Jumat, 26 Oktober 2012
Kamis, 25 Oktober 2012
Kompas TV Teroka on The Weekend : Rinjani
Jangan lupa saksikan serunya petualangan Cahyo Alkantana @cahyoalkantana, Nicholas Saputra @nicsap, dan kami berlima (@farlisukanto, @adjie_hasan, @yunaidijoepoet, @renlyosua, @tedonkknodet_) sebagai pemenang Black Trail Rinjani bersama L'Oreal Men Expert & National Geographic Indonesia di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Let's Explore Rinjani!
Sabtu 27 Oktober 2012 pk. 10.00 WIB di Kompas TV
Mau ikutan? Ayo menangin kesempatan berpetualang gokil ala Black Trail ke Dayak Iban atau Raja Ampat di sini.
The Ocean Tribe
Visiting indigenous communities in Indonesia keeps my faith in human nature.
I was as happy as a brat to have this opportunity : making a documentary of a tribe living in South China Sea near Batam. So the crews and I flew from Jakarta to Hang Nadim Airport in Batam, and with help from local government we were guided to Galang Baru Island where we can rent a boat to reach the Abang Islands. Do not imagine a public harbor like those you can get in Batam City, because you can't even mention it as a port. We had to wait for about an hour in this private dock where finally a chinese fisherman came by to load and unload some things. We negotiated the budget and got a ride under the drizzle to Abang Islands, home for The Laut Tribe.
Laut in Bahasa Indonesia means Sea/Ocean. The tribe named Laut because their ancestors live in a wooden boat in the middle of high seas. For the ancestors, land is where the evils nest. While the ocean is where all the good things (feed and others sea products) show up. Laut Tribe (in Dapur Anam, Abang Islands, Riau Islands Province) which we visited are those who has already occupied a floating houses, they head seaward just for getting food or reaching neighboring islands for supplies.
Our first contact with Laut Tribe in Dapur Anam, Abang Island, Batam, Riau Islands Province, Indonesia. |
Living in the middle of high seas is tough. The excessive heat and malignancy of the sea has to be faced since young age. I was amazed by the old women and kids' daring capability in controlling their boat against tide with just a wooden paddle. And you should not ask about their skill in fishing, with their impressive skill to be underwater 5-7 minutes name every sea creatures you want them to catch, they'll dive down and get you one.
And the Laut kids love me so much! They were really attached to me wherever I went. The advantage was they are easily briefed when I had to take a picture of them for the filming. The disadvantage might be the farewell, it was sad to see a little kid cried when you left.
So, here is my story with the ocean tribe.
Feeling Atlantis or Water World? |
The boat named "Sampan" and the plaited leaves roofs called "kajang". They can cook, keeping a dog, and breed on Sampan in the middle of high seas. |
People from neighboring islands were coming to meet so-called celebrity! |
Getting as much information as possible. Action! |
It came to be a very entertaining activity for the kids when I asked them to take self-potrait using my cell-phone. |
Finally, please accept the best regards from U'ang Laut (Laut Tribe in their local language) See you when we see you! |
Rabu, 24 Oktober 2012
Secuil Vietnam di Batam
Ada nisan-nisan berjajar di lahan pemakaman yang tidak terlalu luas, bangunan-bangunan yang dibiarkan rusak dan lapuk, sebuah replika kapal kayu yang teronggok janggal di daratan, serta gereja dan vihara berlabel nama bahasa Vietnam. Semua dibiarkan menua dan memberikan kesan tak lagi digunakan. Atefak-artefak di Kamp Pengungsi Vietnam ini berperan mulia sebagai peringatan akan tragedi kemanusiaan yang pernah menimpa Indocina, yang semoga tidak pernah terulang lagi.
