Minggu, 22 Februari 2015

Ini Cinta Bung!



Menjadi Pengajar Muda memberi saya banyak pengalaman dan pelajaran hidup berharga.
Pengalaman (yang hanya) satu tahun ini laiknya laboratorium eksperimen untuk setiap metode kepemimpinan, mungkin itu sebabnya Indonesia Mengajar membahasakannya Sekolah Kepemimpinan. Bedanya dengan laboratorium sains, di sini tidak ada berhasil atau gagal, semuanya adalah pembelajaran. Tentang hidup, Tuhan, dan cinta pada bangsa.

Kedatangan ke daerah penugasan saya jamin menghadirkan kejutan bagi para Pengajar Muda. Kejutan itu bisa berbuah dua, jika tidak jadi syukur dia jadi pemicu utama rasa tertekan hingga putus asa di tengah masa penugasan. Setidaknya itulah yang terjadi pada saya. Kambing hitamnya biasanya adalah ekspektasi. Karena ekspektasi yang sulit sekali diselaraskan dengan kenyataan di lapangan, semangat yang dijejalkan dalam hati bersama ekspektasi tadi perlahan surut seperti air laut di pesisir Pulau Rote menjelang purnama. Bedanya air laut yang surut di sini menyisakan berbagai hewan laut yang siap disantap, tetapi semangat yang surut tidak menyisakan apa-apa lagi. 

Saya belajar bahwa kondisi daerah penugasan bukanlah sesuatu yang layak diamini. Kita berucap Amin untuk mengakhiri doa, menyimpulkannya pada sebuah keimanan bahwa Tuhan mendengar dan akan memilah mana-mana harapan yang terbaik untuk kita. Fenomenanya, sebagai Pengajar Muda beberapa dari kami pun seringkali meyakini (atau bahkan mengamini) bahwa kondisi daerah penugasan adalah begitu adanya. Tidak jarang kondisi masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang statis. Padahal masyarakat dibangun dari manusia-manusia, dan hakikatnya manusia bisa berubah.
Contohnya sesederhana menanggapi sekolah penempatan sesama Pengajar Muda yang berhasil menjalankan mata pelajaran Bahasa Inggris di sekolahnya dengan “Ya, anak-anak di tempat lo pinter-pinter sih ya, coba di tempat gua baca aja susah.” Atau berkomentar, “Ya lo enak ya, kepala sekolahnya tegas, punya wibawa dan pintar,” kepada sekolah penempatan rekan lain yang sudah mampu menjalankan Kegiatan Belajar Mengajar secara baik lengkap dengan kebiasaan ber-administrasinya.

Komentar-komentar itu tanpa sadar kami lontarkan tanpa tinjauan pada sebuah sudut pandang yang menurut saya lebih motivatif. Ya, sudut pandang yang tidak malah menghentikan usaha (karena tempat lo lebih enak dari tempat gue) tapi justru memancing kami untuk berpikir dan berbuat.
Saat melihat kemajuan di daerah penempatan lain, refleksi yang biasanya timbul hanyalah kekaguman. Kekaguman itu hampir tidak pernah disusul pengandaian semacam, “Pasti dulunya teman saya ini atau pendahulunya perlu usaha yang tidak mudah untuk membiasakan anak-anak dengan Bahasa Inggris hingga piawai seperti ini.” Atau “Pasti banyak pengorbanan yang dilakukan Pengajar Muda di sekolah ini untuk menjadikan kepala sekolahnya juara. Apa mungkin Kepala Sekolahnya juga dulu punya karakter yang sulit?”

Atau berlanjut pada keyakinan, “Pasti teman saya, pendahulunya, atau siapapun yang berperan bagi perubahan di tempat ini tidak menyerah pasrah pada keadaan.” Dan berakhir pada usaha meneladani apa yang dilakukan di sana hingga perubahan terjadi atau secara esensial menyerap semangatnya yang tidak mengamini kondisi daerah penugasan lalu berhenti berkata tidak bisa.

Saat ada begitu banyak tantangan yang jangankan harus diselesaikan, menghadapinya saja saya enggan, saya pernah merenung. Dalam lamunan itu tiba-tiba terbersit bagaimana jika seorang Pengajar Muda teladan ada di sini, menghadapi apa yang saya hadapi. Apa yang akan dia lakukan?
Seketika pengandaian itu menghadirkan motivasi dan ide-ide segar tentang apa yang bisa saya coba lakukan. Saya sadar betul saya bukan sosok Si Pengajar Muda teladan yang saya hadirkan dalam imajinasi tadi, saya pun punya keterbatasan. Tapi penugasan ini pun mengajarkan saya untuk menembus batas-batas. Bahwa kondisi diri pun seperti kondisi daerah penugasan yang tidak layak diamini. Bahwa manusia lebih baik dari apa yang dia tahu.

Dalam setiap apapun yang kita hadapi sepertinya hukumnya sama. Tidak perlu jadi Pengajar Muda untuk tidak menyerah pada keadaan dan terus mendukung diri menembus batas-batas.

Detik itu membawa saya untuk hilir mudik berkeliling desa keesokan hari dan hari-hari setelahnya. Mengawali usaha mewujudkan mimpi menggerakan masyarakat untuk berpihak pada apa yang saya tawar-tawarkan sejak awal kedatangan saya ke sini : Pendidikan.

Saat malam dan tiba waktu membaringkan badan dalam kelambu, lelah senantiasa melayangkan sebuah tanya, “Sedang apa saya di sini?”

Memaksa diri berpikir. Memaksa diri berubah. Dan tidak ada satu setanpun kaitannya dengan saya pribadi. Untuk apa?

Laki-laki yang pernah jatuh cinta pasti mengerti. Laki-laki paling pintar di dunia sekalipun akan melakukan hal-hal tidak logis dan tidak dapat dijelaskan atas nama cinta. Dan kemungkinan besar saya memang sedang dilanda cinta. Berapi-api! Jadi jangan tanya lagi kenapa atau untuk apa. 



1 komentar: