Minggu, 18 Agustus 2013
Hari Merdeka
Rinjani, 2012
Mari berhenti mengecam kekurangan yang sebenarnya menjadi tanggung jawab bersama, berkontribusi untuk hal-hal kecil pasti lebih berarti. #Merdeka
Farli Sukanto
Rabu, 07 Agustus 2013
Wayang Village Indonesia
A very good friend of mind, Pipin aka Fiona is now developing a community in Wonogiri, Central Java while saving one of the most valuable Indonesian heritage, Wayang. We were partners in college, attended the same organization (Mahitala Unpar) and had some time working together to realize every idealism of our youth. Now, I decide to continue supporting her via this blog. She left this writing and let us share, hoping more people read and eager to help. Godspeed and good luck, Pin!
Dear all,
I
want to share a little story. Since high school I have been interested
in literature. I have read many books, including adaptations of foreign
books. I fell in love with the stories and its essence.
The
epic stories of Mahabharata and Ramayana from India have been
translated into Indonesian and enjoyed by many readers from centuries
ago. To continue retelling the epic stories, poets over the ages created
and perfected a method, still known today, i.e. the leather Shadow
Puppet (Wayang) Performance.
Wayang is
a priceless form of Indonesian art. The process of making a shadow
puppet takes a long time because of its complexity. Additionally, a
Wayang theater performance can extrapolate the values of life and wisdom
that is at the core of every human being. Cultural values and its sheer
beauty should be preserved so that it can be enjoyed and practiced by
the future generation of Indonesians.
Unfortunately,
such high quality culture is not adequately appreciated by the general
public who now knows the value of globalization. Not many people pay
careful attention to the philosophy of wayang that is in fact very
useful when practiced in every day life. This has caused my concerns and
in turn encourage us to develop Wayang Village.
Kepuhsari is
a village in Manyaran, Wonogiri, Central Java. Most of the families
here have made shadow puppets for generations. Many of the puppets in
the current global market and those used for performances are the work
of the villagers of Kepuhsari. Their work of art is well known for its
complex and brilliant colours, and the fine, delicate carvings.
The
huge potential of Kepuhsari village is not comparable to its current
economic condition. Their soil is dry from draughts and cannot rely on
agricultural production alone. At the same time, puppet making has not
been able to become a viable long-term livelihood option. This is due to
the lack of appreciation of the art itself. Through Wayang Village
tourism programmes, we hope that wayang can now be a real option for the
villagers to lift themselves out of poverty. Also, restoring the art of
wayang to its true function, as a media for education and dissemination
of moral values, would bring greater hope for the future generation of
the village and Indonesia as a whole!
-------
So during this festive holiday season, I would like to use this opportunity to promote our programs!
To fill your holidays (or your next holiday) Wayang Village presents
our homestay program, in which you will stay over 1-2 nights at the
villagers’ home and full participate in the village’s daily life! There
are also a number of workshops to help you fully immerse yourself to the
art and culture of wayang, i.e. carving leather puppets, playing
gamelan orchestra, learning to be a puppet master, and unique glass
painting. The villagers will your workshop facilitators, your guide, and
will take you around in their own vehicles! Not to mention, wonderful,
wonderful, healthy village food. Your money would go directly to the
villagers who come together to create this authentic, unforgettable
experience for you. Through these programs it is hoped that the
villagers can improve their skills while benefiting the whole nation,
and finally, be alleviated from poverty, because they are simply
amazing.
To know more about Wayang Village, or if you are interested to book for this cultural experience, please visit our website:
or our facebook page:
We
also accept donations of all kinds. Our main concern at the moment is
the fact that some of the villagers still don’t have access to clean
water and adequate sanitation (toilets). In the near future we are
planning to build some toilets for the community. To donate, please
visit our campaign website:
or you can transfer your donation to our BCA account in Indonesia:
No. 541-501-8824,
Name: Ariel Pradipta/Rieke Caroline.
We are also inviting friends who are interested to participate through volunteering, whatever skills you have, for growing Wayang Village together with the team. All you need to do is just send me an email:
or give me a call at:
Thank
you ever so much for your kind attention. I am looking forward to
hearing from you, who surely are very passionate in helping the poor,
our culture and our nation. Thank you thank you thank you :)
Warm Regards,
Fiona
Minggu, 28 Juli 2013
Keeping the Balance
Day-Off dari sebuah proyek melelahkan di Bali, saya putuskan untuk bersepeda dari Kintamani hingga Sungai Telaga Waja di Karangasem. Gowes menikmati alam Bali memang obat paling mujarab untuk refreshing! Bersepeda memang perkara menjaga keseimbangan, kan?
Submisi untuk Turnamen Foto Perjalanan Ronde ke-24, hosted by Mindy Jordan
Selasa, 23 Juli 2013
Top Destination Dieng
Saya mengutak-atik aplikasi translator di Ipod saya mencoba menemukan terjemahan dari kata 'magical' yang tiba-tiba terlintas saat ingin memulai tulisan ini. Kurang puas, saya beralih ke situs penerjemah bahasa andalan sambil berharap ada makna yang memang sesuai dengan rasa yang saya punya untuk kata 'magical'. Gaib. Sakti. Wasiat. Tiga kata itu yang selalu muncul.
Ah, kenapa terasa terlalu mistis dan angker? Terjemahan saya sih 'magical' itu playful dan eksploratif...
Tanah Jawa selalu magical. Dari apa yang saya kenal, yakni sejarah, budaya, religi dan keterikatan masyarakatnya pada alam membangun atmosfer itu. Ada makna untuk setiap perbuatan dan ada alasan bernilai luhur untuk setiap simbol-simbol buatan, baik yang kini telah berwujud artefak ataupun tradisi.
