawab. Saya menjelajah Maluku pada perjalanan kali ini pun dengan bantuan Lonely Planet (berbahasa Inggris), jadi saya tahu ada beberapa informasi mengenai Pantai Ora yang tidak lagi valid di Lonely Planet cetakan itu, jadi saya pun membuka percakapan dengan Si Orang Asing.

Namanya Clement, orang Perancis, di sebelahnya duduk pasangannya Elise, juga warga negara Perancis. Usut punya usut, mereka telah berkeliling Indonesia selama 3 bulan dari total 6 bulan yang mereka rencanakan untuk mengelilingi seluruh Indonesia, dan kini mereka ingin menuju Pantai Ora.
Pantai Ora adalah satu bagian kecil saja dari Teluk Sawai. Ya, dia termasyur karena kombinasi pantai dan resornya yang menciptakan suasana romantis. Tapi jangan salah, ada berbagai destinasi lain di Teluk Sawai yang juga sama atau bahkan lebih menawan dari Pantai Ora.

Di awal sepertinya Clement (28) dan Elise (29) agak skeptis pada kami, tiga wisatawan dalam negeri yang mengajaknya bergabung menjajaki jalan menuju Pantai Ora impian mereka. Sebaliknya buat kami, ini semacam hadiah di tengah perjalanan karena kami bisa membagi biaya transportasi sewa mobil dari Amahai menuju Desa Saleman (Rp. 300.000,-/mobil) dengan mereka. Tapi beginilah biasanya prinsip perjalanan backpacking, tidak takut berteman dengan backpackers lain untuk mengurangi biaya-biaya perjalanan. Jadilah kami bersama menuju Desa Saleman yang berjarak kira-kira 1 jam jauhnya berkendara mobil dari Pelabuhan Amahai. Dari desa ini, katanya kami akan diseberangkan dengan perahu kecil semacam ketingting bermotor ke Desa Sawai.

Singkat cerita kami sampai di Saleman. Saleman ini sama sekali tidak tampak seperti pelabuhan untuk kapal menyeberang. Dia hanya sebuah desa nelayan yang dikelilingi hutan. Bahkan di sini tidak ada dermaga, kami hanya menyeberang dari bibir pantai. Di sini, kami bertemu dengan wisatawan asing lain, Toshi dan Junko, mereka suami istri dari Jepang yang juga dalam perjalanan mengelilingi Indonesia, mereka baru menghabiskan satu bulan perjalanan menyambangi Pulau Jawa dan Sunda Kecil. Mereka meminta ijin untuk bergabung karena tujuan kami sama.

Oh ya, tujuan kami tidak lagi Pantai Ora tapi sebuah penginapan di Desa Sawai. Pak Ali nama pemiliknya.
Lagi-lagi kami membagi biaya penyeberangan dengan perahu warga ini dengan lebih banyak orang. Satu kali penyeberangan dihargai Rp. 700.000,- yang akhirnya kami bagi bertujuh. Sebut ini sebuah kebetulan, atau kemujuran kami.

Desa Sawai


Pernah menonton film The Beach-nya Leonardo Dicaprio? Ingat adegan saat pertama kalinya, Ricahard dan teman-temannya menemukan sebuah perkampungan yang dibangun oleh para wisatawan yang berhasil menemukan tempat indah di pulau itu? Film dengan semangat perjalanan yang luar biasa ini yang terlintas di benak saya saat pertama kali perahu kami merapat ke dermaga di Desa Sawai. Bukan penduduk lokal atau Si Empunya Penginapan yang menyambut atau membantu kami naik, tapi justru wisatawan-wisatawan lain (asing dan lokal) yang telah lebih dulu ada di sanalah yang melempar senyum dan menyapa kami yang baru saja tiba. Berbagai orang dengan berbagai latar belakang kami temui, ada pasangan dari Belgia, solo traveler dari Belanda, sekelompok kru televisi dari Jakarta, dosen peneliti, sekelompok wisatawan asing berusia lanjut, hingga pasangan bulan madu. Kami berinteraksi satu sama lain. Dan tiba-tiba sore itu jadi terasa lebih hangat.
Penginapan ini terdiri dari beberapa bungalow apung. Satu bungalow berisi rata-rata empat hingga lima kamar untuk dua orang. Kami yang datang bersama-sama berbagi satu bungalow kosong, saya dan kedua teman saya mengisi dua kamar, Clement dan Elise mengisi satu kamar, lalu Toshi dan Junko mengisi satu kamar lagi. Dan dalam sekejap kami jadi housemate! Saking betahnya kami menghabiskan empat hari tiga malam di sini, termasuk malam pergantian tahun.

Pesona Sawai berhasil menawan hati kami di sini. Sore pertama saat menanti matahari terbenam dari teras, kami sudah dibuat terpesona dengan seekor penyu yang tiba-tiba berenang dari kolong bungalow hingga perlahan hilang dari penglihatan kami saat ia menyelam ke kedalaman Laut Seram. Atau plankton-plankton yang menyisakan cahaya berpendar pada garis renangnya setiap malam di lautan luas yang menjadi halaman penginapan kami. Jangan tanya seberapa indah koral dan ikan-ikan di dalamnya.

