Minggu, 22 Februari 2015

Ini Cinta Bung!



Menjadi Pengajar Muda memberi saya banyak pengalaman dan pelajaran hidup berharga.
Pengalaman (yang hanya) satu tahun ini laiknya laboratorium eksperimen untuk setiap metode kepemimpinan, mungkin itu sebabnya Indonesia Mengajar membahasakannya Sekolah Kepemimpinan. Bedanya dengan laboratorium sains, di sini tidak ada berhasil atau gagal, semuanya adalah pembelajaran. Tentang hidup, Tuhan, dan cinta pada bangsa.

Kedatangan ke daerah penugasan saya jamin menghadirkan kejutan bagi para Pengajar Muda. Kejutan itu bisa berbuah dua, jika tidak jadi syukur dia jadi pemicu utama rasa tertekan hingga putus asa di tengah masa penugasan. Setidaknya itulah yang terjadi pada saya. Kambing hitamnya biasanya adalah ekspektasi. Karena ekspektasi yang sulit sekali diselaraskan dengan kenyataan di lapangan, semangat yang dijejalkan dalam hati bersama ekspektasi tadi perlahan surut seperti air laut di pesisir Pulau Rote menjelang purnama. Bedanya air laut yang surut di sini menyisakan berbagai hewan laut yang siap disantap, tetapi semangat yang surut tidak menyisakan apa-apa lagi. 

Saya belajar bahwa kondisi daerah penugasan bukanlah sesuatu yang layak diamini. Kita berucap Amin untuk mengakhiri doa, menyimpulkannya pada sebuah keimanan bahwa Tuhan mendengar dan akan memilah mana-mana harapan yang terbaik untuk kita. Fenomenanya, sebagai Pengajar Muda beberapa dari kami pun seringkali meyakini (atau bahkan mengamini) bahwa kondisi daerah penugasan adalah begitu adanya. Tidak jarang kondisi masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang statis. Padahal masyarakat dibangun dari manusia-manusia, dan hakikatnya manusia bisa berubah.
Contohnya sesederhana menanggapi sekolah penempatan sesama Pengajar Muda yang berhasil menjalankan mata pelajaran Bahasa Inggris di sekolahnya dengan “Ya, anak-anak di tempat lo pinter-pinter sih ya, coba di tempat gua baca aja susah.” Atau berkomentar, “Ya lo enak ya, kepala sekolahnya tegas, punya wibawa dan pintar,” kepada sekolah penempatan rekan lain yang sudah mampu menjalankan Kegiatan Belajar Mengajar secara baik lengkap dengan kebiasaan ber-administrasinya.

Komentar-komentar itu tanpa sadar kami lontarkan tanpa tinjauan pada sebuah sudut pandang yang menurut saya lebih motivatif. Ya, sudut pandang yang tidak malah menghentikan usaha (karena tempat lo lebih enak dari tempat gue) tapi justru memancing kami untuk berpikir dan berbuat.
Saat melihat kemajuan di daerah penempatan lain, refleksi yang biasanya timbul hanyalah kekaguman. Kekaguman itu hampir tidak pernah disusul pengandaian semacam, “Pasti dulunya teman saya ini atau pendahulunya perlu usaha yang tidak mudah untuk membiasakan anak-anak dengan Bahasa Inggris hingga piawai seperti ini.” Atau “Pasti banyak pengorbanan yang dilakukan Pengajar Muda di sekolah ini untuk menjadikan kepala sekolahnya juara. Apa mungkin Kepala Sekolahnya juga dulu punya karakter yang sulit?”

Atau berlanjut pada keyakinan, “Pasti teman saya, pendahulunya, atau siapapun yang berperan bagi perubahan di tempat ini tidak menyerah pasrah pada keadaan.” Dan berakhir pada usaha meneladani apa yang dilakukan di sana hingga perubahan terjadi atau secara esensial menyerap semangatnya yang tidak mengamini kondisi daerah penugasan lalu berhenti berkata tidak bisa.

Saat ada begitu banyak tantangan yang jangankan harus diselesaikan, menghadapinya saja saya enggan, saya pernah merenung. Dalam lamunan itu tiba-tiba terbersit bagaimana jika seorang Pengajar Muda teladan ada di sini, menghadapi apa yang saya hadapi. Apa yang akan dia lakukan?
Seketika pengandaian itu menghadirkan motivasi dan ide-ide segar tentang apa yang bisa saya coba lakukan. Saya sadar betul saya bukan sosok Si Pengajar Muda teladan yang saya hadirkan dalam imajinasi tadi, saya pun punya keterbatasan. Tapi penugasan ini pun mengajarkan saya untuk menembus batas-batas. Bahwa kondisi diri pun seperti kondisi daerah penugasan yang tidak layak diamini. Bahwa manusia lebih baik dari apa yang dia tahu.