Jembatan Satu Barelang. Dari Pulau Batam ke Pulau Galang tidak hanya Pulau Rempang yang harus dilalui, ada pulau-pulau kecil lain. Jadi jembatan antarpulaunya pun ada beberapa. |
Untuk mencapai Kamp Pengungsi Vietnam, dari kota Batam tinggal ngebut 1 jam melewati jalanan yang cenderung lengang dan beberapa jembatan menuju Pulau Galang. Nanti di sebelah kiri jalan ada gerbang penanda pintu masuk menuju kawasan yang kini dijadikan objek wisata, Kamp Pengungsi Vietnam Pulau Galang atau Vietnamese Refugee Camp Pulau Galang. Anggaplah gerbang ini seperti pintu antardimensi waktu yang akan membawa kita kembali ke tahun 1975-1996, saat lokasi ini menjadi rumah bagi para pelaku eksodus dari Indocina.
Sekarang kata Indocina seringkali dipakai untuk Laos, Kamboja dan Vietnam. Disebut Indocina karena ketiga negara Asia Tenggara tersebut terletak di antara India dan Cina.
Menurut catatan sejarah, tahun 1975 adalah tahun yang kacau bagi Indocina.
30 April 1975, Perang Vietnam berakhir dengan jatuhnya Saigon (sekarang Ho Chi Minh City) ke tangan Vietnam Utara dan Viet Cong.
Pada April 1975 juga, Pnom Penh, ibukota Kamboja jatuh ke Rezim Khmer.
Kemudian di penghujungnya, gerakan politik kelompok komunis Pathet Lao di Laos menggulingkan kekuasaan Kerajaan Laos.
Setelah kejadian-kejadian ini, warga negara Indocina dipenjara di kamp-kamp indoktrinasi politik yang intensif. Kesengsaraan, kemiskinan, dan kelaparan yang tidak jarang menyebabkan kematian mendorong para tahanan untuk kabur meninggalkan kamp. Mereka mengarungi laut lepas dengan kapal kayu yang dimuat melebihi kapasitas. Mungkin mereka tau ini membahayakan jiwa dan melanggar hukum, tapi mereka tidak punya pilihan.
United Nation High Commissioner for Refugee (UNHCR) adalah badan PBB yang bertugas memimpin dan mengkoordinir gerakan internasional yang bermaksud melindungi pengungsi dan menyelesaikan masalah pengungsian di seluruh dunia. UNHCR mendirikan Kamp Pengungsi Vietnam di Pulau Galang ini bagi sekitar 250.000 orang pengungsi. Banyak cerita-cerita sedih dari tanah ini, seperti keputusasaan yang berujung pada bunuh diri, kriminalitas yang tinggi, hingga aksi bunuh diri massal saat para pengungsi diberi tau akan dikirim kembali ke negara asal mereka.
Nu Vuong Vo Nhiem Nguyen Toi Gl II |
Sakyamun Sinam Galang KV Vientu |
Dan inilah hasil peradaban mereka sebagai sebuah kelompok manusia. Ada vihara yang berdiri berdampingan dengan sebuah gereja atau kapel, namun semua berpapan nama dalam bahasa Vietnam. Ada pula beberapa bangunan rumah tinggal yang dibiarkan terlantar, katanya sih perkakas-perkakas rumah tangga masih dibiarkan di dalamnya. Arsitekturnya memang tidak bisa dibandingkan dengan bangunan-bangunan di sekelilingnya karena kawasan ini memang ada di antah berantah, tapi tertangkap kesan yang berbeda. Saya tidak bertanya, apakah para pengungsi yang membuat sendiri patung-patung Buddha di vihara, tapi saya sudah cukup speechless dengan mendengar cerita dan menyaksikan langsung apa yang ada di hadapan saya di kawasan ini. Bahkan di kondisi jasmani dan rohaninya yang serba terbatas, manusia akan tetap survive.
Kalau mau eksplor sedikit, ada artefak-artefak lain di balik semak! |
Lebih banyak foto di sini
gambar-gambar diambil dengan SLR Analog Minolta Dynax 5 kesayangan
Rabu, 17 Oktober 2012
Suku Dayak Basap
Saya mengajak Dallas Pratama dan Imey Liem ke Teluk Sumbang, Kalimantan Timur. Tujuan kami adalah Suku Dayak Basap, salah satu komunitas adat di Indonesia yang masih teguh mempertahankan tradisi yang kaya nilai.
Tidak ada yang tidak unik di sini. Hutan terindah yang pernah saya kunjungi, teman-teman perjalanan yang seru dan asik, serta orang-orang suku yang ramah dan hangat - episode ini unforgettable!
Special thanks to Imey Liem @imeyliem & Dallas Pratama @dallaspratama Half Time Actor/Model | Full Time Traveller Let's hit Amazon!!! |
Tayangan ini adalah milik PT. Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV). Nama orang-orang yang terlibat dalam proses produksinya dapat dilihat pada akhir tayangan. Selamat menonton!
Kamis, 11 Oktober 2012
Travelling : Expect the Unexpected
Rabu, 10 Oktober 2012
Kearifan Arsitektur Vernakular Suku Talang Mamak
Label:
arsitektur,
ekspedisi,
komunitas adat,
mahitala,
riau,
talangmamak,
travelling
Kami dan Penguasa Belantara Bukit Tiga Puluh (Bagian 2)
|
Peta (Block Plan) Dusun Mungil Tuo Datai |
Rumah mereka memang tidak dibangun di atas
pohon seperti rumah Tarzan, tapi tetap saja menabjubkan menyaksikan sebuah
rumah panggung yang seluruhnya dibangun dari bahan-bahan alami. Rumah adat suku
Talang Mamak ini berdinding bilah-bilah bambu berkuran kecil, atau yang dalam
bahasa setempat disebut buluh sorik,
dan beratapkan daun lipai, sejenis tumbuhan palem-paleman yang memiliki daun
cukup lebar dan lebat. Di dalam satu rumah panggung ini biasanya
menghuni satu keluarga Talang Mamak. Sangat menarik menyaksikan kehidupan
keluarga Talang Mamak di dalam rumah panggungnya ini, belum lagi binatang
peliharaan mereka yang beraneka ragam, mulai dari anjing, kucing, ayam, burung,
tupai, hingga beruang. Ya, di tengah belantara Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
memang masih hidup satwa-satwa liar seperti beruang dan harimau Sumatra, dan
melihat seekor anak beruang berkeliaran di tengah-tengah pemukiman masyarakat
Talang Mamak sudah pasti menjadi pengalaman yang luar biasa.
Beruang pun jadi binatang peliharaan! |
Adaptasi suku Talang Mamak terhadap rimba
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh terbilang cukup maju dengan kemampuannya
memanfaatkan bahan-bahan alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka
berdayakan segala sesuatu yang bisa mereka dapatkan dari hutan, mulai dari
material untuk membangun rumah, perabot rumah tangga, hingga pemanfaatan
tumbuh-tumbuhan sebagai obat.
Ekspedisi Biota Medika yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan, IPB, UI dan LIPI (1998) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh
dan Cagar Biosfer Bukit Duabelas mencatat terdapat 110 jenis tumbuhan obat dan
22 jenis cendawan obat yang dimanfaatkan Suku Talang Mamak. Mengenail ilmu
meracik tanaman yang tumbuh di sekitar hutan tempat mereka hidup, masyarakat
Talang Mamak mengatakan bahwa ilmu ini diturunkan secara turun temurun oleh datuk munyang kepada mereka untuk
menjaga suku mereka dari penyakit dan kematian. 2)
Perjalanan
pulang dari Dusun Tuo Datai kami pilih dengan menyusuri Batang Gangsal. Sungai
utama yang membelah belantara Taman Nasional Bukit Tigapuluh ini merupakan
sumber kehidupan utama bagi Suku Talang Mamak maupun Suku Melayu Tua yang hidup
berkelompok di tepinya. Kedua suku tradisional yang masih berpegang teguh pada
tradisi-tradisi warisan leluhur mereka ini memang dua suku penguasa hutan Bukit
Tigapuluh. Mereka hidup berkelompok dan saling berdampingan dalam dusun-dusun
di tepi Sungai Gangsal, karena itu bukanlah pemandangan yang asing melihat
orang-orang rimba bertelanjang dada ini mengintip rakit kami yang melalui dusun
mereka dari tepi sungai.