Kali ini saya singgah kembali ke Wonosobo, dataran tinggi Dieng jadi destinasi untuk menghabiskan akhir pekan kali ini. Pada hari kedua roadtrip mengendarai mobil, perjalanan sampai di jalanan berkelok menanjak memasuki dataran tinggi Dieng. Kabut tebal Dieng dan hujan menghadang laju kendaraan seakan ingin menyembunyikan pesona khas yang dimiliki bentang alamnya. Yang kayak gini-gini nih gimana engga magical!
Tanah Jawa memang ajaib, dan salah satu tempat di Jawa yang juga menarik adalah Dataran Tinggi Dieng. Dataran tinggi ini sesungguhnya adalah sebuah kaldera dengan aktivitas vulkanik. Kawah-kawah bermaterial vulkanik serta danau-danau vulkanik banyak dijumpai di sini, berdampingan dengan pemukiman dan lahan garapan penduduk. Secara historis Dieng juga jadi misterius dengan kehadiran komplek Candi Hindu yang menurut sejarah dibangun pada abad ke-7. Dan ya, candi ini terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk.
Di-Hyang, Bahasa Kawi menerjemahkan tempat ini sebagai sebuah gunung tempat tinggal Para Dewa-Dewi. Kalau mau menghayati keadaan cuaca yang kerap tidak menentu, sergapan kabut, kehadiran candi, mitos anak gimbal, dan keindahan bentang alam Dieng yang memukau, saya sih percaya kalau ini serupa dunia yang lain, serupa pelataran istana Dewa.
Tujuan wisata di Dieng tidak ada yang tidak menarik, tapi saya punya destinasi favorit saya sendiri. Urutan teratasnya pastinya pilihan paling pribadi, dan semoga saja bukan destinasi yang awam.
Anda bisa mencari foto terbaik dari Kawah Sikidang yang bergolak, atau
mendengar kisah sambil melihat langsung Komplek Candi Arjuna yang dibangun pada abad ke-7,
mengelilingi Telaga Warna sambil menemukan gua-gua spiritual, hingga
menyambut matahari terbit di Gunung Sikunir lalu menikmati kuliner kentang dan jamur komoditas utama Dieng yang lezat dan vegan-friendly.
Tapi ini yang paling saya gemari: Sumber Air Panas Dieng! Panggil saya hotspring hunter, karena entah kenapa fenomena alam ini selalu menarik minat wisata saya, apalagi kalau letaknya ada di kawasan bersuhu sejuk atau dingin.
Dari gerak-gerik seorang warga yang jadi pemandu ke tempat ini, sepertinya tempat ini rahasia. Letaknya sangat privasi, dari jalan raya kami harus menembus kawanan ilalang kira-kira dua ratus meter. Mendekati sumber air panas ini, gemercik air yang jatuh dari pipa bambu seakan merayu penemunya untuk segera merasakan sensasi setiap hangat tetes air yang jatuh.
Air dengan panas bumi ini ditanggul dengan pasangan batu kali membentuk kolam kecil, letaknya persis di bantaran sebuah sungai, dengan alam yang jadi sekeliling dindingnya. Beruntung, langit cerah yang menaungi momen berendam saya di sumber air panas hari itu. Semilir angin yang meniupkan udara Dieng yang dingin memang paling pas dinikmati dengan tubuh letih yang direndam di air panas ini. Belum lagi, tempat ini amat sepi pengunjung, jadi puas-puaskanlah...!
Saya memang belum mengamini konsep surga, tapi saya ingat saat berendam, menengadahkan kepala memandangi sempurnanya langit sambil menikmati sensasi hangat di setiap jengkal tubuh rasa-rasanya begini surga. Serba nikmat.
Jika sempat, mampirlah ke Wonosobo. Naiklah sedikit singgah di Dieng. Meluangkan waktu mengalami apa yang alam berikan di sini untuk sekali lagi mengagungi kebesaran Sang Pencipta dan mencari jawaban atas semua. Karena itu kamu tidak pernah berhenti berjalan, kan?
Jangan pernah berhenti bereksplorasi.
Jika butuh info kontak Si Pemandu ulung bisa langsung tanyakan saya, beliau siap menjamu pejalan yang bertamu ke Dieng!
Ah, kenapa terasa terlalu mistis dan angker? Terjemahan saya sih 'magical' itu playful dan eksploratif...
Lihat, kontur dan hijau alamnya saja sudah mengundang penasaran bukan? |
Tanah Jawa selalu magical. Dari apa yang saya kenal, yakni sejarah, budaya, religi dan keterikatan masyarakatnya pada alam membangun atmosfer itu. Ada makna untuk setiap perbuatan dan ada alasan bernilai luhur untuk setiap simbol-simbol buatan, baik yang kini telah berwujud artefak ataupun tradisi.
Kali ini saya singgah kembali ke Wonosobo, dataran tinggi Dieng jadi destinasi untuk menghabiskan akhir pekan kali ini. Pada hari kedua roadtrip mengendarai mobil, perjalanan sampai di jalanan berkelok menanjak memasuki dataran tinggi Dieng. Kabut tebal Dieng dan hujan menghadang laju kendaraan seakan ingin menyembunyikan pesona khas yang dimiliki bentang alamnya. Yang kayak gini-gini nih gimana engga magical!
Tanah Jawa memang ajaib, dan salah satu tempat di Jawa yang juga menarik adalah Dataran Tinggi Dieng. Dataran tinggi ini sesungguhnya adalah sebuah kaldera dengan aktivitas vulkanik. Kawah-kawah bermaterial vulkanik serta danau-danau vulkanik banyak dijumpai di sini, berdampingan dengan pemukiman dan lahan garapan penduduk. Secara historis Dieng juga jadi misterius dengan kehadiran komplek Candi Hindu yang menurut sejarah dibangun pada abad ke-7. Dan ya, candi ini terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk.