Dalam setiap apapun yang kita hadapi sepertinya hukumnya sama. Tidak perlu jadi Pengajar Muda untuk tidak menyerah pada keadaan dan terus mendukung diri menembus batas-batas.

Detik itu membawa saya untuk hilir mudik berkeliling desa keesokan hari dan hari-hari setelahnya. Mengawali usaha mewujudkan mimpi menggerakan masyarakat untuk berpihak pada apa yang saya tawar-tawarkan sejak awal kedatangan saya ke sini : Pendidikan.

Saat malam dan tiba waktu membaringkan badan dalam kelambu, lelah senantiasa melayangkan sebuah tanya, “Sedang apa saya di sini?”

Memaksa diri berpikir. Memaksa diri berubah. Dan tidak ada satu setanpun kaitannya dengan saya pribadi. Untuk apa?

Laki-laki yang pernah jatuh cinta pasti mengerti. Laki-laki paling pintar di dunia sekalipun akan melakukan hal-hal tidak logis dan tidak dapat dijelaskan atas nama cinta. Dan kemungkinan besar saya memang sedang dilanda cinta. Berapi-api! Jadi jangan tanya lagi kenapa atau untuk apa. 



Senin, 02 Februari 2015

Video Untuk Marwa


Segelas susu putih hangat selesai saya teguk menyusul dua keping kue cucur yang telah terlebih dahulu masuk ke dalam perut saya. Renyahnya Si Kue Cucur sebenarnya memunculkan hasrat untuk tambah, tapi apa daya susu dan kue cucur tadi adalah suguhan tetangga.

Senin itu, sebelum ke sekolah saya menyempatkan mampir ke kios terdekat. Saya mengharapkan minyak tanah cuma-cuma untuk mengisi botol bekas minuman berenergi  yang akan saya pakai untuk percobaan IPA di kelas hari itu. Beruntung memang berada di tengah-tengah masyarakat Rote yang memandang makanan sebagai berkat Tuhan, dan memandang berkat Tuhan sebagai sesuatu yang harus disyukuri dengan cara berbagi. Maka dapatlah saya sarapan pagi gratis untuk mengawali kegiatan mengajar saya hari itu.

Saya tidak akan bercerita tentang percobaan IPA yang anak-anak saya lakukan, karena hari itu ada sebuah pelajaran yang lebih menyenangkan. Dalam kurikulum pendidikan nasional, salah satu kompetensi yang diajarkan pada peserta didik kelas tiga sekolah dasar adalah mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan. Saya sudah menantikan untuk membawakan pelajaran ini sejak lama, kira-kira hari-hari pertama saya ditempatkan di sekolah ini tujuh bulan lalu. Pasalnya, di hari-hari pertama saya mengajar itu, saya pernah bertanya kepada anak-anak tentang mau jadi apa mereka nanti. Lewat goresan crayon, mereka dengan antusias menggambar tentara, polisi, guru dan cita-cita mereka yang lain.

Hari itu ada seorang anak yang membuat saya akan selalu mengingatnya. Di tengah gambar-gambar tentara berpakaian loreng-loreng, dokter memakai sneli putih dengan stetoskop tergantung di leher, atau ibu guru berkacamata dan mengenakan rok span, gambarnya menarik perhatian saya karena dia tidak hanya menggambar sosok manusia tapi juga binatang!

Dia juga akan membuat saya akan selalu mengingatnya karena di kelas dia adalah anak termungil. Kalau berbaris, dia akan selalu menempati posisi terdepan. Dan saya akan selalu saja khawatir dia tertubruk atau terpukul terlewat keras oleh lengan teman-temannya yang cukup besar untuk ukurannya. Di tengah teman-temannya yang berseru lantang tentang cita-citanya pun, dia hanya menjawab dengan gerakan mulut tanpa suara. Persis seperti kuis tebak-tebakan kata di televisi.

Perlu beberapa saat bagi saya membaca dan memahami gerak bibirnya.

Ah, dia mau jadi dokter hewan!

---


Namanya Marwa Dalle. Saya dan anak-anak sekelas punya panggilan kesayangan untuknya yaitu Wawa. Dengan badannya yang kecil, rambutnya yang keriting, serta giginya yang tanggal satu di bagian depan, nama panggilan ini membuat Marwa, bagi saya, terlalu menggemaskan.

Singkat cerita, beberapa hari setelah hari itu di tengah keterbatasan sinyal di tempat saya dan tempatnya, saya menyempatkan menghubungi seorang teman, Aidell Fitri, Pengajar Muda yang punya profesi sebagai dokter hewan. Dia bertugas di Bima, Nusa Tenggara Barat. Saya memintanya mengirimkan sebuah video yang bercerita tentang profesi dokter hewan langsung dari seorang dokter hewan.