Perjalanan keluar dari Dusun Tuo Datai ditempuh dengan rakit selama 2 hari 1 malam. |
Rakit kami merupakan hasil pekerjaan
tangan pemuda Suku Talang Mamak di Dusun Tuo Datai. Rakit dari susunan bambu
berdiameter besar ini cukup untuk tiga orang penumpang dan dua orang pendayung.
Membuat rakit bukanlah hal yang baru lagi bagi masyarakat Talang Mamak terutama
bagi yang hidup di bantaran Batang Gangsal, karena salah satu transportasi
mereka keluar dusun adalah transportasi air yaitu mengarungi Batang Gangsal.
Dengan ransel-ransel yang kami ikatkan pada rakit, serta pelampung yang melekat
kuat pada badan masing-masing, pengarungan ini pun kami mulai.
Air Sungai Gangsal yang kecoklatan membawa
kami keluar dari rimba dengan arusnya yang tenang dan beberapa sambutan
jeram-jeram kecil. Sepanjang pengarungan Batang Gangsal ini kami tidak hanya
disuguhi keindahan alam Taman Nasional Bukit Tigapuluh beserta isinya saja,
tetapi juga batuan-batuan keramat masyarakat Talang Mamak yang terdapat di
kanan-kiri sungai lengkap dengan kisah-kisahnya yang melegenda. Masyarakat
Talang Mamak percaya bahwa batuan-batuan tersebut adalah kutukan Dewa mereka di
masa lampau terhadap pelanggar-pelanggar adat. Pengarungan menggunakan rakit
bambu membelah rimba Taman Nasional Bukit Tigapuluh kami habiskan dalam waktu
dua hari. Pada hari pertama, saat hari menjelang sore, kami menepi untuk
bermalam di Dusun Sadan, yaitu Dusun Suku Talang Mamak lain yang letaknya agak
ke hilir. Keesokannya, pengarungan kami mulai dari dusun ini hingga berakhir di
Dusun Lemang pada sore harinya. Kami keluar Dusun Lemang dengan motor sewaan (ojek), kemudian di Jalur Lintas Timur Sumatra kami menumpang di bak sebuah mobil pick-up menuju Kantor Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di Rengat. Musholla kantor menjadi kamar tidur untuk kami bermalam hari itu.
Bersambung ke Bagian 3
2) Datuk munyang adalah sebutan masyarakat Talang Mamak untuk nenek moyang
mereka. Konon, nenek moyang mereka ini berasal dari Kerajaan Pagaruyung di
daerah yang saat ini kita kenal sebagai Palembang, Sumatera Selatan. Karena
masalah politik pada saat itu, yakni penjajahan dan peperangan, nenek moyang
mereka melarikan diri ke dalam hutan. Hingga saat ini, Suku Talang Mamak enggan
meninggalkan tanah bersejarah peninggalan nenek moyangnya itu. Nenek moyang Suku Talang Mamak juga mempengaruhi
kepercayaan animisme yang dianut oleh keturunannya hingga saat ini. Suku Talang
Mamak percaya akan kesaktian
Label:
ekspedisi,
komunitas adat,
mahitala,
riau,
talangmamak,
travelling
Selasa, 09 Oktober 2012
Kami dan Penguasa Belantara Bukit Tiga Puluh (Bagian 1)
Catatan Ekspedisi Pengamatan Masyarakat Tradisional
Suku Talang Mamak – Dusun Tuo Datai, Propinsi Riau
MAHITALA – UNPAR 2007
Perjalanan darat menuju Dusun Tuo Datai melalui Simpang Pendawa, Riau. Dok. Ekspedisi PMT Suku Talang Mamak Mahitala Unpar |
Perjalananmenuju Dusun Tuo Datai yang merupakan pemukiman Suku Talang Mamak itu mulaimemasuki malam hari. Langkah kaki kami kini hanya ditemani lampusenter dan headlamp serta ramainya bunyi-bunyian binatang rimba Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Perjalanan menembus hutanbelantara yang hanya berjarak kira-kira empat kilometer itu harus dilalui dalamwaktu lima jamlebih karena beban logistik yang kami bawa memang terhitung banyak. Kebutuhanperbekalan enam hari untuk tinggal bersama Suku Talang Mamak memaksa kamimembawa ransel tidak hanya di punggung, namun juga di bagian depan badanmasing-masing. Sungguh sebuah perjalanan alam bebas yang penuh tantangan.
Tantangan berikutnya datang setelah kamimelakukan perjalanan sekitar lima jam. Saat itu sudah pukul delapan malam danjalan setapak yang menjadi panduan kami memasuki dusun tiba-tiba saja terputusoleh seluas lahan hutan yang habis terbabat dan terbakar. Ternyata lahan inisengaja dibabat dan dibakar oleh Suku Talang Mamak yang merupakan penghunilokal hutan tersebut untuk dijadikan ladang menugal (menanam padi). Pemandangandi hadapan kami saat itu hanyalah batang-batang pohon berdiameter sangat besarbekas tebasan yang melintang di sana-sini dengan warna kehitaman karenadibakar. Sesaat, kami kehilangan orientasi di tengah-tengah rimba TamanNasional Bukit Tigapuluh.
Bapak Lancar, pria Suku Talang Mamak asalDusun Durian Cacar yang menemani perjalanan kami memasuki Dusun Tuo Datai puntidak kalah bingungnya dari kami. Bersama dua orang anggota tim kami, beliaumerambah sudut-sudut ladang menugal untuk menemukan kembali akses masuk keDusun Tuo Datai. Sementara mereka mencari, beberapa anggota tim lain membuatapi di tengah-tengah ladang menugal itu dan mulai memasak makan malam karenasaat itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
Hampir tersesat di tengah hutan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Dok. Ekspedisi PMT Suku Talang Mamak Mahitala Unpar |
Barulah setelah makan malam, kami berhasilmenemukan kembali jalan setapak yang terputus itu. Perjalanan melelahkan namunpenuh ketegangan itu akhirnya berakhir di sebuah dusun mungil di tengah rimba.Dusun ini amat menyerupai sebuah resortdengan cottage-cottage yang memiliki tanah lapang di bagian depannya. Sangatnyaman dan sangat alami.
Ya, inilah dusun yang menjadi mimpi kamiberenam. Dusun Tuo Datai yang merupakan pemukiman bagi Suku Talang Mamak,komunitas masyarakat adat yang terkenal karena kearifan masyarakatnya menggunakansegala sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kami berasal dari program studi yangberbeda di Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR). Bersama-sama, kamitergabung dalam unit kegiatan mahasiswa pencinta alam UNPAR yaitu MAHITALA.Sejak 1974, MAHITALA telah melakukan berbagai bentuk perjalanan alam bebas kesejumlah daerah di Indonesia. Dan kini di tahun 2007, kami berenam memutuskanuntuk melakukan sebuah perjalanan pengamatan masyarakat tradisional kepemukiman Suku Talang Mamak di Dusun Tuo Datai, Taman Nasional Bukit Tigapuluh,Riau. Selain memiliki nilai adventuredari segi perjalanan, kehidupan tradisional dari Suku Talang Mamak yang masihsangat bergantung dari alam pun menjadi alasan yang memancing penasaran kamiuntuk menyaksikan langsung keunikan ini.
Adalah Bapak Sidam atau yang akrab kamipanggil Pak Katak, ketua adat Suku Talang Mamak di Dusun Tuo Datai. Sosoknyasangat bersahaja – seorang pemimpin yang bijaksana dan tegas, namun juga rendahhati dan humoris. Malam itu kami tiba di Dusun Tuo Datai pukul 11 malam danlangsung menuju rumah panggung Sang Ketua Adat di ujung dusun. Malam itu dusunsudah sangat sepi, pintu rumah-rumah panggung yang kami lalui sudah tertutuprapat. Maklum kehidupan suku Talang Mamak yang masih jauh dari sentuhanteknologi dan listrik membuat mereka tidur malam lebih cepat, pukul delapanatau sembilan malam semua orang di dusun ini sudah bersembunyi di balik kelambumereka. Kami hanya berpapasan dengan beberapa orang pemuda yang pulang mencariikan di Batang Gangsal.
Pak Katak, pemimpin komunitas adat Talang Mamak di Dusun Tuo Datai. Dok. Ekspedisi PMT Suku Talang Mamak Mahitala Unpar |
Sesampainya di rumah Pak Katak, kamilangsung diundang masuk ke dalam rumah tinggalnya yang terhitung lebih besardari rumah-rumah lain di dusun itu. Kami memperkenalkan diri kami satu persatu,kemudian menjelaskan maksud kedatangan kami berenam ke Dusun Tuo Datai.1)Obrolan kami malam itu berjalan dengan sangat santai dan mengasyikkan. Kamibercerita bagaimana kami mengidam-idamkan untuk sampai di dusun ini sejak empatbulan yang lalu, yang disambut takjub dan tersanjung oleh Pak Katak danistrinya setelah mengetahui apa-apa saja yang kami kerjakan untuk dapat sampaidi sana, mulai dari pengumpulan dana, persiapan fisik, perencanaan operasionalhingga perjalanan antar pulau yang kami lalui. Sebenarnya mereka sendiri tidakmengerti peta, sehingga mereka pun tidak tahu dimana Bandung, dan dimana Riauserta bagaimana perjalanan yang kami lalui. Namun begitu mendengar kami datangdari pulau lain dan menyeberangi lautan, mereka langsung terheran-heran dantakjub. Malam itu juga kami menyerahkan sebuah sarung untuk Pak Katak, sebuahkain untuk istrinya, tembakau dan papir, serta garam. Pemberian ini merekaterima dengan senang hati, lebih-lebih lagi saat diberi tembakau yang kamiperkenalkan sebagai tembakau Jawa, Pak Katak dan istrinya dengan sangatantusias langsung mencobanya. Maklum saja, Suku Talang Mamak terkenal sebagaisuku perokok, mulai dari anak kecil, pria, dan wanita sangat fasih dalam halmerokok. Untuk kebutuhan ini, mereka menanam sendiri tembakau di hutan,sedangkan untuk papirnya mereka gunakan daun sirih.
Obrolan itu akhirnya berakhir setelah PakKatak mempersilahkan kami untuk beristirahat. Di ruang tengah rumahnya yangmemang kosong, kami tidur beralaskan tikar melepaskan lelah perjalanan 11 jamyang kami lalui siang harinya.
Bersambung ke bagian 2
1) Bahasa yang digunakan SukuTalang Mamak adalah Bahasa Melayu, sehingga tidak terlalu sulit melakukandialog dengan mereka. Untuk beberapa kosa kata yang sulit dimengerti baik olehkami, maupun masyarakat Talang Mamak, komunikasi kami lakukan dengan isyarat,atau penjelasan-penjelasan.
Label:
ekspedisi,
komunitas adat,
mahitala,
riau,
talangmamak,
travelling
Langganan:
Postingan (Atom)