Senin, 17 Desember 2012

Rumah Betang Dayak Desah Untuk Semua



Patriotisme tidak tumbuh dari hipokrisi dan slogan.

Seseorang dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya.

Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan

dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.

Soe Hok Gie (17 Desember 1942 – 16 Desember 1969)



Perjalanan saya dan teman-teman dari kota Pontianak sudah hampir mencapai 6 jam, jadi kami putuskan untuk menepi sebentar di satu dari sedikit rumah makan yang ada di tepi jalur yang kami lintasi. Makan siang (yang sudah sangat lewat dari waktunya) sambil meluruskan badan yang pegal karena kelamaan duduk di dalam mobil. Sambil beristirahat, pemandangan inilah yang tersuguh di hadapan kami, Sungai Kapuas yang mengalir berdampingan dengan jalan yang kami lalui membelah Kalimantan Barat. Serta selebat-lebatnya hutan belantara di seberangnya.


Sempat tercetus ide di dalam kepala untuk menyeberangi sungai dan mencari sebuah perkampungan tradisional  Dayak di dalam hutan Kapuas ini saja, tapi sebelum ide sempat terlontar, Produser saya sudah memberi instruksi untuk kembali melanjutkan perjalanan yang tinggal 3 jam.

Tujuan kami adalah Ensaid Panjang, sebuah dusun yang terletak di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, tempat bermukim bagi komunitas Dayak Desah. Di sini masih berdiri rumah panjang (rumah tradisional Suku Dayak) yang ditempati turun-temurun sejak jaman nenek moyang mereka. Satu dari sedikit rumah panjang yang masih lestari.


Bagi saya, seberapa luasnya Ensaid Panjang adalah sebesar Rumah Betang, nama bagi rumah panjang tradisional Suku Dayak Desah. Karena di dalam rumah sepanjang 120 meter inilah seluruh masyarakatnya tinggal dan menghabiskan hari.

Bagi masyarakat Dayak, rumah panjang atau rumah batang adalah jantung kehidupannya. Hampir semua kegiatan dilakukan di dalam rumah dan banyak hal yang membuat saya takjub! Salah satunya adalah alat pengupas kulit padi tradisional yang tidak hanya terdapat di dalam rumah, tapi jelas-jelas alat ini terhubung dengan struktur Rumah Betang. Pengoperasiannya pun unik, seperti kemudi sepeda yang digerakkan memutar sedikit ke kanan dan ke kiri, lalu biji-biji padi yang sudah terkupas dari kulitnya akan keluar dari bagian bawah si alat.


Atau sekelompok ibu yang setiap pagi hari sudah sibuk menenun kain tradisional mereka. Kain tenun tradisional banyak saya temui di Nusa Tenggara, tetapi Suku Dayak yang menenun kain tradisional mereka baru saya jumpai di sini. Bermacam alat dikeluarkan, salah satu sudut Rumah Betang pun jadi sangat hidup dengan ada yang memintal dan menggulung benang, menenun, sambil tentu saja berceloteh khas para ibu. Tentang dapur, tentang resep makanan baru, tentang anak-anak, bahkan tentang kami, para tamu yang datang.


Tidak ada yang memperlihatkan dirinya lebih tinggi atau lebih rendah dalam kelas ekonomi di dalam Rumah Betang. Memang ada 28 bilik yang menjadi ruang tinggal bagi masing-masing keluarga, tapi tidak pernah ada alasan untuk tidak berbagi. Bahkan untuk keperluan dokumentasi kebudayaan mereka yang kami lakukan pun, seisi rumah jadi sibuk mengadakan apapun yang kami perlukan. Karena persamaan itulah, Rumah Betang memberikan rasa kehangatan komunitas. Setidaknya itulah kesan yang saya tangkap.


Konon, konsep rumah panjang ini juga sangat aman baik dari alam, hewan maupun musuh-musuh pada masa lampau. Kalau untuk keamanan dari bentuk rumah mungkin bisa Anda lihat dan nilai sendiri. Tapi cobalah berkunjung ke Ensaid Panjang jika ada kesempatan, untuk merasakan keamanan yang hadir dengan cara lain. Di sini, keamanan hadir dari kebersamaan komunitas. Bukan sekedar dari rumah yang dibikin panggung, letak pintu atau bentuk dinding penutup rumah.


Prihatin mendengar kabar bahwa di beberapa tempat rumah panjang tidak lagi ada. Dan hal ini memang menggeser kehidupan sosial budaya masyarakat Dayak menjadi sendiri-sendiri. Sambil prihatin, saya kagum juga dengan nenek moyang kita, arsitek rumah panjang ini, sejak dulu mereka tau model rumah seperti inilah yang paling sanggup mempertahankan kekerabatan anak-cucunya menantang masa kini yang memang cenderung menjadikan manusia untuk hidup sendiri-sendiri. Mereka sebenarnya sudah menyiapkan perlindungan. 



4 komentar:

  1. harus tetep di lestarikan peninggalan budaya ini, sebagai bukti kalo negeri kita kaya akan beragam suku dan bisa harmonis

    BalasHapus
  2. yup, seperti yg saya rasakan, ketika saya melakukan perjalanan sambil mengamati rumah" adat, hampir di setiap daerah rumah" adat setempat sudah jarang terlihat, namun yg ada adalah rumah" gedong dengan corak yg sama semuanya, mungkin suatu saat nanti kalo rumah" adat tidak dilestarikan akan berganti menjadi rumah nasional dengan satu corak yg sama

    BalasHapus
  3. Mau nanya, kalo dari fotonya nih kayaknya semua masyarakatnya pake kain tenun yang dibuat sendiri. Ini memang kehidupan sehari-harinya seperti ini apa mereka menggunakannya dalam rangka kedatangan tim 'ethnic runaway'?

    BalasHapus
    Balasan
    1. sehari-hari masyarakat disana berpakaian seperti biasa. beberapa ibu memakai kain tenun hanya untuk penutup bawah setiap hari, dan dalam upacara adat mereka memakai kain adatnya ini.

      gambar-gambar ini bagian dari keperluan pengambilan gambar ethnic runaway. dalam beberapa adegannya memang diseragamkan memakai kain tenun ini. :)

      Hapus