Pelayaran sehari mengitari Teluk Sawai dilakukan dengan perahu bermotor berkapasitas maksimal 10 orang (kiri). Courtesy of : Masatoshi. Perjalanan termasuk singgah di pulau kecil tanpa penghuni, Pulau Sapalewa (kanan).
Hari kedua di Sawai kami ikut dalam paket perjalanan sehari penuh yang dikelola Pak Ali dan beberapa pemuda Desa Sawai. Objek-objek wisata yang ditawarkan dalam sehari sangat beragam dan membawa kita hampir ke seluruh sudut Teluk Sawai yang unik. Ada penelusuran sungai ber-buaya, melihat langsung proses pengolahan sagu dari pohonnya oleh penduduk lokal, makan siang di sebuah pulau berpasir putih, snorkeling, mampir ke Pantai Ora hingga mengunjungi sebuah pulau penangkaran kelelawar raksasa (yang menghasilkan suara seperti kawanan kera). Paket wisata ini pun tergolong murah, lagi-lagi jika Anda datang dalam kelompok besar. Beruntungnya kami sudah berkelompok sejak hari pertama datang ke sini, jadi biaya Rp. 1.000.000,-/trip kami bagi bertujuh.

Perjalanan tidak terlupakan dan singkat di Sawai mengakrabkan kami. Bahkan kami menghabiskan waktu bersama hingga setibanya kami di Ambon lagi. Clement dan Elise berinisiatif untuk mengumpulkan kami lagi pada sebuah makan malam. Makan malam itu jadi titik berpisahnya kami yang akan meneruskan penjelajahan kami masing-masing. Clement dan Elise akan berjalan ke Ternate Tidore di Utara, saya dan teman-teman akan terbang ke Kepulauan Kei di Selatan, sedangkan Toshi dan istrinya akan langsung ke Utara Sulawesi.
Foto bersama setelah snorkeling di beberapa spot di Sawai. Courtesy of : Indra AW

Ini adalah makan malam terakhir kami di tahun 2013. Momen duduk bersama di meja makan ini mungkin yang akan paling saya rindukan, dimana kami bertukar ucapan Bon Apetite - Selamat Makan - Itadakimasu setiap sebelum mulai makan. Malam itu, Junko mengartikan nama kami dalam bahasa dan huruf Jepang, inset gambar di kanan bawah adalah coretannya untuk nama saya. Farli adalah Faruri dalam Bahasa Jepang. Courtesy of : Masatoshi.

Berkunjung ke Sawai dan menikmati keindahannya mungkin jadi bagian dari rencana perjalanan kami. Sensasi singgah dan terpesona akan semua suguhan alam di sini pun sedikit sudah ada dalam bayangan saat merencanakan. Tapi ada sebuah nilai dari perjalanan yang tidak bisa direncanakan seperti saat bertemu manusia. Pun manusia adalah bagian dari setiap perjalanan kita. Manusia seperti Clement, Elise, Toshi atau Junko menghadiahi perjalanan dengan sebuah pertalian baru, pertemanan. Dan pertemanan punya nilai yang tidak bisa digantikan. Betapa menakjubkannya dengan begitu luasnya dunia, kami dipertemukan hanya di satu titik pada suatu waktu. Untuk apa sebenarnya? Saya pun tidak tahu pasti, yang saya tahu kami banyak berbagi cerita tentang negeri dan budaya kami masing-masing. Saya jadi memandang manusia sebagai jendela dunia, yang membuka pandangan semakin luas dan semakin luas lagi.

Tiga Bulan Kemudian


Sebuah email masuk! Dan itu berasal dari Clement Marcorelles. Dia mengabarkan kalau dalam beberapa hari, dia dan Elise akan tiba di Jakarta dalam beberapa hari ke depan untuk kemudian bertolak kembali ke Perancis. Petualangan keliling Indonesia-nya telah berakhir!
Seolah terhubung, di hari yang sama pun Toshi mengirim email, mengabarkan kalau hari itu dia akan bertolak kembali ke Jepang dari Solo. Petualangannya menjelajah Indonesia pun telah usai.

Singkat cerita kami menemui Clement dan Elise saat mereka tiba kembali di Jakarta. Tawa kami untuk lelucon satu sama lain masih sama lepasnya seperti di Sawai. Kami mengajak mereka ke kawasan Kota Tua Jakarta, kami traktir mereka makan malam dan mereka traktir kami sebotol Red Wine. Yang saya ingat kami mengobrol soal kepercayaan dan ketidakpercayaan kami pada institusi pernikahan, dan negara yang mengatur soal agama malam itu. Obrolan kami masih sama lugasnya seperti di Sawai, tidak ada yang berubah.
Perpisahan malam itu kami tandai dengan sepasang batik untuk Clement dan Elise. Ada pula doa untuk keselamatan penerbangan mereka kembali ke Perancis serta harapan semoga kami bisa bertemu suatu hari nanti di bagian dunia yang lain.

Vous voir!

Sayonara!
 
Courtesy of : Indra AW
PS : Alasan Clement dan Elise memilih Indonesia sebagai tujuan perjalanan 6 bulan-nya adalah karena hanya di negeri ini penjelajahan dari Timur hingga ke Barat-nya yang mampu menghadirkan berbagai macam pengalaman, pemandangan alam serta budaya. Elise bilang dari pengalaman ini dia banyak berhenti dan berpikir ulang tentang kehidupan.