Idenya sederhana. Saya hanya ingin membuat sebuah hari yang semoga jadi hari paling membahagiakan untuk jagoan kecil saya ini, Marwa. Saya tidak pernah berhasil mendapat jawaban mengapa Marwa mau jadi dokter hewan, atau darimana dia mendapatkan inspirasi itu, tapi kenyataannya di Rote hanya terdapat dua orang dokter hewan yang bertugas di Dinas Peternakan dan tidak seorangpun yang tinggal dekat-dekat rumah Marwa. Jadi saya berangkat dari sebuah pertanyaan sederhana, bagaimana jika ada seorang dokter hewan dari luar pulaunya, dari suatu tempat yang jauh, mengirimkan sebuah video yang bercerita tentang asyiknya menjadi dokter hewan?

Dan hari ini hati saya tidak hanya berbunga karena dapat sarapan gratis, tapi saya berangkat ke sekolah dengan laptop yang telah berisi dengan video untuk Marwa yang berhasil saya unduh pada akhir pekan saat saya bertandang ke kota kabupaten dan mendapatkan jaringan internet.

Saat saya melangkahkan kaki masuk ke dalam kelas, anak-anak sudah gelisah karena sedari sabtu, hari terakhir sekolah di minggu lalu, saya memang sudah berjanji untuk menayangkan sebuah video kiriman untuk Marwa. Pertanyaan bertubi-tubi teman-teman Marwa tentang video apa, siapa pengirimnya  dan permintaan untuk menayangkannya sesegera mungkin saya biarkan menjadi rasa penasaran untuk mereka. Marwa yang memang pendiam, justru hanya tersenyum malu-malu.

Hari itu anak-anak kelas saya sangat patuh komando. Dengan instruksi tidak berulang, kursi-kursi mereka sudah berbaris rapi di depan meja dimana saya membuka laptop dan memasang speaker. Dalam sekejap, kelas kami berubah jadi teater mini. Seperti biasa, laptop dan speaker bagaikan umpan segar terkait pada kail yang tanpa peringatan langsung diserbu anak-anak dari kelas lain yang gurunya tidak masuk. Jadilah teater mini kami ramai, ada yang jongkok, ada yang duduk, ada yang setengah berdiri, ada yang berdiri, ada juga yang berdiri di atas kursi atau meja.

Marwa mendapat kursi kehormatan di barisan depan, dia duduk manis tepat di depan layar laptop.Kiriman video dan kursi kehormatan tidak menjadikan Marwa yang pemalu lantas berubah, dia  tenggelam dalam duduknya menantikan video diputar. Sebuah buku dipakainya untuk menutup separuh wajahnya.
Dan inilah yang terjadi saya video kiriman tersebut diputar di dalam kelas. Saya menyajikannya dalam bentuk video :



Video kiriman untuk Marwa berhasil membuat anak-anak di kelas terpaku. Video tersebut sepertinya juga berhasil melambungkan mimpi anak-anak di kelas saya lebih tinggi lagi.

Kita tidak akan pernah tahu akan jadi apa Marwa kelak. Tapi semoga saja dia akan ingat, kalau waktu kecil dulu ada seorang dokter hewan yang tinggal jauh dari rumahnya mengirimkan sebuah video. Dokter hewan tersebut menjanjikan bahwa profesi menjadi dokter hewan adalah benar menyenangkan. Dokter hewan tersebut juga berpesan supaya ia rajin belajar dan sekolah yang tinggi. Si Dokter juga berdoa supaya cita-cita Marwa berprofesi sebagai dokter hewan menjadi nyata. 

Jumat, 31 Oktober 2014

Minggu, 24 Agustus 2014

Bab Pertama : Kesabaran


Saya ingat mencengkeram sangat erat lengan kirinya lalu menariknya hingga berhadapan muka dan muka dengan saya. Saya juga ingat menegur keras murid saya ini untuk mendengarkan kata-kata saya yang menyuruhnya berhenti berlarian keliling kelas saat pelajaran berlangsung.

Dalam pegangan saya, Si Anak seketika meringis, lalu terduduk di lantai kelas. Jangankan menatap muka saya yang tengah memarahinya, melirik sedikitpun dia tidak berani. Dia terus memaksa kepalanya tunduk dan mulai menangis. Sambil terus memeringatinya, saya menarik lalu mendudukannya di kursi yang sejak hari pertama tidak pernah betah ditempatinya untuk sedetik pun. Dan di hari itu saya tahu kalau batas kesabaran yang saya miliki tidak sejauh yang saya bayangkan. Baru saja hari kedua saya mengajar, saya sudah membuat satu murid saya sekarang terduduk takut di kursinya, di kelasnya yang sedari awal saya rencanakan beratmosfer happy learning.

Saya sarjana arsitektur yang sebelumnya berkarir di dunia broadcasting dan tidak pernah terbersit sekejap pun dalam hidup saya untuk menjadi pengajar. Proyek-proyek arsitektur semasa kuliah yang sekalipun bertumpuk-tumpuk harus bisa diselesaikan dalam waktu sekejap, serta tuntutan produksi di industri televisi yang serba kejar tayang membuat saya tidak terbiasa menunggu. Selama ini, kesabaran saya tidak terlatih. Dan kalau perjalanan menjadi Pengajar Muda setahun ke depan ini ibarat buku pegangan belajar mengajar, sepertinya saya tengah membuka bab pertama yaitu tentang Kesabaran.

***

Seumur hidup saya tidak akan pernah melupakan nama siswa yang pertama kali saya marahi sekaligus buat nangis dalam sejarah mengajar saya, yang mungkin hanya sekali-kalinya ini. Namanya Fersi Theon. Dia terbilang kurus untuk anak kelas tiga, tapi tingginya lumayan dibandingkan teman-teman laki-laki di kelasnya. Rambutnya agak plontos dan dia punya kekhasan Indonesia Timur, kulit hitam dan senyum yang sama-sama manis.

Setelah dua hari berturut-turut hanya berlarian mengelilingi kelas, dan tidak menghiraukan sedikit pun kata-kata Pak Guru hingga Pak Gurunya ini naik pitam, sekarang Fersi tertunduk dan menangis di kursinya. Saya berlagak tidak panik sambil terus mengajar seperti biasa, namun kepala saya mendadak dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan. Apakah saya baru saja melakukan kekerasan di dalam kelas? Apakah perbuatan saya barusan menghancurkan kepercayaan Si Murid pada gurunya untuk setahun ke depan? Bagaimana membuatnya berhenti menangis? Kenapa susah sekali menerapkan happy learning dengan anak-anak ini? Atau jangan-jangan praktek saya mengenai positive discipline salah?

Singkat cerita, hari itu sebelum pulang sekolah saya mengajak Fersi bicara. Saya memberikan pemahaman mengenai alasan saya menegurnya dengan nada sangat keras. Kemudian saya pun mengadakan perjanjian dengannya supaya hal serupa tidak terulang di kemudian hari. Kepalanya menunduk terus seharian ini, tapi ada anggukan kecil tanda dia mengerti.

Keesokan harinya saya mengatur tempat duduk anak-anak di kelas saya dengan sedikit drama anak-anak yang tidak mau duduk bersebelahan dengan kawan lawan jenisnya. Fersi duduk di barisan muka karena saya ingin menaruh perhatian lebih pada anak-anak yang setelah beberapa hari saya amati memiliki karakteristik lebih kinestetis dibanding anak-anak yang lain. Tapi mengherankannya, sejak hari itu dia menjadi sangat tertib. Tidak ada lagi berlari-lari keliling kelas. Tidak ada lagi sikap tidak acuh. Fersi tetiba menjadi anak manis, yang saat saya memberi signal memulai pelajaran dengan sendirinya mengeluarkan sebuah buku dan bolpen dari tasnya dan bersiap belajar. Saking manisnya, saya jadi merasa bersalah. Mengingat teguran saya kemarin, saya jadi berpikir kemungkinan saya bersikap terlalu keras pada anak-anak yang masih kelas 3 SD.

Tapi tidak ada guru yang tidak senang kalau melihat anak-anaknya berperilaku baik.

Lalu tibalah hari itu dimana saya mengajar matematika. Materi hari itu adalah mengenai garis bilangan, dan saya mengajarkan mereka membandingkan dua bilangan dengan notasi lebih besar, lebih kecil dan sama dengan.

Saat berlatih soal, saya menemukan ada beberapa murid yang kesulitan memahami soal membubuhkan notasi-notasi ini. Mungkin karena sebelumnya tugas mereka hanyalah mengisi titik-titik pada soal-soal-soal penjumlahan. Saat titik-titik yang harus mereka isi ada di antara dua bilangan mereka menjadi kurang paham apa yang harus mereka lakukan.

Tidak terkecuali Fersi. Dia jadi anak paling terakhir yang belum juga selesai mengerjakan sepuluh buah soal yang saya berikan hingga bel istirahat berbunyi. Saya setia menunggunya selesai mengerjakan tugasnya itu.
Lima belas menit berlalu, saya mulai mengagumi kegigihannya bertahan di kursinya. Kursi yang tidak tahan didudukinya sedetikpun di dua hari pertama sekolah. Kali ini saya yang mulai tidak kerasan duduk di kursi saya. Saya mulai berjalan mengelilingi kelas. Bahkan Fersi pun tidak terusik dengan pergerakan saya.
Hingga akhirnya dia menengok ke arah saya, mengangkat bukunya dan bilang, “Sudah, Pak!” Segera saya memeriksa pekerjaan tak kenal menyerahnya itu.

