Minggu, 20 April 2014

Serendipity Sawai


Menurut Wikipedia, serendipity merupakan satu dari sepuluh besar kosakata Bahasa Inggris yang paling sulit diterjemahkan dari vote sebuah perusahaan penerjemah ternama di London, Today Translation. Tapi mengacu pada surat Horace Walpole (sejarawan dan politisi dari abad 18), dimana kata ini muncul untuk pertama kalinya, serendipity dimaksudkan untuk menyatakan : “always making discoveries, by accidents and sagacity, of things they were not in quest of.


Ilustrasi di atas menunjukkan letak Teluk Sawai di Pulau Seram. Teluk ini menyimpan banyak daya pikat wisata, mulai dari keindahan alam di atas maupun di dalam permukaan perairannya, kehidupan satwa hingga masyarakatnya yang bersahabat. 
Dari pusat kota Ambon, saya dan kedua teman saya harus bergerak sedikit ke Pasar Mardika. Di sini, Anda bisa menemukan bemo-bemo (angkutan umum di Ambon) ke tujuan mana pun di pulau Ambon, termasuk ke Tulehu, pelabuhan kapal yang akan menyeberangkan kami ke Pulau Seram, tepatnya ke Amahai.

Naik bemo dari Ambon ke Tulehu memakan biaya Rp. 10.000,-/orang. Dan biaya tiket speedboat untuk menyeberang dari Tulehu ke Amahai adalah Rp. 110.000,-/orang. Perjalanan Tulehu – Amahai ini kira-kira 2 jam saja.

Pelabuhan Tulehu, Ambon. Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan speedboat Express Cantika menuju Amahai. Courtesy of : Indra AW.
Kami membayar tiket untuk kelas eksekutif dimana semua tempat duduk saat itu hampir penuh terisi. Ada penduduk lokal yang asyik mengobrol dengan segunung barang dagangan yang baru dibelinya dari Ambon, adik-adik kecil yang berlarian di lorong tempat duduk, ibu yang sibuk memarahi anaknya karena gaduh, pedagang keliling hingga wisatawan-wisatawan asing yang mungkin bingung dengan betapa memungkinkannya semua keadaan berisik ini terjadi di dalam kapal.

Tiba-tiba tepat di belakang tempat duduk saya, saya mendengar seorang wisatawan asing sibuk bertanya pada penumpang lokal di sebelahnya. Dengan bahasa Inggris yang terbatas dia bertanya arah menuju Pantai Ora sambil menunjuk Lonely Planet lecek berbahasa Perancis yang dipegangnya dan Si Bapak yang duduk di sebelahnya kebingungan tidak bisa menjawab. Saya menjelajah Maluku pada perjalanan kali ini pun dengan bantuan Lonely Planet (berbahasa Inggris), jadi saya tahu ada beberapa informasi mengenai Pantai Ora yang tidak lagi valid di Lonely Planet cetakan itu, jadi saya pun membuka percakapan dengan Si Orang Asing.

Namanya Clement, orang Perancis, di sebelahnya duduk pasangannya Elise, juga warga negara Perancis. Usut punya usut, mereka telah berkeliling Indonesia selama 3 bulan dari total 6 bulan yang mereka rencanakan untuk mengelilingi seluruh Indonesia, dan kini mereka ingin menuju Pantai Ora.
Pantai Ora adalah satu bagian kecil saja dari Teluk Sawai. Ya, dia termasyur karena kombinasi pantai dan resornya yang menciptakan suasana romantis. Tapi jangan salah, ada berbagai destinasi lain di Teluk Sawai yang juga sama atau bahkan lebih menawan dari Pantai Ora.

Di awal sepertinya Clement (28) dan Elise (29) agak skeptis pada kami, tiga wisatawan dalam negeri yang mengajaknya bergabung menjajaki jalan menuju Pantai Ora impian mereka. Sebaliknya buat kami, ini semacam hadiah di tengah perjalanan karena kami bisa membagi biaya transportasi sewa mobil dari Amahai menuju Desa Saleman (Rp. 300.000,-/mobil) dengan mereka. Tapi beginilah biasanya prinsip perjalanan backpacking, tidak takut berteman dengan backpackers lain untuk mengurangi biaya-biaya perjalanan. Jadilah kami bersama menuju Desa Saleman yang berjarak kira-kira 1 jam jauhnya berkendara mobil dari Pelabuhan Amahai. Dari desa ini, katanya kami akan diseberangkan dengan perahu kecil semacam ketingting bermotor ke Desa Sawai.