Di-Hyang, Bahasa Kawi menerjemahkan tempat ini sebagai sebuah gunung tempat tinggal Para Dewa-Dewi. Kalau mau menghayati keadaan cuaca yang kerap tidak menentu, sergapan kabut, kehadiran candi, mitos anak gimbal, dan keindahan bentang alam Dieng yang memukau, saya sih percaya kalau ini serupa dunia yang lain, serupa pelataran istana Dewa.
Tujuan wisata di Dieng tidak ada yang tidak menarik, tapi saya punya destinasi favorit saya sendiri. Urutan teratasnya pastinya pilihan paling pribadi, dan semoga saja bukan destinasi yang awam.
Anda bisa mencari foto terbaik dari Kawah Sikidang yang bergolak, atau
mendengar kisah sambil melihat langsung Komplek Candi Arjuna yang dibangun pada abad ke-7,
mengelilingi Telaga Warna sambil menemukan gua-gua spiritual, hingga
menyambut matahari terbit di Gunung Sikunir lalu menikmati kuliner kentang dan jamur komoditas utama Dieng yang lezat dan vegan-friendly.
Tapi ini yang paling saya gemari: Sumber Air Panas Dieng! Panggil saya hotspring hunter, karena entah kenapa fenomena alam ini selalu menarik minat wisata saya, apalagi kalau letaknya ada di kawasan bersuhu sejuk atau dingin.
Dari gerak-gerik seorang warga yang jadi pemandu ke tempat ini, sepertinya tempat ini rahasia. Letaknya sangat privasi, dari jalan raya kami harus menembus kawanan ilalang kira-kira dua ratus meter. Mendekati sumber air panas ini, gemercik air yang jatuh dari pipa bambu seakan merayu penemunya untuk segera merasakan sensasi setiap hangat tetes air yang jatuh.
Air dengan panas bumi ini ditanggul dengan pasangan batu kali membentuk kolam kecil, letaknya persis di bantaran sebuah sungai, dengan alam yang jadi sekeliling dindingnya. Beruntung, langit cerah yang menaungi momen berendam saya di sumber air panas hari itu. Semilir angin yang meniupkan udara Dieng yang dingin memang paling pas dinikmati dengan tubuh letih yang direndam di air panas ini. Belum lagi, tempat ini amat sepi pengunjung, jadi puas-puaskanlah...!
Saya memang belum mengamini konsep surga, tapi saya ingat saat berendam, menengadahkan kepala memandangi sempurnanya langit sambil menikmati sensasi hangat di setiap jengkal tubuh rasa-rasanya begini surga. Serba nikmat.
Jika sempat, mampirlah ke Wonosobo. Naiklah sedikit singgah di Dieng. Meluangkan waktu mengalami apa yang alam berikan di sini untuk sekali lagi mengagungi kebesaran Sang Pencipta dan mencari jawaban atas semua. Karena itu kamu tidak pernah berhenti berjalan, kan?
Jangan pernah berhenti bereksplorasi.
Jika butuh info kontak Si Pemandu ulung bisa langsung tanyakan saya, beliau siap menjamu pejalan yang bertamu ke Dieng!
Sabtu, 29 Juni 2013
A Bubu and Happy Story from West Borneo
Ensaid Panjang Village - Sintang, West Borneo.
The sun was about to set and the rain began to fall when we were ready to take the last scene that day. The last and the most difficult scene because we had to do it along the river. We will document how Dayak Desah Tribe catch fish for food.
For the umpteenth time, my small group of 8 traveled to remote village of Indonesia whose residents still live traditionally and keep the value of culture inherited by their ancestors. This time, it was Dayak Desah Tribe, one of the few Dayak (indigenous of Borneo) who still owns their traditional house, Rumah Betang. Here, in Ensaid Panjang, still stands 120 meters long house for the whole tribes.
We would like to present the story on how Dayak Desah still keep local wisdom for gathering food (fish from the river). They will transport by boat to a point in the river to gather fish. I volunteered to handle the underwater camera and take the picture from the water. And shortly after I plunged into the river, I regretted my decision to volunteer. This narrow river created torrent and it is deeper than I expected. Being in the water for more than an hour under drizzling rain, fighting the tide while recording all the moments was really tough. But I had been warned about these kind of challenge the first time the job was offered & I was counted in the team to face any obstacle possible, come hell or high water.
It is Bubu, a rattan cage that the tribe uses to trap fish. Everyday at 4 or 5 pm, they swap Bubu that has been successfully trapped fish with a new empty cage for ensnares other fish until the next day. And they will paddle their little wooden boat to the point where Bubu is located.
They provide us one room among those rooms in Rumah Betang.
Rumah Betang or Long House is shelter for the whole tribes. With the length of the house reaching more than 100 meters, it is the only house for the people in the village. If you ask how big is Ensaid Panjang as a village, it is as big as the Rumah Betang. Located in the middle of the woods, Rumah Betang Dayak Desah consists of about 25 rooms for about 25 families. Try to visit them once and experience the warmth of the living-together-community.
After a dirty and exhausting afternoon, I immediately took a bath and finished my dinner. After almost a year traveled all over Indonesia to document the life of traditional tribes, this was the first night I felt really tired. I remember laying down in the room with bundle of my sleeping bag as a pillow, and started to manage my breathing for relaxation. "Even a dream job, what I thought as the most interesting job, can be frustating.." the statement crossed my mind.
"Far, let's make something very entertaining for the house tonight!" this imperative sentence came from my producer while I was busy to muse. Your first tought might be about tuak, traditional Dayak alcoholic drinks for the best of night entertainment, but night was still young and kids were still around. Yes, kids in Rumah Betang seemed to really love guests, they could wait in front of the guest room for hours, asked us random questions from in front of the door, or were very happy to be photographed. And so it is, we make special tonight show for the lovely kids!