Benar saja, Fersi masih bingung mengenai model soal perbandingan bilangan ini. Alih-alih mengisi titik-titik dengan tanda lebih besar, lebih kecil atau sama dengan, dia malah membubuhkan tanda-tanda itu di samping setiap bilangan yang ada. Perlahan-lahan saya menjelaskan kembali apa maksud soal-soal itu dan bagaimana menyelesaikannya, termasuk ekstra tips menjawabnya dengan metode ‘mulut monster’.
Tanda lebih besar (>) dan lebih kecil (<) diibaratkan mulut monster yang sedang terbuka. Monster lebih suka dengan angka yang lebih besar, jadi arahkan selalu bukaan mulutnya ke bilangan yang lebih besar.
Fersi senang dengan analogi ini. Menemukan penyelesaian yang mudah, dia pun tertawa. Karena saya pun puas bisa menanamkan pengertian padanya saya memberikannya tos serta kemudian beres-beres untuk memanfaatkan waktu istirahat yang tersisa.

Herannya, Fersi masih tekun dengan buku tugasnya. Tidak lama dia menyodorkan kembali buku tugasnya, “Sudah, Pak.”

Sudah apalagi kali ini, saya pikir kami sudah selesai dengan soal-soal ini.

Sepertinya itu kali pertama saya dibuat terharu oleh sebuah buku tugas matematika anak kelas 3 SD. Fersi menuliskan ulang secara rapi kesepuluh soal tadi, dan menyelesaikannya tanpa ada salah. Saya ingat betul, bukannya memberikan nilai saya malah mengalihkan pandangan saya pada anak murid saya yang satu ini. Apa yang ada di dalam isi kepala anak ini, ya?

Hari itu saya belajar tentang  Kesabaran. Lucunya, saya mendapat pelajaran itu dari korban ketidaksabaran saya di hari-hari pertama saya mengajar. Seorang anak yang saya tahu lebih senang berlari berkejar-kejaran di kelas memaksa dirinya duduk, mengerjakan soal matematika, mendapati hasil pekerjaannya salah semua, kembali duduk dan menyempurnakannya hingga betul semua.

***


Saya beberapa kali mendapati cerita agak dramatis semacam ini dari blog Pengajar Muda atau tayangan Lentera Indonesia. Dulu, saya agak skeptis. Sempat sepakat dengan salah satu tulisan teman alumni Pengajar Muda yang bilang cerita-cerita Pengajar Muda terlalu banyak ‘bedak’-nya. Tapi sekarang saya menghadapinya sendiri. Bedak-nya saya pakai sendiri. Tapi saya justru merasa sangat bersyukur bisa mengalami hal-hal semacam ini.

Saya sedang selalu bertanya, kenapa saya diberi kesempatan Pengajar Muda, kenapa saya yang ditempatkan di sini.

Jawaban pertama-nya sudah kian nyata, ini baru Bab Satu, saya mau diberi pelajaran tentang Kesabaran. Kesabaran pun punya sub bab, seperti tidak tergesa-gesa, melihat keadaan dari sudut pandang-sudut pandang yang lain hingga menyempatkan diri bercanda. Sub bab-sub bab lain masih menunggu di depan, saya pun tidak tahu ada apa lagi, saya masih terus mencari tahu. Persoalannya buku pelajaran Kesabaran ini agak berbeda, metode belajarnya konstruktif: kita sendiri yang menggali apa yang perlu kita pelajari. Kalau di pelatihan Pengajar Muda Indonesia Mengajar, metode ini dipercaya efektif bikin siswa ingat terus sama apa yang mereka pelajari.

Saya tidak sabar menemukan sub bab-sub bab yang lain. Sama tidak sabarnya menemukan bab-bab yang lain, juga buku-buku pelajaran yang lain dalam perjalanan satu tahun ke depan ini!

Jumat, 01 Agustus 2014

Belajar dari Pohon Lontar



Pulau Rote, yang oleh orang-orang lokalnya juga disebut Lote, adalah sebuah pulau di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang termasuk dalam Propinsi Nusa Tenggara Timur di Gugus Kepulauan Sunda Kecil.

Selain sebagai wilayah paling selatan di Indonesia, Rote juga dikenal sebagai Nusa Lontar. Lontar di sini adalah nama pohon yang mungkin lebih umum dikenal sebagai Siwalan, sejenis palma yang dapat tumbuh hingga usia seratus tahun di wilayah Asia Selatan dan Tenggara. 

Di Rote, pohon-pohon lontar adalah penguasa vegetasi. Di Oeulu, dusun penempatan saya di pesisir Rote Timur, dia tumbuh tinggi-tinggi menjulang mengalahkan pohon-pohon kelapa. Setiap tahun, mulai bulan Agustus hingga November, para Bapak tanpa kenal lelah akan naik turun pohon lontar menyadap karangan bunga atau tongkol bunga betinanya untuk mengumpulkan ber-barrel-barrel air nira atau yang disebut masyarakat lokal sebagai tuak. Empat bulan inilah yang dikenal sebagai musim sada tuak di Rote.

Sedari kecil, anak-anak Oeulu sudah akrab dengan pohon lontar. Pelepah pohon yang sudah kering dan jatuh ke tanah menjadi teman bermainnya walaupun hanya sekedar didorong-dorong dan ditarik-tarik ke sana dan ke sini layaknya gerobak balap. Saat akan datang musim sada tuak, ada Oe No Kili Vepa (dalam bahasa Rote Timur berarti air kelapa dan mengiris pelepah lontar) yaitu saat seisi rumah berkumpul dimana para laki-laki akan mengiris pelepah lontar dan mengikatnya satu persatu menjadi anak tangga panjat pohon lontar sementara anak-anak perempuan membantu ibu di dapur menyiapkan masakan berunsur santan serta penganan-penganan lain.  Tidak jarang juga, saat musim sada tuak tiba, beberapa anak menemani ibu mereka memasak air nira yang berhasil dikumpulkan Si Bapak hingga matang.

Kedekatan pohon lontar dengan kehidupan anak-anak murid saya inilah yang saya manfaatkan sebagai metode mengajar. Harapan saya adalah dengan menggunakan apa yang setiap hari mereka lihat akan membantu mereka mengingat apa yang saya ajarkan. Serta menggunakan apa yang mereka anggap penting dalam kehidupan mereka ini juga memudahkan saya untuk memaknakan apa yang saya ajarkan kepada mereka. Namanya Pohon Lontar Kebaikan, ide ini merupakan modifikasi dari Pohon Kebaikan-nya Priska Sebayang Pengajar Muda Angkatan ke-4 yang bertugas di Pulau Kawio, Sangihe, Sulawesi Utara.

Hari itu mata anak-anak murid saya lebih berbinar saat saya masuk kelas dengan beberapa gulung karton warna-warni yang mencuat dari sebuah kantung plastik yang saya jinjing, ada beberapa gunting dan lem di dalamnya. Kebahagiaan mereka meledak saat saya mengumumkan bahwa kami akan bersama-sama membuat pohon lontar sebagai penghias dinding kelas kami dari bahan dan alat yang saya bawa.

Dalam sekejap, karton coklat yang saya bawa sudah berubah rupa jadi batang pohon lontar, karton kuning diguntingnya segitiga menjadi apa yang mereka sebut bebak atau pelepah lontar yang tumbuh mencuat dari batang pohon lontar, dan karton hijau menjadi  daun-daun besar, terkumpul di ujung batang membentuk tajuk yang membulat. Helaian daun lontar memang serupa kipas bundar.

Di tengah kebanggaan murid-murid saya atas hasil buah tangan mereka yang kini memberi sedikit warna pada kelas kesayangan kami, saya pun menyampaikan sebuah kesepakatan kepada mereka bahwa pohon ini akan berbuah kebaikan setiap siapapun melakukan kebaikan itu. Pohon Lontar Kebaikan akan berbuah Ringan Tangan saat ada yang menolong temannya, atau berbuah Pemberani saat ada yang berani meminta maaf setelah berbuat salah pada temannya, itu janji saya. Harapannya sedikit demi sedikit pohon lontar ini dapat membuahkan banyak hal-hal baik yang dapat mereka baca setiap hari. Dengan hanya kata-kata positif yang mereka perhatikan setiap hari di kelas, saya berharap sifat-sifat itu jugalah yang tumbuh subur di dalam mereka.

Dan kemanapun mereka pergi dan melihat pohon lontar, semoga buah-buah kebaikan itulah yang senantiasa mereka ingat.


Pak berharap kalian seperti pohon lontar yang setiap bagiannya berguna bagi kehidupan manusia. 
Mulai dari pelepahnya yang biasa kalian jadikan pagar rumah dan sekolah kita, 
buahnya yang kita makan bersama, air niranya yang kalian sadap setiap musim sada tuak
hingga daunnya yang dapat dibuat Sasando dan Tilangga kebanggaan tanah kalian, Nusa Lontar.

Rabu, 30 Juli 2014

Kita Mulai Dari Sini

Jembatan yang harus kami lalui menuju desa penempatan salah satu teman Pengajar Muda di Kuli, kecamatan Lobalain. Beberapa balok kayu yang sudah rusak bahkan lepas menjadi sangat menakutkan untuk dilangkahi apalagi dilalui dengan sepeda motor. Salah sedikit, terjun bebas ke sungai di bawah.


Oeseli, Rote Ndao
27 Juli 2014
pk. 21.00 WITA

Saya berada di Oeseli, sebuah kampung pesisir yang terletak di Barat Daya Pulau Rote. Untuk merayakan hari raya Idul Fitri yang jatuh pada esok hari, saya dan teman-teman satu tim penempatan memutuskan untuk singgah di sini. Karena selain menjadi tempat tinggal salah satu teman kami, di sini pun ada komunitas Muslim sehingga kami bisa merayakan hari kemenangan bersama.

Sudah kira-kira satu bulan lebih dua minggu saya menjalankan tugas sebagai Pengajar Muda dari Gerakan Indonesia Mengajar. Setelah melalui dua bulan pelatihan, di sinilah saya untuk setahun ke depan bersama dengan delapan rekan saya yang lain. Bersama-sama kami akan menjadi Guru SD dan bekerja sama dengan masyarakat memajukan pendidikan di kabupaten paling selatan di negeri ini. Selebihnya, kami yang akan belajar. Untuk mengenal bangsa kami lebih dekat, untuk menjadi pemimpin dalam lingkup-lingkup kecil, untuk hidup.

Dan malam ini saya bersama tiga orang teman bersembunyi dalam gelapnya malam sambil merebahkan diri di pantai belakang rumah yang menjadi tempat tinggal salah satu teman kami, yang juga akan kami inapi. Takbir Mesjid tanpa henti berkumandang di kejauhan dan kami berbaring memandangi langit yang terhampar tanpa batas di hadapan kami. Seluas sapuan mata memandang, bintang-bintang seolah pasir yang ditabur di sana, hanya saja mereka berkilauan. Entah sudah berapa bintang jatuh yang kami tunjuk dan entah sudah berapa banyak sumpah serapah yang diucapkan saking tidak adanya cara lagi yang bisa kami temukan untuk mengagumi apa yang sedang kami lihat. Kami berdiskusi tema-tema acak.

“Kalau semua umat hidup menurut kehendak Tuhan lalu masuk Surga tapi lalu ada hari kiamat, terus hidup buat apa ya?” sebuah pertanyaan kami jawab dalam hening. Kebetulan takbir juga sedang berhenti. Saya tidak tahu tiga teman saya yang lain, tapi bagi saya pertanyaan semacam ini bukan untuk dipikirkan. Tapi merefleksikannya sambil memandang kebesaran Tuhan atas bintang di hadapan kami rasa-rasanya jadi jauh lebih mudah.

***

Saya tidak pernah bercita-cita menjadi guru. Apalagi mengisi kekosongan guru di sekolah-sekolah yang memiliki kekurangan tenaga pengajar.

Saya ingat pernah menonton film Tiga Hari untuk Selamanya yang berkisah tentang dua saudara sepupu yang menempuh perjalanan Jakarta-Yogyakarta bersama sambil memaknai hidup. Salah satu adegan yang menurut saya paling menarik dalam film yang dibintangi Nicholas Saputra dan Ardinia Wirasti itu adalah obrolan mereka tentang usia 27. Si Sepupu Perempuan menuturkan bahwa pada usia umat yang ke-27, Allah akan membuka selebar-lebarnya pintu-pintu kesempatan atau justru menguncinya rapat-rapat. Untuk Kurt Cobain, Jimi Hendrix, Jim Morisson dan sederet nama figur publik yang meninggal dunia di usia 27 misalnya, dikatakannya Allah menutup pintu kesempatan itu. Tapi untuk beberapa orang lain pintu menuju hal-hal penting atau justru terpenting dalam hidup mereka akan dibukakan.

Dan disinilah saya di usia saya yang ke-27, mengambil keputusan untuk mengambil bagian dalam Gerakan Indonesia Mengajar. Membagi apa yang telah saya dapat pada saudara-saudara saya di pelosok negeri dan belajar dari kelas, sekolah dan daerah penempatan saya yang terletak di pulau paling selatan Indonesia, Pulau Rote.

Saya terlahir dari dua orang tua yang sangat memperhatikan pendidikan. Sejak pra sekolah hingga perguruan tinggi, Ayah dan Ibu selalu menyediakan pendidikan yang mumpuni untuk saya dan kakak saya. Tidak hanya pendidikan formal dan pengenalan kepada ibadah, Ayah dan Ibu pun sudah gemar mengajak saya ke alam bebas sejak kecil. Pendakian gunung pertama saya adalah saat di bangku SMP, saya diperkenalkan pada Puncak Gede oleh kedua orang tua saya. Bagi mereka, perjalanan di alam bebas adalah sebuah pendidikan untuk kemandirian dan kemapanan, yang tidak bisa didapatkan di tempat lain. Pendidikan diharapkan dan dijadikan dasar yang kuat bagi saya untuk menjadi pribadi yang siap mempertanggungjawabkan apapun yang saya lakukan. Ayah dan Ibu menjadikan pendidikan sebagai wali mereka, orang tua kedua kami, yang apabila saatnya nanti mereka tidak dapat lagi menemani kami, ada Pendidikan yang telah dijadikannya bekal yang cukup untuk senantiasa memandu kehidupan kami.