Singkat cerita kami sampai di Saleman. Saleman ini sama sekali tidak tampak seperti pelabuhan untuk kapal menyeberang. Dia hanya sebuah desa nelayan yang dikelilingi hutan. Bahkan di sini tidak ada dermaga, kami hanya menyeberang dari bibir pantai. Di sini, kami bertemu dengan wisatawan asing lain, Toshi dan Junko, mereka suami istri dari Jepang yang juga dalam perjalanan mengelilingi Indonesia, mereka baru menghabiskan satu bulan perjalanan menyambangi Pulau Jawa dan Sunda Kecil. Mereka meminta ijin untuk bergabung karena tujuan kami sama.

Oh ya, tujuan kami tidak lagi Pantai Ora tapi sebuah penginapan di Desa Sawai. Pak Ali nama pemiliknya.
Lagi-lagi kami membagi biaya penyeberangan dengan perahu warga ini dengan lebih banyak orang. Satu kali penyeberangan dihargai Rp. 700.000,- yang akhirnya kami bagi bertujuh. Sebut ini sebuah kebetulan, atau kemujuran kami.

Desa Sawai


Pernah menonton film The Beach-nya Leonardo Dicaprio? Ingat adegan saat pertama kalinya, Ricahard dan teman-temannya menemukan sebuah perkampungan yang dibangun oleh para wisatawan yang berhasil menemukan tempat indah di pulau itu? Film dengan semangat perjalanan yang luar biasa ini yang terlintas di benak saya saat pertama kali perahu kami merapat ke dermaga di Desa Sawai. Bukan penduduk lokal atau Si Empunya Penginapan yang menyambut atau membantu kami naik, tapi justru wisatawan-wisatawan lain (asing dan lokal) yang telah lebih dulu ada di sanalah yang melempar senyum dan menyapa kami yang baru saja tiba. Berbagai orang dengan berbagai latar belakang kami temui, ada pasangan dari Belgia, solo traveler dari Belanda, sekelompok kru televisi dari Jakarta, dosen peneliti, sekelompok wisatawan asing berusia lanjut, hingga pasangan bulan madu. Kami berinteraksi satu sama lain. Dan tiba-tiba sore itu jadi terasa lebih hangat.
Penginapan ini terdiri dari beberapa bungalow apung. Satu bungalow berisi rata-rata empat hingga lima kamar untuk dua orang. Kami yang datang bersama-sama berbagi satu bungalow kosong, saya dan kedua teman saya mengisi dua kamar, Clement dan Elise mengisi satu kamar, lalu Toshi dan Junko mengisi satu kamar lagi. Dan dalam sekejap kami jadi housemate! Saking betahnya kami menghabiskan empat hari tiga malam di sini, termasuk malam pergantian tahun.

Pesona Sawai berhasil menawan hati kami di sini. Sore pertama saat menanti matahari terbenam dari teras, kami sudah dibuat terpesona dengan seekor penyu yang tiba-tiba berenang dari kolong bungalow hingga perlahan hilang dari penglihatan kami saat ia menyelam ke kedalaman Laut Seram. Atau plankton-plankton yang menyisakan cahaya berpendar pada garis renangnya setiap malam di lautan luas yang menjadi halaman penginapan kami. Jangan tanya seberapa indah koral dan ikan-ikan di dalamnya.

Pelayaran sehari mengitari Teluk Sawai dilakukan dengan perahu bermotor berkapasitas maksimal 10 orang (kiri). Courtesy of : Masatoshi. Perjalanan termasuk singgah di pulau kecil tanpa penghuni, Pulau Sapalewa (kanan).
Hari kedua di Sawai kami ikut dalam paket perjalanan sehari penuh yang dikelola Pak Ali dan beberapa pemuda Desa Sawai. Objek-objek wisata yang ditawarkan dalam sehari sangat beragam dan membawa kita hampir ke seluruh sudut Teluk Sawai yang unik. Ada penelusuran sungai ber-buaya, melihat langsung proses pengolahan sagu dari pohonnya oleh penduduk lokal, makan siang di sebuah pulau berpasir putih, snorkeling, mampir ke Pantai Ora hingga mengunjungi sebuah pulau penangkaran kelelawar raksasa (yang menghasilkan suara seperti kawanan kera). Paket wisata ini pun tergolong murah, lagi-lagi jika Anda datang dalam kelompok besar. Beruntungnya kami sudah berkelompok sejak hari pertama datang ke sini, jadi biaya Rp. 1.000.000,-/trip kami bagi bertujuh.

