Saya ingat mencengkeram sangat erat lengan kirinya lalu menariknya hingga berhadapan muka dan muka dengan saya. Saya juga ingat menegur keras murid saya ini untuk mendengarkan kata-kata saya yang menyuruhnya berhenti berlarian keliling kelas saat pelajaran berlangsung.
Dalam pegangan saya, Si Anak seketika meringis, lalu
terduduk di lantai kelas. Jangankan menatap muka saya yang tengah memarahinya,
melirik sedikitpun dia tidak berani. Dia terus memaksa kepalanya tunduk dan
mulai menangis. Sambil terus memeringatinya, saya menarik lalu mendudukannya di
kursi yang sejak hari pertama tidak pernah betah ditempatinya untuk sedetik pun.
Dan di hari itu saya tahu kalau batas kesabaran yang saya miliki tidak sejauh
yang saya bayangkan. Baru saja hari kedua saya mengajar, saya sudah membuat
satu murid saya sekarang terduduk takut di kursinya, di kelasnya yang sedari
awal saya rencanakan beratmosfer happy
learning.
Saya sarjana arsitektur yang sebelumnya berkarir di dunia broadcasting dan tidak pernah terbersit
sekejap pun dalam hidup saya untuk menjadi pengajar. Proyek-proyek arsitektur
semasa kuliah yang sekalipun bertumpuk-tumpuk harus bisa diselesaikan dalam
waktu sekejap, serta tuntutan produksi di industri televisi yang serba kejar tayang membuat saya tidak terbiasa
menunggu. Selama ini, kesabaran saya tidak terlatih. Dan kalau perjalanan
menjadi Pengajar Muda setahun ke depan ini ibarat buku pegangan belajar
mengajar, sepertinya saya tengah membuka bab pertama yaitu tentang Kesabaran.
***
Seumur hidup saya tidak akan pernah melupakan nama siswa
yang pertama kali saya marahi sekaligus buat nangis dalam sejarah mengajar
saya, yang mungkin hanya sekali-kalinya ini. Namanya Fersi Theon. Dia terbilang
kurus untuk anak kelas tiga, tapi tingginya lumayan dibandingkan teman-teman
laki-laki di kelasnya. Rambutnya agak plontos dan dia punya kekhasan Indonesia
Timur, kulit hitam dan senyum yang sama-sama manis.
Setelah dua hari berturut-turut hanya berlarian mengelilingi
kelas, dan tidak menghiraukan sedikit pun kata-kata Pak Guru hingga Pak Gurunya
ini naik pitam, sekarang Fersi tertunduk dan menangis di kursinya. Saya
berlagak tidak panik sambil terus mengajar seperti biasa, namun kepala saya
mendadak dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan. Apakah saya baru saja melakukan
kekerasan di dalam kelas? Apakah perbuatan saya barusan menghancurkan
kepercayaan Si Murid pada gurunya untuk setahun ke depan? Bagaimana membuatnya
berhenti menangis? Kenapa susah sekali menerapkan happy learning dengan anak-anak ini? Atau jangan-jangan praktek saya
mengenai positive discipline salah?
Singkat cerita, hari itu sebelum pulang sekolah saya
mengajak Fersi bicara. Saya memberikan pemahaman mengenai alasan saya
menegurnya dengan nada sangat keras. Kemudian saya pun mengadakan perjanjian
dengannya supaya hal serupa tidak terulang di kemudian hari. Kepalanya menunduk
terus seharian ini, tapi ada anggukan kecil tanda dia mengerti.
Keesokan harinya saya mengatur tempat duduk anak-anak di
kelas saya dengan sedikit drama anak-anak yang tidak mau duduk bersebelahan
dengan kawan lawan jenisnya. Fersi duduk di barisan muka karena saya ingin
menaruh perhatian lebih pada anak-anak yang setelah beberapa hari saya amati
memiliki karakteristik lebih kinestetis dibanding anak-anak yang lain. Tapi
mengherankannya, sejak hari itu dia menjadi sangat tertib. Tidak ada lagi
berlari-lari keliling kelas. Tidak ada lagi sikap tidak acuh. Fersi tetiba
menjadi anak manis, yang saat saya memberi signal memulai pelajaran dengan
sendirinya mengeluarkan sebuah buku dan bolpen
dari tasnya dan bersiap belajar. Saking manisnya, saya jadi merasa bersalah.
Mengingat teguran saya kemarin, saya jadi berpikir kemungkinan saya bersikap
terlalu keras pada anak-anak yang masih kelas 3 SD.
Tapi tidak ada guru yang tidak senang kalau melihat
anak-anaknya berperilaku baik.
Lalu tibalah hari itu dimana saya mengajar matematika.
Materi hari itu adalah mengenai garis bilangan, dan saya mengajarkan mereka
membandingkan dua bilangan dengan notasi lebih besar, lebih kecil dan sama
dengan.
Saat berlatih soal, saya menemukan ada beberapa murid yang
kesulitan memahami soal membubuhkan notasi-notasi ini. Mungkin karena
sebelumnya tugas mereka hanyalah mengisi titik-titik pada soal-soal-soal
penjumlahan. Saat titik-titik yang harus mereka isi ada di antara dua bilangan
mereka menjadi kurang paham apa yang harus mereka lakukan.