It must be boring to read my story doing a puppet show for the kids. But this had been the most brilliant idea that could be created in Rumah Betang that night. From the limited materials, we used our socks and decorated them with hair and expressions to tell some stories. What is the story? It is the funny story about catching fish with Bubu in the river near Ensaid Panjang village. I doubted this would be a funny and entertaining at first, but this was the picture that I got from the night.
And I owned one happy memory that will last for sure.
It's sometime funny yet mysterious how feelings can change in a blink of eyes. But no matter what you do, how hard your job is, or how interesting other people's lifes are, I think Walt Disney said it well that Happiness is a state of mind.
It's just according to the way you look at things. From my story, thank God, I was given a look at that making a puppet show for the kids is more recharging spirit & energy than just laying around and questioning Life.
Have a nice weekend!
The sun was about to set and the rain began to fall when we were ready to take the last scene that day. The last and the most difficult scene because we had to do it along the river. We will document how Dayak Desah Tribe catch fish for food.
For the umpteenth time, my small group of 8 traveled to remote village of Indonesia whose residents still live traditionally and keep the value of culture inherited by their ancestors. This time, it was Dayak Desah Tribe, one of the few Dayak (indigenous of Borneo) who still owns their traditional house, Rumah Betang. Here, in Ensaid Panjang, still stands 120 meters long house for the whole tribes.
We would like to present the story on how Dayak Desah still keep local wisdom for gathering food (fish from the river). They will transport by boat to a point in the river to gather fish. I volunteered to handle the underwater camera and take the picture from the water. And shortly after I plunged into the river, I regretted my decision to volunteer. This narrow river created torrent and it is deeper than I expected. Being in the water for more than an hour under drizzling rain, fighting the tide while recording all the moments was really tough. But I had been warned about these kind of challenge the first time the job was offered & I was counted in the team to face any obstacle possible, come hell or high water.
It is Bubu, a rattan cage that the tribe uses to trap fish. Everyday at 4 or 5 pm, they swap Bubu that has been successfully trapped fish with a new empty cage for ensnares other fish until the next day. And they will paddle their little wooden boat to the point where Bubu is located.
They provide us one room among those rooms in Rumah Betang.
Rumah Betang or Long House is shelter for the whole tribes. With the length of the house reaching more than 100 meters, it is the only house for the people in the village. If you ask how big is Ensaid Panjang as a village, it is as big as the Rumah Betang. Located in the middle of the woods, Rumah Betang Dayak Desah consists of about 25 rooms for about 25 families. Try to visit them once and experience the warmth of the living-together-community.
After a dirty and exhausting afternoon, I immediately took a bath and finished my dinner. After almost a year traveled all over Indonesia to document the life of traditional tribes, this was the first night I felt really tired. I remember laying down in the room with bundle of my sleeping bag as a pillow, and started to manage my breathing for relaxation. "Even a dream job, what I thought as the most interesting job, can be frustating.." the statement crossed my mind.
"Far, let's make something very entertaining for the house tonight!" this imperative sentence came from my producer while I was busy to muse. Your first tought might be about tuak, traditional Dayak alcoholic drinks for the best of night entertainment, but night was still young and kids were still around. Yes, kids in Rumah Betang seemed to really love guests, they could wait in front of the guest room for hours, asked us random questions from in front of the door, or were very happy to be photographed. And so it is, we make special tonight show for the lovely kids!
It must be boring to read my story doing a puppet show for the kids. But this had been the most brilliant idea that could be created in Rumah Betang that night. From the limited materials, we used our socks and decorated them with hair and expressions to tell some stories. What is the story? It is the funny story about catching fish with Bubu in the river near Ensaid Panjang village. I doubted this would be a funny and entertaining at first, but this was the picture that I got from the night.
Plus! My friend added a little trick performance that make the kids astonished! |
It's sometime funny yet mysterious how feelings can change in a blink of eyes. But no matter what you do, how hard your job is, or how interesting other people's lifes are, I think Walt Disney said it well that Happiness is a state of mind.
It's just according to the way you look at things. From my story, thank God, I was given a look at that making a puppet show for the kids is more recharging spirit & energy than just laying around and questioning Life.
Have a nice weekend!
Minggu, 23 Juni 2013
To Balo Bulu Pao
Believing is not how you understand something
Pernah suatu hari saya menonton tayangan "The Biggest Mystery on Earth" di saluran luar negeri yang merangking mundur 15 misteri terbesar di dunia. Awalnya saya nonton santai menikmati ulasan Si Tayangan, hitungan mundur ini dimeriahkan oleh ulasan tentang Alienlah, Crop Circle-lah, hingga makhluk-makhluk misterius seperti Big Foot, Yeti dan Loch Ness. Saya mulai gelisah saat tayangan tersebut menempatkan Tuhan di rangking kedua.
Saya menduga Tuhan pasti misteri terbesar pertama di atas muka bumi ini. Apa lagi yang bisa mereka tempatkan di posisi teratas sebagai misteri paling misterius di dunia? Saya tertantang untuk menunggu ranking pertama versi mereka.
"And the biggest mystery on earth is..." voice over menggiring rasa penasaran semakin dalam. Tayangan ini mendramatisir dengan baik penyajian si misteri nomor satu ini. Seisi layar televisi menampilkan gambar alam semesta, dengan titik-titik bintang bertabur di kedalaman jarak tak terhingga, sepi dan misterius sekali. Pada satu detik, setitik cahaya muncul di kejauhan, perlahan terang ini mendekat, semakin dekat hingga terasa menyilaukan. Diiringi scoring menggugah, seketika muncullah jawaban itu...
Tayangan ini sukses mengobrak-abrik keimanan saya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan yang bertubi-tubi diajukannya. Tentang penjelasan logis zat penyusun sel telur dan sel sperma yang bisa menjelma jadi embrio-lah, tentang jiwa dan raga-lah, tentang kematian hingga pertanyaan tentang tujuan diciptakannya kehidupan.
Sejak hari itu, saya seperti mulai menyusun rapi puzzle tentang kehidupan. Keping demi keping disambung untuk mencoba melihat sebuah gambar yang utuh.
---
Tidak pernah ada riset perjalanan sefiktif ini sebelumnya.
Saya mengarahkan riset perjalanan saya kali ini ke Pulau
Sulawesi. Dan saya menemukan sebuah artikel yang bercerita tentang sebuah
tempat di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, kurang lebih 100 kilometer jauhnya
di Utara Makassar, dengan waktu tempuh kira-kira tiga setengah sampai empat jam
mengendarai mobil. Tapi artikelnya seperti cerita fiksi. Satu bagian membuat
dahi berkernyit, bagian lain membuat sedikit bergidik.
http://news.liputan6.com/read/59205/tobelo-manusia-belang-kutukan-sang-dewa |
Tapi semakin terasa fiktif, semakin terasa layak untuk disinggahi. Apalah artinya misteri tanpa rasa penasaran yang diundangnya, kan? Mari berangkat!
Pegunungan Bulu Pao di Kabupaten Barru jadi tujuan saya kali ini.
Dari Makassar perjalanan kami lanjutkan ke utara. Hingga kabupaten Barru yang memakan waktu kira-kira 3 jam, perjalanan belum terlalu menantang. Perjalanan jadi lebih beresiko saat mulai mendaki dari desa di kaki gunung. Mobil bergardan ganda yang kami tumpangi harus melipir jalur sempit yang berbatasan langsung dengan jurang-jurang dalam. Belum lagi di beberapa titik, jalur yang memang hanya muat untuk satu mobil ini longsor. Kami harus menangguhkan kembali pondasi jalan tanah ini dengan batu-batuan dan batang kayu.
Perjalanan kali ini tidak seperti membawa misi dokumentasi budaya, lebih terasa jadi Agen Murder atau Agen Scully-nya X-Files. Semakin jauh perjalanannya pun teman-teman kru semakin sering bertanya kepada saya. Sedikit mengancam kalau-kalau Tobalo yang dicari sebenarnya tidak ada.
Empat jam kami habiskan di jalur pendakian, yang setelah kami ketahui baru kali ini dilalui mobil. Dan tibalah kami di tahap perjalanan terakhir, berjalan kaki mendaki dan menuruni bukit mendatangi pondok demi pondok untuk bertemu dengan salah satu Tobalo. Anggaplah ini tempat persembunyian Tobalo, tapi bisa jadi ini tempat pengasingan diri yang paling membahagiakan. Mari lihat apa yang terbentang sejauh mata kami memandang saat kami berhenti untuk mengambil nafas sejenak di tengah pendakian kami.
Sosok Tobalo pertama yang saya temui adalah seorang ibu di sebuah pondok kecil, sosoknya pemalu dan pendiam, Ibu Samina. Setelah memohon ijin, beliau mengantar kami ke pondok Sang Kakak, sosok yang menjadi kepala atau yang dituakan para Tobalo saat ini. Perasaan sedikit lega saat kami diterima dengan hangat, terjawab sudah Tobalo bukan mitos. Keluarga itu ada bersama kami sekarang, bertukar cerita.
Menurut saya Tobelo bukan suku, mereka lebih merupakan satu keluarga keturunan Bugis namun berbahasa berbeda, yaitu bahasa Bentong. Konon, bahasa ini pun sulit dimengerti oleh siapapun. Beberapa hari kami habiskan bersama Pak Nuru dan keluarga, diajari cara memanjat pohon nira untuk mengambil air gula, diajak ke sungai berarus deras untuk mandi, hingga membuat penganan dari air gula resep warisan nenek moyangnya. Menyenangkan sekali.
Ada sebuah cerita yang coba saya yakini ketika bertanya mengenai asal bercak putih yang terus terwaris di tubuh mereka secara turun temurun. Satu cerita berkisah tentang nenek moyang mereka, seorang ksatria yang berhasil menaklukkan sayembara kerajaan di masa lampau untuk menjinakkan seekor kuda istana dan mendapatkan putri raja sebagai istri. Namun karena tak kunjung dikaruniai keturunan, Sang Ksatria bernazar kepada Dewa agar diberikan keturunan sekalipun belang seperti kuda yang dijinakkannya. Sejak hari itulah semua keturunannya hingga hari ini bertubuh belang.
Berusahalah meyakini tapi jangan sekali-sekali menyandingi cerita ini dengan teori-teori genetika. Ilmu pengetahuan bukan bagian dari hidup Tobalo. Dan pernahkah kalian coba bayangkan hidup tanpa ilmu pengetahuan? Tanpa sesuatu yang melatih logika untuk membuat semua jadi apa yang kita pahami sebagai 'masuk akal'.
Saya melamun untuk pengalaman ini dan sempat terlintas : Tanpa ilmu pengetahuan, mungkin iman akan lebih terlatih untuk mengamini dan memahami bahasa-bahasa alam. Bahkan bercak turun temurun Tobalo pun bisa jadi sandi dari Tuhan, untuk kita memahami secuil pelajaran tentang kehidupan. Tentang apa itu? Saya juga belum tau. Toh, dari tadi pun saya bilang mungkin dan bisa jadi.
Saya menyimpan tulisan ini sebagai draft sekian lama. Ada keyakinan catatan perjalanan ini abu-abu, atau membingungkan. Sedikit penjelasan logis yang bisa saya tambahkan untuk bagian-bagian yang saya ceritakan. Posting ini belum saya tambahkan cerita dimana Pak Nuru mengajak kami menyaksikannya menari Sere Api, menunjukkan kekebalannya menari di atas api.
Atau apa jawaban mereka atas konfirmasi isi paragraf terakhir artikel di atas yang membuat saya bergidik? Ah, biarlah beberapa misteri ditinggal sebagai misteri.
Dari Makassar perjalanan kami lanjutkan ke utara. Hingga kabupaten Barru yang memakan waktu kira-kira 3 jam, perjalanan belum terlalu menantang. Perjalanan jadi lebih beresiko saat mulai mendaki dari desa di kaki gunung. Mobil bergardan ganda yang kami tumpangi harus melipir jalur sempit yang berbatasan langsung dengan jurang-jurang dalam. Belum lagi di beberapa titik, jalur yang memang hanya muat untuk satu mobil ini longsor. Kami harus menangguhkan kembali pondasi jalan tanah ini dengan batu-batuan dan batang kayu.
Perjalanan kali ini tidak seperti membawa misi dokumentasi budaya, lebih terasa jadi Agen Murder atau Agen Scully-nya X-Files. Semakin jauh perjalanannya pun teman-teman kru semakin sering bertanya kepada saya. Sedikit mengancam kalau-kalau Tobalo yang dicari sebenarnya tidak ada.
Empat jam kami habiskan di jalur pendakian, yang setelah kami ketahui baru kali ini dilalui mobil. Dan tibalah kami di tahap perjalanan terakhir, berjalan kaki mendaki dan menuruni bukit mendatangi pondok demi pondok untuk bertemu dengan salah satu Tobalo. Anggaplah ini tempat persembunyian Tobalo, tapi bisa jadi ini tempat pengasingan diri yang paling membahagiakan. Mari lihat apa yang terbentang sejauh mata kami memandang saat kami berhenti untuk mengambil nafas sejenak di tengah pendakian kami.
Sosok Tobalo pertama yang saya temui adalah seorang ibu di sebuah pondok kecil, sosoknya pemalu dan pendiam, Ibu Samina. Setelah memohon ijin, beliau mengantar kami ke pondok Sang Kakak, sosok yang menjadi kepala atau yang dituakan para Tobalo saat ini. Perasaan sedikit lega saat kami diterima dengan hangat, terjawab sudah Tobalo bukan mitos. Keluarga itu ada bersama kami sekarang, bertukar cerita.
Menurut saya Tobelo bukan suku, mereka lebih merupakan satu keluarga keturunan Bugis namun berbahasa berbeda, yaitu bahasa Bentong. Konon, bahasa ini pun sulit dimengerti oleh siapapun. Beberapa hari kami habiskan bersama Pak Nuru dan keluarga, diajari cara memanjat pohon nira untuk mengambil air gula, diajak ke sungai berarus deras untuk mandi, hingga membuat penganan dari air gula resep warisan nenek moyangnya. Menyenangkan sekali.
Ada sebuah cerita yang coba saya yakini ketika bertanya mengenai asal bercak putih yang terus terwaris di tubuh mereka secara turun temurun. Satu cerita berkisah tentang nenek moyang mereka, seorang ksatria yang berhasil menaklukkan sayembara kerajaan di masa lampau untuk menjinakkan seekor kuda istana dan mendapatkan putri raja sebagai istri. Namun karena tak kunjung dikaruniai keturunan, Sang Ksatria bernazar kepada Dewa agar diberikan keturunan sekalipun belang seperti kuda yang dijinakkannya. Sejak hari itulah semua keturunannya hingga hari ini bertubuh belang.
Berusahalah meyakini tapi jangan sekali-sekali menyandingi cerita ini dengan teori-teori genetika. Ilmu pengetahuan bukan bagian dari hidup Tobalo. Dan pernahkah kalian coba bayangkan hidup tanpa ilmu pengetahuan? Tanpa sesuatu yang melatih logika untuk membuat semua jadi apa yang kita pahami sebagai 'masuk akal'.
Saya melamun untuk pengalaman ini dan sempat terlintas : Tanpa ilmu pengetahuan, mungkin iman akan lebih terlatih untuk mengamini dan memahami bahasa-bahasa alam. Bahkan bercak turun temurun Tobalo pun bisa jadi sandi dari Tuhan, untuk kita memahami secuil pelajaran tentang kehidupan. Tentang apa itu? Saya juga belum tau. Toh, dari tadi pun saya bilang mungkin dan bisa jadi.
Saya menyimpan tulisan ini sebagai draft sekian lama. Ada keyakinan catatan perjalanan ini abu-abu, atau membingungkan. Sedikit penjelasan logis yang bisa saya tambahkan untuk bagian-bagian yang saya ceritakan. Posting ini belum saya tambahkan cerita dimana Pak Nuru mengajak kami menyaksikannya menari Sere Api, menunjukkan kekebalannya menari di atas api.
Atau apa jawaban mereka atas konfirmasi isi paragraf terakhir artikel di atas yang membuat saya bergidik? Ah, biarlah beberapa misteri ditinggal sebagai misteri.
Sabtu, 08 Juni 2013
Salam dari Anak Seribu Pulau!
Waktu kecil ada sebuah tayangan televisi yang setia saya tunggu setiap akhir pekan, judulnya Anak Seribu Pulau. Apa yang saya ingat dari kenangan yang satu ini mungkin agak kabur. Tapi saya tidak akan lupa damainya lagu "Negeri di Awan" Katon Bagaskara yang jadi soundtrack opening mengiringi adegan sekelompok anak lari di sawah atau naik kuda, saya juga ingat setiap episodenya bercerita tentang kehidupan anak-anak negeri di seluruh pelosok tanah air.
Ingatan boleh kabur, tapi perasaan akan kenangan yang satu ini masih saya simpan dengan baik. Saat itu usia saya masih sangat muda, awal tahun di Sekolah Dasar kalau tidak salah, tapi Anak Seribu Pulau masih lekat sekali dalam hidup saya hingga hari ini.
Kalau saya ingat-ingat, mungkin boleh jadi Anak Seribu Pulau adalah yang pertama kali memperkenalkan saya pada tanah air saya. Pada keindahan alamnya, keragamannya, serta semangat untuk menyinggahinya suatu hari nanti.
"Once you make a decision, the universe conspires to make it happen." kata Ralph Waldo Emerson. Dan alam semesta berkonspirasi mewujudkan keinginan saya singgah di tempat-tempat terindah di negeri ini.
---
Inilah foto-foto dari 'hari' yang saya maksud. Hari-hari saya singgah di beberapa sudut tanah air. Menghidupkan kenangan masa lalu tentang Anak Seribu Pulau dan alam Nusantara yang jadi rumahnya yang luar biasa indah.
Sambutlah hangat salam mereka : Anak Seribu Pulau!
Teluk Sumbang, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
Dusun Tuo Datai, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Riau
Suku Bajau, sebuah dusun di pesisir Hutan Lambusango, Sulawesi Tenggara
Dusun Wabou, Hutan Lambusango, Buton, Sulawesi Tenggara
Dusun Lidak, Kabupaten Belu, Atambua Selatan, NTT
Tamkesi, Timor Tengah Selatan, NTT
Tuhan dan rencananya untuk hidup setiap manusia tetap jadi misteri paling besar buat saya. Saya pun tidak pernah tidak mempertanyakan apa sebenarnya yang ingin diperlihatkan pada saya dari perjalanan-perjalanan ini.
Ah, bersyukur dulu sajalah diberi kesempatan menghidupkan tayangan TV favorit semasa kecil di depan mata seperti ini.
Label:
atambua,
borneo,
buton,
dayak,
dayak basap,
dayak desah,
ethnic runaway,
kalende,
kalimantan,
komunitas adat,
matabesi,
sulawesi,
sulawesi tenggara,
talangmamak,
teluk sumbang,
travelling
Lokasi:
Indonesia
Minggu, 31 Maret 2013
Jangan Coba-Coba Roadtrip
Perkenankanlah saya mendefinisikan roadtrip menurut saya sendiri. Paling tidak untuk salah satu kelas dalam klasifikasi gaya perjalanan yang saya lakukan.
Bagi saya, roadtrip berarti perjalanan yang sepenuhnya mengendarai kendaraan pribadi. Nyetir menjajal jalur darat berkilo-kilometer. Jarak bagi saya juga jadi penentu sebuah perjalanan itu roadtrip atau bukan, karena kalau hanya Jakarta-Bandung naik mobil, rasanya kurang roadtrip.
Roadtrip bagi saya adalah merasakan panjangnya waktu dan jarak. Hidup itu singkat, tapi roadtrip membuatnya terasa lebih lama, dan ironisnya, roadtrip juga menyadarkan bahwa ada berkilo-kilometer jarak dan tempat yang tidak mungkin kita eksplorasi semua.
Definisinya kurang asik? Mungkin karena saya memang bukan pencinta roadtrip. Tapi perjalanan dari Jakarta ke dataran tinggi Dieng ini saya lakukan karena ajakan seorang sahabat yang cinta sekali sama roadtrip, gayanya emang cukup Renegade. Di masanya, dia pendaki & pemanjat tebing ulung, sekarang engga ulung-ulung amat karena junior-juniornya jago-jago. Dulu, bawaan kami adalah Raja Jalanan : Toyota Jeep berwarna kuning kesayangannya. Tapi sekarang si Jeep sudah dijual jadi cukup Toyota Avanza saya sajalah! Sorry Renegade sekarang roadtripnya bergaya lebih mapan sedikit.
Jangan coba-coba roadtrip kalau benci jalur lintas karena harus mengantri di belakang truk-truk besar, bus antar propinsi dan container. Nikmati quotes unik di belakang kendaraan-kendaraan tadi. Mereka memang dibuat untuk kamu yang sibuk menyalip.
Jangan coba-coba roadtrip kalau tidak punya charger mobil. Ya minimal kamu punya portable charger lah, menjaga kontak dan update sama social media bisa jadi cara ampuh menghilangkan jenuh!
Jangan coba-coba roadtrip kalau tidak bawa cukup stock lagu-lagu favorit. Di banyak titik jalur lintas siaran radio tidak tertangkap. Nikmatilah beragam musik-musik segmented yang kadang siarannya tertangkap, seperti dangdut atau lagu berbahasa daerah.
Jangan coba-coba roadtrip kalau panas dan hujan bisa tiba-tiba merubah mood kamu. Apalah arti seorang pejalan yang hanya senang dengan cuaca cerah, atau cuaca yang sesuai dengan keinginannya saja? Jadilah rock n roll, kamu dan teman perjalanan kamu.
Jangan coba-coba roadtrip kalau kamu anti tersasar. Tersasar dan berusahalah mencari jalan kembali ke jalur yang benar, ini akan jadi cerita paling menarik dari roadtrip kamu.
Jangan coba-coba roadtrip kalau kamu takut sama polisi. Pos-pos polisi yang tersebar di sepanjang jalur lintas harusnya jadi andalan kamu 24/7. Termasuk dalam hal memberi petunjuk jalan.
Jangan coba-coba roadtrip kalau terlalu percaya GPS. Percayalah kami ikut apa kata GPS, jalur yang kami analisa sebagai jalan pintas malah memperpanjang perjalanan kami selama 2 jam! Ya, mungkin salah kami yang kurang teliti melihat medan, 2 jam itu kami habiskan mengitari bukit. *sigh
Jangan coba-coba roadtrip kalau engga punya teman perjalanan yang tinggal di sepanjang jalur lintas. Selain jadi tempat istirahat, dan numpang mandi, bisa jadi tempat makan gratis juga.
Dan jangan coba-coba roadtrip kalau engga punya tujuan. Karena destinasi yang memberi makna pada setiap perjalanan kita, apapun itu bentuknya. Iya kan?
Punya jangan coba-coba roadtrip yang lain?
Bagi saya, roadtrip berarti perjalanan yang sepenuhnya mengendarai kendaraan pribadi. Nyetir menjajal jalur darat berkilo-kilometer. Jarak bagi saya juga jadi penentu sebuah perjalanan itu roadtrip atau bukan, karena kalau hanya Jakarta-Bandung naik mobil, rasanya kurang roadtrip.
Roadtrip bagi saya adalah merasakan panjangnya waktu dan jarak. Hidup itu singkat, tapi roadtrip membuatnya terasa lebih lama, dan ironisnya, roadtrip juga menyadarkan bahwa ada berkilo-kilometer jarak dan tempat yang tidak mungkin kita eksplorasi semua.
Definisinya kurang asik? Mungkin karena saya memang bukan pencinta roadtrip. Tapi perjalanan dari Jakarta ke dataran tinggi Dieng ini saya lakukan karena ajakan seorang sahabat yang cinta sekali sama roadtrip, gayanya emang cukup Renegade. Di masanya, dia pendaki & pemanjat tebing ulung, sekarang engga ulung-ulung amat karena junior-juniornya jago-jago. Dulu, bawaan kami adalah Raja Jalanan : Toyota Jeep berwarna kuning kesayangannya. Tapi sekarang si Jeep sudah dijual jadi cukup Toyota Avanza saya sajalah! Sorry Renegade sekarang roadtripnya bergaya lebih mapan sedikit.
Klik untuk memperbesar gambar. |
JANGAN COBA COBA ROADTRIP
Jangan coba-coba roadtrip kalau teman perjalanan kamu kurang dari dua orang, dan tidak bisa gantian nyetir. Tidak tau jalan tidak masalah, pastikan saja mereka punya cukup cerita menarik untuk di-share sepanjang perjalanan.
Jangan coba-coba roadtrip kalau kamu tidak bikin sistem gantian tidur, nyetir dan nemenin nyetir. Karena itu kamu butuh minimal 3 orang.
Jangan coba-coba roadtrip kalau membayangkan berkendara lewat tengah malam saja sudah bikin kamu malas atau enggan jalan. Karena itulah kamu butuh teman perjalanan dengan cerita hidup yang cukup menarik, atau curahan hati yang dramatis. Paling tepat memang roadtrip bareng sahabat.
Jangan coba-coba roadtrip kalau tidak mengecek kesiapan kendaraan terlebih dahulu.Jangan coba-coba roadtrip kalau kamu tidak bikin sistem gantian tidur, nyetir dan nemenin nyetir. Karena itu kamu butuh minimal 3 orang.
Jangan coba-coba roadtrip kalau membayangkan berkendara lewat tengah malam saja sudah bikin kamu malas atau enggan jalan. Karena itulah kamu butuh teman perjalanan dengan cerita hidup yang cukup menarik, atau curahan hati yang dramatis. Paling tepat memang roadtrip bareng sahabat.
Jangan coba-coba roadtrip kalau benci jalur lintas karena harus mengantri di belakang truk-truk besar, bus antar propinsi dan container. Nikmati quotes unik di belakang kendaraan-kendaraan tadi. Mereka memang dibuat untuk kamu yang sibuk menyalip.
Jangan coba-coba roadtrip kalau tidak punya charger mobil. Ya minimal kamu punya portable charger lah, menjaga kontak dan update sama social media bisa jadi cara ampuh menghilangkan jenuh!
Jangan coba-coba roadtrip kalau tidak bawa cukup stock lagu-lagu favorit. Di banyak titik jalur lintas siaran radio tidak tertangkap. Nikmatilah beragam musik-musik segmented yang kadang siarannya tertangkap, seperti dangdut atau lagu berbahasa daerah.
Jangan coba-coba roadtrip kalau panas dan hujan bisa tiba-tiba merubah mood kamu. Apalah arti seorang pejalan yang hanya senang dengan cuaca cerah, atau cuaca yang sesuai dengan keinginannya saja? Jadilah rock n roll, kamu dan teman perjalanan kamu.
Jangan coba-coba roadtrip kalau kamu takut sama polisi. Pos-pos polisi yang tersebar di sepanjang jalur lintas harusnya jadi andalan kamu 24/7. Termasuk dalam hal memberi petunjuk jalan.
Jangan coba-coba roadtrip kalau terlalu percaya GPS. Percayalah kami ikut apa kata GPS, jalur yang kami analisa sebagai jalan pintas malah memperpanjang perjalanan kami selama 2 jam! Ya, mungkin salah kami yang kurang teliti melihat medan, 2 jam itu kami habiskan mengitari bukit. *sigh
Jangan coba-coba roadtrip kalau engga punya teman perjalanan yang tinggal di sepanjang jalur lintas. Selain jadi tempat istirahat, dan numpang mandi, bisa jadi tempat makan gratis juga.
Dieng. Sunrise. Kabut. Dingin. Danau. Candi. Hotspring. Skinny Dipping. |
Punya jangan coba-coba roadtrip yang lain?
Label:
dieng,
mahitala,
roadtrip,
tips,
travelling
Lokasi:
Wonosobo, Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)