Perjalanan tidak terlupakan dan singkat di Sawai mengakrabkan kami. Bahkan kami menghabiskan waktu bersama hingga setibanya kami di Ambon lagi. Clement dan Elise berinisiatif untuk mengumpulkan kami lagi pada sebuah makan malam. Makan malam itu jadi titik berpisahnya kami yang akan meneruskan penjelajahan kami masing-masing. Clement dan Elise akan berjalan ke Ternate Tidore di Utara, saya dan teman-teman akan terbang ke Kepulauan Kei di Selatan, sedangkan Toshi dan istrinya akan langsung ke Utara Sulawesi.
Foto bersama setelah snorkeling di beberapa spot di Sawai. Courtesy of : Indra AW

Ini adalah makan malam terakhir kami di tahun 2013. Momen duduk bersama di meja makan ini mungkin yang akan paling saya rindukan, dimana kami bertukar ucapan Bon Apetite - Selamat Makan - Itadakimasu setiap sebelum mulai makan. Malam itu, Junko mengartikan nama kami dalam bahasa dan huruf Jepang, inset gambar di kanan bawah adalah coretannya untuk nama saya. Farli adalah Faruri dalam Bahasa Jepang. Courtesy of : Masatoshi.

Berkunjung ke Sawai dan menikmati keindahannya mungkin jadi bagian dari rencana perjalanan kami. Sensasi singgah dan terpesona akan semua suguhan alam di sini pun sedikit sudah ada dalam bayangan saat merencanakan. Tapi ada sebuah nilai dari perjalanan yang tidak bisa direncanakan seperti saat bertemu manusia. Pun manusia adalah bagian dari setiap perjalanan kita. Manusia seperti Clement, Elise, Toshi atau Junko menghadiahi perjalanan dengan sebuah pertalian baru, pertemanan. Dan pertemanan punya nilai yang tidak bisa digantikan. Betapa menakjubkannya dengan begitu luasnya dunia, kami dipertemukan hanya di satu titik pada suatu waktu. Untuk apa sebenarnya? Saya pun tidak tahu pasti, yang saya tahu kami banyak berbagi cerita tentang negeri dan budaya kami masing-masing. Saya jadi memandang manusia sebagai jendela dunia, yang membuka pandangan semakin luas dan semakin luas lagi.

Tiga Bulan Kemudian


Sebuah email masuk! Dan itu berasal dari Clement Marcorelles. Dia mengabarkan kalau dalam beberapa hari, dia dan Elise akan tiba di Jakarta dalam beberapa hari ke depan untuk kemudian bertolak kembali ke Perancis. Petualangan keliling Indonesia-nya telah berakhir!
Seolah terhubung, di hari yang sama pun Toshi mengirim email, mengabarkan kalau hari itu dia akan bertolak kembali ke Jepang dari Solo. Petualangannya menjelajah Indonesia pun telah usai.

Singkat cerita kami menemui Clement dan Elise saat mereka tiba kembali di Jakarta. Tawa kami untuk lelucon satu sama lain masih sama lepasnya seperti di Sawai. Kami mengajak mereka ke kawasan Kota Tua Jakarta, kami traktir mereka makan malam dan mereka traktir kami sebotol Red Wine. Yang saya ingat kami mengobrol soal kepercayaan dan ketidakpercayaan kami pada institusi pernikahan, dan negara yang mengatur soal agama malam itu. Obrolan kami masih sama lugasnya seperti di Sawai, tidak ada yang berubah.
Perpisahan malam itu kami tandai dengan sepasang batik untuk Clement dan Elise. Ada pula doa untuk keselamatan penerbangan mereka kembali ke Perancis serta harapan semoga kami bisa bertemu suatu hari nanti di bagian dunia yang lain.

Vous voir!

Sayonara!
 
Courtesy of : Indra AW
PS : Alasan Clement dan Elise memilih Indonesia sebagai tujuan perjalanan 6 bulan-nya adalah karena hanya di negeri ini penjelajahan dari Timur hingga ke Barat-nya yang mampu menghadirkan berbagai macam pengalaman, pemandangan alam serta budaya. Elise bilang dari pengalaman ini dia banyak berhenti dan berpikir ulang tentang kehidupan.

1 komentar: