Menjadi Pengajar Muda memberi saya banyak pengalaman dan
pelajaran hidup berharga.
Pengalaman (yang hanya) satu tahun ini laiknya laboratorium
eksperimen untuk setiap metode kepemimpinan, mungkin itu sebabnya Indonesia
Mengajar membahasakannya Sekolah Kepemimpinan. Bedanya dengan laboratorium
sains, di sini tidak ada berhasil atau gagal, semuanya adalah pembelajaran.
Tentang hidup, Tuhan, dan cinta pada bangsa.
Kedatangan ke daerah penugasan saya jamin menghadirkan
kejutan bagi para Pengajar Muda. Kejutan itu bisa berbuah dua, jika tidak jadi
syukur dia jadi pemicu utama rasa tertekan hingga putus asa di tengah masa
penugasan. Setidaknya itulah yang terjadi pada saya. Kambing hitamnya biasanya
adalah ekspektasi. Karena ekspektasi yang sulit sekali diselaraskan dengan
kenyataan di lapangan, semangat yang dijejalkan dalam hati bersama ekspektasi
tadi perlahan surut seperti air laut di pesisir Pulau Rote menjelang purnama.
Bedanya air laut yang surut di sini menyisakan berbagai hewan laut yang siap
disantap, tetapi semangat yang surut tidak menyisakan apa-apa lagi.
Saya belajar bahwa kondisi daerah penugasan bukanlah sesuatu
yang layak diamini. Kita berucap Amin untuk mengakhiri doa, menyimpulkannya
pada sebuah keimanan bahwa Tuhan mendengar dan akan memilah mana-mana harapan
yang terbaik untuk kita. Fenomenanya, sebagai Pengajar Muda beberapa dari kami
pun seringkali meyakini (atau bahkan mengamini) bahwa kondisi daerah penugasan adalah
begitu adanya. Tidak jarang kondisi masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang
statis. Padahal masyarakat dibangun dari manusia-manusia, dan hakikatnya
manusia bisa berubah.
Contohnya sesederhana menanggapi sekolah penempatan sesama
Pengajar Muda yang berhasil menjalankan mata pelajaran Bahasa Inggris di
sekolahnya dengan “Ya, anak-anak di tempat lo pinter-pinter sih ya, coba di
tempat gua baca aja susah.” Atau berkomentar, “Ya lo enak ya, kepala sekolahnya
tegas, punya wibawa dan pintar,” kepada sekolah penempatan rekan lain yang
sudah mampu menjalankan Kegiatan Belajar Mengajar secara baik lengkap dengan
kebiasaan ber-administrasinya.
Komentar-komentar itu tanpa sadar kami lontarkan tanpa
tinjauan pada sebuah sudut pandang yang menurut saya lebih motivatif. Ya, sudut
pandang yang tidak malah menghentikan usaha (karena tempat lo lebih enak dari
tempat gue) tapi justru memancing kami untuk berpikir dan berbuat.
Saat melihat kemajuan di daerah penempatan lain, refleksi
yang biasanya timbul hanyalah kekaguman. Kekaguman itu hampir tidak pernah
disusul pengandaian semacam, “Pasti dulunya teman saya ini atau pendahulunya
perlu usaha yang tidak mudah untuk membiasakan anak-anak dengan Bahasa Inggris
hingga piawai seperti ini.” Atau “Pasti banyak pengorbanan yang dilakukan
Pengajar Muda di sekolah ini untuk menjadikan kepala sekolahnya juara. Apa
mungkin Kepala Sekolahnya juga dulu punya karakter yang sulit?”
Atau berlanjut pada keyakinan, “Pasti teman saya,
pendahulunya, atau siapapun yang berperan bagi perubahan di tempat ini tidak menyerah
pasrah pada keadaan.” Dan berakhir pada usaha meneladani apa yang dilakukan di
sana hingga perubahan terjadi atau secara esensial menyerap semangatnya yang tidak
mengamini kondisi daerah penugasan lalu berhenti berkata tidak bisa.
Saat ada begitu banyak tantangan yang jangankan harus
diselesaikan, menghadapinya saja saya enggan, saya pernah merenung. Dalam
lamunan itu tiba-tiba terbersit bagaimana jika seorang Pengajar Muda teladan
ada di sini, menghadapi apa yang saya hadapi. Apa yang akan dia lakukan?
Seketika pengandaian itu menghadirkan motivasi dan ide-ide
segar tentang apa yang bisa saya coba lakukan. Saya sadar betul saya bukan
sosok Si Pengajar Muda teladan yang saya hadirkan dalam imajinasi tadi, saya
pun punya keterbatasan. Tapi penugasan ini pun mengajarkan saya untuk menembus
batas-batas. Bahwa kondisi diri pun seperti kondisi daerah penugasan yang tidak
layak diamini. Bahwa manusia lebih baik dari apa yang dia tahu.
Dalam setiap apapun yang kita hadapi sepertinya hukumnya
sama. Tidak perlu jadi Pengajar Muda untuk tidak menyerah pada keadaan dan
terus mendukung diri menembus batas-batas.
Detik itu membawa saya untuk hilir mudik berkeliling desa
keesokan hari dan hari-hari setelahnya. Mengawali usaha mewujudkan mimpi
menggerakan masyarakat untuk berpihak pada apa yang saya tawar-tawarkan sejak
awal kedatangan saya ke sini : Pendidikan.
Saat malam dan tiba waktu membaringkan badan dalam kelambu,
lelah senantiasa melayangkan sebuah tanya, “Sedang apa saya di sini?”
Memaksa diri berpikir. Memaksa diri berubah. Dan tidak ada
satu setanpun kaitannya dengan saya pribadi. Untuk apa?
Laki-laki yang pernah jatuh cinta pasti mengerti. Laki-laki
paling pintar di dunia sekalipun akan melakukan hal-hal tidak logis dan tidak dapat dijelaskan atas nama cinta. Dan
kemungkinan besar saya memang sedang dilanda cinta. Berapi-api! Jadi jangan
tanya lagi kenapa atau untuk apa.
Elu mah pagi-pagi bikin nangis
BalasHapus