Tidak terkecuali Fersi. Dia jadi anak paling terakhir yang
belum juga selesai mengerjakan sepuluh buah soal yang saya berikan hingga bel
istirahat berbunyi. Saya setia menunggunya selesai mengerjakan tugasnya itu.
Lima belas menit berlalu, saya mulai mengagumi kegigihannya
bertahan di kursinya. Kursi yang tidak tahan didudukinya sedetikpun di dua hari
pertama sekolah. Kali ini saya yang mulai tidak kerasan duduk di kursi saya. Saya
mulai berjalan mengelilingi kelas. Bahkan Fersi pun tidak terusik dengan
pergerakan saya.
Hingga akhirnya dia menengok ke arah saya, mengangkat
bukunya dan bilang, “Sudah, Pak!” Segera saya memeriksa pekerjaan tak kenal
menyerahnya itu.
Benar saja, Fersi masih bingung mengenai model soal
perbandingan bilangan ini. Alih-alih mengisi titik-titik dengan tanda lebih
besar, lebih kecil atau sama dengan, dia malah membubuhkan tanda-tanda itu di
samping setiap bilangan yang ada. Perlahan-lahan saya menjelaskan kembali apa
maksud soal-soal itu dan bagaimana menyelesaikannya, termasuk ekstra tips
menjawabnya dengan metode ‘mulut monster’.
Tanda lebih besar (>) dan lebih kecil (<) diibaratkan
mulut monster yang sedang terbuka. Monster lebih suka dengan angka yang lebih
besar, jadi arahkan selalu bukaan mulutnya ke bilangan yang lebih besar.
Fersi senang dengan analogi ini. Menemukan penyelesaian yang
mudah, dia pun tertawa. Karena saya pun puas bisa menanamkan pengertian padanya
saya memberikannya tos serta kemudian beres-beres untuk memanfaatkan waktu
istirahat yang tersisa.
Herannya, Fersi masih tekun dengan buku tugasnya. Tidak lama
dia menyodorkan kembali buku tugasnya, “Sudah, Pak.”
Sudah apalagi kali ini, saya pikir kami sudah selesai dengan
soal-soal ini.
Sepertinya itu kali pertama saya dibuat terharu oleh sebuah
buku tugas matematika anak kelas 3 SD. Fersi menuliskan ulang secara rapi
kesepuluh soal tadi, dan menyelesaikannya tanpa ada salah. Saya ingat betul,
bukannya memberikan nilai saya malah mengalihkan pandangan saya pada anak murid
saya yang satu ini. Apa yang ada di dalam isi kepala anak ini, ya?
Hari itu saya belajar tentang Kesabaran. Lucunya, saya mendapat pelajaran
itu dari korban ketidaksabaran saya di hari-hari pertama saya mengajar. Seorang
anak yang saya tahu lebih senang berlari berkejar-kejaran di kelas memaksa
dirinya duduk, mengerjakan soal matematika, mendapati hasil pekerjaannya salah
semua, kembali duduk dan menyempurnakannya hingga betul semua.
Saya beberapa kali mendapati cerita agak dramatis semacam
ini dari blog Pengajar Muda atau tayangan Lentera Indonesia. Dulu, saya agak
skeptis. Sempat sepakat dengan salah satu tulisan teman alumni Pengajar Muda
yang bilang cerita-cerita Pengajar Muda terlalu banyak ‘bedak’-nya. Tapi
sekarang saya menghadapinya sendiri. Bedak-nya saya pakai sendiri. Tapi saya justru
merasa sangat bersyukur bisa mengalami hal-hal semacam ini.
Saya sedang selalu bertanya, kenapa saya diberi kesempatan
Pengajar Muda, kenapa saya yang ditempatkan di sini.
Jawaban pertama-nya sudah kian nyata, ini baru Bab Satu,
saya mau diberi pelajaran tentang Kesabaran. Kesabaran pun punya sub bab,
seperti tidak tergesa-gesa, melihat keadaan dari sudut pandang-sudut pandang
yang lain hingga menyempatkan diri bercanda. Sub bab-sub bab lain masih
menunggu di depan, saya pun tidak tahu ada apa lagi, saya masih terus mencari
tahu. Persoalannya buku pelajaran Kesabaran ini agak berbeda, metode belajarnya
konstruktif: kita sendiri yang menggali apa yang perlu kita pelajari. Kalau di
pelatihan Pengajar Muda Indonesia Mengajar, metode ini dipercaya efektif bikin siswa ingat terus sama apa yang mereka pelajari.
Saya tidak sabar menemukan sub bab-sub bab yang lain. Sama tidak
sabarnya menemukan bab-bab yang lain, juga buku-buku pelajaran yang lain dalam
perjalanan satu tahun ke depan ini!
Saya rasa anda akan jadi orang yang keren dengan kesabaran yang anda pelajari. Semoga saya punya kesempatan yang sama dengan anda :)
BalasHapus