Ayah dan Ibu mungkin tidak pernah bermimpi menjadi siapa-siapa, tapi mereka bermimpi anak-anaknya kelak menjadi seseorang yang berguna. Pendidikan yang dibekalkannya kini berbuah kesempatan yang melimpah bagi saya. Saya bisa mengejar cita-cita apapun yang ingin saya raih, saya bisa singgah di penjuru negeri manapun yang ingin saya singgahi, dan cakrawala dunia pun jadi terlihat terlalu luas untuk saya jelajahi karena ilmu yang saya pelajari. Ya, pendidikan memberikan kesempatan kepada siapapun untuk merancang hidup seperti yang diinginkannya.

Saya ingin menjadi Pengajar Muda seperti Ayah dan Ibu saya, yang tidak hanya mendidik tapi juga memberikan kunci untuk pintu-pintu kesempatan bagi anak-anak Indonesia. Membagi apa yang telah selama ini saya dapat.

Saya juga terlahir sebagai warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Kakek-kakek buyut saya berasal dari dataran Cina, memutuskan menetap, menikah dengan orang Indonesia dan melanjutkan hidup di Indonesia.
Tinggal di Indonesia, memiliki darah keturunan yang kental dan kewarganegaraan yang selalu dipertanyakan, menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi saya. Pertanyaan tentang identitas diri saya sendiri.
Lingkungan tempat saya lahir, tumbuh dan berkembang, di Bekasi pun tidak menyematkan saya dengan identitas-identitas lokal seperti halnya teman dari Jakarta yang bisa membanggakan dan mengidentikan dirinya dengan budaya Betawi, atau teman dari Bandung dengan budaya Sundanya. Padahal identitas lokal ini turut memperkuat identitas kebangsaan seseorang.

Saya menemukan identitas ke-Indonesia-an saya ketika saya menjelajahi gunung-gunung tinggi dan alam-alam yang indah di negeri ini. Saat mengagungi indahnya matahari terbit dan tenggelam di berbagai belahan Indonesia. Dan saya juga menemukan identitas ke-Indonesia-an saya ketika saya berkontribusi pada lingkungan saya, aktif berorganisasi bersama teman-teman sekampus, serta ikut andil dalam kegiatan sosial di tengah masyarakat. Dengan hal-hal itu saya mencintai tanah dan air yang menghidupi saya sedari kecil, dengan hal-hal itu saya merasa tidak perlu mempertanyakan kewarganegaraan saya lagi.
Saya ingin berusaha menghilangkan pertanyaan saya dan orang-orang tentang identitas kebangsaan ini dengan menjadi Pengajar Muda. Saya ingin menunjukkan bahwa nasionalisme tidak bisa dikaitkan dengan garis keturunan. Nasionalisme lahir dari kecintaan pada tanah air tempat kita dilahirkan, dan keinginan kita untuk terus membangunnya.

***

Manusia boleh berkehendak, tetapi Tuhan jugalah yang memutuskan. Apa iya saya dipilih untuk kesempatan membalas semua pemberian yang telah saya dapat? Apa iya saya ditempatkan jadi guru di Rote untuk menemukan identitas ke-Indonesia-an saya?

Sepertinya Tuhan tidak se-complicated itu. Hari-hari awal saja saya diberikan pengalaman gagal me-manage kelas dengan baik karena ramainya anak-anak yang masuk ke dalam kelas, atau membuat anak murid saya menangis karena teguran saya yang agaknya terlewat keras. Mungkin saja Dia mau saya merasa gagal, supaya saya tahu bahwa saya harus lebih banyak mendengar dan belajar. Sesederhana itu.

Jadi jangan tanya saya kenapa saya memilih untuk jadi Pengajar Muda sekarang. Tanya saya pada Juni 2015, saat penugasan saya berakhir dan saat saya diijinkan untuk mengerti apa maksud Tuhan menempatkan saya di sini.

***

Pk. 22.00 WITA

Dari tengah laut tetiba ada cahaya senter yang sumbernya ternyata adalah perahu nelayan bermotor yang membantu mengangkut pasukan penjaga Pulau Ndana, pulau terluar di selatan NKRI, yang hendak merapat ke Oeseli untuk merayakan Idul Fitri esok hari. Sudah empat jam mereka terombang-ambing di tengah Samudera Hindia di atas kapalnya yang tidak bisa menepi karena air laut keburu surut. Kami menyambut bapak-bapak tentara yang kuyup dan mabuk laut, memandunya berjalan ke pos.

Dan baring-baring pinggir pantai kami pun berakhir di situ. Menyisakan pertanyaan tadi yang sepertinya akan sama-sama kami cari jawabannya setahun ke depan.

Oeseli, 28 Juli 2014 - Idul Fitri 1435 Hijriah