Rabu, 30 Juli 2014

Kita Mulai Dari Sini

Jembatan yang harus kami lalui menuju desa penempatan salah satu teman Pengajar Muda di Kuli, kecamatan Lobalain. Beberapa balok kayu yang sudah rusak bahkan lepas menjadi sangat menakutkan untuk dilangkahi apalagi dilalui dengan sepeda motor. Salah sedikit, terjun bebas ke sungai di bawah.


Oeseli, Rote Ndao
27 Juli 2014
pk. 21.00 WITA

Saya berada di Oeseli, sebuah kampung pesisir yang terletak di Barat Daya Pulau Rote. Untuk merayakan hari raya Idul Fitri yang jatuh pada esok hari, saya dan teman-teman satu tim penempatan memutuskan untuk singgah di sini. Karena selain menjadi tempat tinggal salah satu teman kami, di sini pun ada komunitas Muslim sehingga kami bisa merayakan hari kemenangan bersama.

Sudah kira-kira satu bulan lebih dua minggu saya menjalankan tugas sebagai Pengajar Muda dari Gerakan Indonesia Mengajar. Setelah melalui dua bulan pelatihan, di sinilah saya untuk setahun ke depan bersama dengan delapan rekan saya yang lain. Bersama-sama kami akan menjadi Guru SD dan bekerja sama dengan masyarakat memajukan pendidikan di kabupaten paling selatan di negeri ini. Selebihnya, kami yang akan belajar. Untuk mengenal bangsa kami lebih dekat, untuk menjadi pemimpin dalam lingkup-lingkup kecil, untuk hidup.

Dan malam ini saya bersama tiga orang teman bersembunyi dalam gelapnya malam sambil merebahkan diri di pantai belakang rumah yang menjadi tempat tinggal salah satu teman kami, yang juga akan kami inapi. Takbir Mesjid tanpa henti berkumandang di kejauhan dan kami berbaring memandangi langit yang terhampar tanpa batas di hadapan kami. Seluas sapuan mata memandang, bintang-bintang seolah pasir yang ditabur di sana, hanya saja mereka berkilauan. Entah sudah berapa bintang jatuh yang kami tunjuk dan entah sudah berapa banyak sumpah serapah yang diucapkan saking tidak adanya cara lagi yang bisa kami temukan untuk mengagumi apa yang sedang kami lihat. Kami berdiskusi tema-tema acak.

“Kalau semua umat hidup menurut kehendak Tuhan lalu masuk Surga tapi lalu ada hari kiamat, terus hidup buat apa ya?” sebuah pertanyaan kami jawab dalam hening. Kebetulan takbir juga sedang berhenti. Saya tidak tahu tiga teman saya yang lain, tapi bagi saya pertanyaan semacam ini bukan untuk dipikirkan. Tapi merefleksikannya sambil memandang kebesaran Tuhan atas bintang di hadapan kami rasa-rasanya jadi jauh lebih mudah.

***

Saya tidak pernah bercita-cita menjadi guru. Apalagi mengisi kekosongan guru di sekolah-sekolah yang memiliki kekurangan tenaga pengajar.

Saya ingat pernah menonton film Tiga Hari untuk Selamanya yang berkisah tentang dua saudara sepupu yang menempuh perjalanan Jakarta-Yogyakarta bersama sambil memaknai hidup. Salah satu adegan yang menurut saya paling menarik dalam film yang dibintangi Nicholas Saputra dan Ardinia Wirasti itu adalah obrolan mereka tentang usia 27. Si Sepupu Perempuan menuturkan bahwa pada usia umat yang ke-27, Allah akan membuka selebar-lebarnya pintu-pintu kesempatan atau justru menguncinya rapat-rapat. Untuk Kurt Cobain, Jimi Hendrix, Jim Morisson dan sederet nama figur publik yang meninggal dunia di usia 27 misalnya, dikatakannya Allah menutup pintu kesempatan itu. Tapi untuk beberapa orang lain pintu menuju hal-hal penting atau justru terpenting dalam hidup mereka akan dibukakan.

Dan disinilah saya di usia saya yang ke-27, mengambil keputusan untuk mengambil bagian dalam Gerakan Indonesia Mengajar. Membagi apa yang telah saya dapat pada saudara-saudara saya di pelosok negeri dan belajar dari kelas, sekolah dan daerah penempatan saya yang terletak di pulau paling selatan Indonesia, Pulau Rote.

Saya terlahir dari dua orang tua yang sangat memperhatikan pendidikan. Sejak pra sekolah hingga perguruan tinggi, Ayah dan Ibu selalu menyediakan pendidikan yang mumpuni untuk saya dan kakak saya. Tidak hanya pendidikan formal dan pengenalan kepada ibadah, Ayah dan Ibu pun sudah gemar mengajak saya ke alam bebas sejak kecil. Pendakian gunung pertama saya adalah saat di bangku SMP, saya diperkenalkan pada Puncak Gede oleh kedua orang tua saya. Bagi mereka, perjalanan di alam bebas adalah sebuah pendidikan untuk kemandirian dan kemapanan, yang tidak bisa didapatkan di tempat lain. Pendidikan diharapkan dan dijadikan dasar yang kuat bagi saya untuk menjadi pribadi yang siap mempertanggungjawabkan apapun yang saya lakukan. Ayah dan Ibu menjadikan pendidikan sebagai wali mereka, orang tua kedua kami, yang apabila saatnya nanti mereka tidak dapat lagi menemani kami, ada Pendidikan yang telah dijadikannya bekal yang cukup untuk senantiasa memandu kehidupan kami.

Ayah dan Ibu mungkin tidak pernah bermimpi menjadi siapa-siapa, tapi mereka bermimpi anak-anaknya kelak menjadi seseorang yang berguna. Pendidikan yang dibekalkannya kini berbuah kesempatan yang melimpah bagi saya. Saya bisa mengejar cita-cita apapun yang ingin saya raih, saya bisa singgah di penjuru negeri manapun yang ingin saya singgahi, dan cakrawala dunia pun jadi terlihat terlalu luas untuk saya jelajahi karena ilmu yang saya pelajari. Ya, pendidikan memberikan kesempatan kepada siapapun untuk merancang hidup seperti yang diinginkannya.

Saya ingin menjadi Pengajar Muda seperti Ayah dan Ibu saya, yang tidak hanya mendidik tapi juga memberikan kunci untuk pintu-pintu kesempatan bagi anak-anak Indonesia. Membagi apa yang telah selama ini saya dapat.

Saya juga terlahir sebagai warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Kakek-kakek buyut saya berasal dari dataran Cina, memutuskan menetap, menikah dengan orang Indonesia dan melanjutkan hidup di Indonesia.
Tinggal di Indonesia, memiliki darah keturunan yang kental dan kewarganegaraan yang selalu dipertanyakan, menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi saya. Pertanyaan tentang identitas diri saya sendiri.
Lingkungan tempat saya lahir, tumbuh dan berkembang, di Bekasi pun tidak menyematkan saya dengan identitas-identitas lokal seperti halnya teman dari Jakarta yang bisa membanggakan dan mengidentikan dirinya dengan budaya Betawi, atau teman dari Bandung dengan budaya Sundanya. Padahal identitas lokal ini turut memperkuat identitas kebangsaan seseorang.

Saya menemukan identitas ke-Indonesia-an saya ketika saya menjelajahi gunung-gunung tinggi dan alam-alam yang indah di negeri ini. Saat mengagungi indahnya matahari terbit dan tenggelam di berbagai belahan Indonesia. Dan saya juga menemukan identitas ke-Indonesia-an saya ketika saya berkontribusi pada lingkungan saya, aktif berorganisasi bersama teman-teman sekampus, serta ikut andil dalam kegiatan sosial di tengah masyarakat. Dengan hal-hal itu saya mencintai tanah dan air yang menghidupi saya sedari kecil, dengan hal-hal itu saya merasa tidak perlu mempertanyakan kewarganegaraan saya lagi.
Saya ingin berusaha menghilangkan pertanyaan saya dan orang-orang tentang identitas kebangsaan ini dengan menjadi Pengajar Muda. Saya ingin menunjukkan bahwa nasionalisme tidak bisa dikaitkan dengan garis keturunan. Nasionalisme lahir dari kecintaan pada tanah air tempat kita dilahirkan, dan keinginan kita untuk terus membangunnya.

***

Manusia boleh berkehendak, tetapi Tuhan jugalah yang memutuskan. Apa iya saya dipilih untuk kesempatan membalas semua pemberian yang telah saya dapat? Apa iya saya ditempatkan jadi guru di Rote untuk menemukan identitas ke-Indonesia-an saya?

Sepertinya Tuhan tidak se-complicated itu. Hari-hari awal saja saya diberikan pengalaman gagal me-manage kelas dengan baik karena ramainya anak-anak yang masuk ke dalam kelas, atau membuat anak murid saya menangis karena teguran saya yang agaknya terlewat keras. Mungkin saja Dia mau saya merasa gagal, supaya saya tahu bahwa saya harus lebih banyak mendengar dan belajar. Sesederhana itu.

Jadi jangan tanya saya kenapa saya memilih untuk jadi Pengajar Muda sekarang. Tanya saya pada Juni 2015, saat penugasan saya berakhir dan saat saya diijinkan untuk mengerti apa maksud Tuhan menempatkan saya di sini.

***

Pk. 22.00 WITA

Dari tengah laut tetiba ada cahaya senter yang sumbernya ternyata adalah perahu nelayan bermotor yang membantu mengangkut pasukan penjaga Pulau Ndana, pulau terluar di selatan NKRI, yang hendak merapat ke Oeseli untuk merayakan Idul Fitri esok hari. Sudah empat jam mereka terombang-ambing di tengah Samudera Hindia di atas kapalnya yang tidak bisa menepi karena air laut keburu surut. Kami menyambut bapak-bapak tentara yang kuyup dan mabuk laut, memandunya berjalan ke pos.

Dan baring-baring pinggir pantai kami pun berakhir di situ. Menyisakan pertanyaan tadi yang sepertinya akan sama-sama kami cari jawabannya setahun ke depan.

Oeseli, 28 Juli 2014 - Idul Fitri 1435 Hijriah