Menurut Wikipedia, serendipity merupakan satu dari sepuluh
besar kosakata Bahasa Inggris yang paling sulit diterjemahkan dari vote sebuah perusahaan penerjemah ternama di London, Today Translation. Tapi mengacu
pada surat Horace Walpole (sejarawan dan politisi dari abad 18), dimana kata ini muncul untuk pertama kalinya,
serendipity dimaksudkan untuk menyatakan : “always making discoveries, by
accidents and sagacity, of things they were not in quest of.”
Ilustrasi di atas menunjukkan letak Teluk Sawai di Pulau
Seram. Teluk ini menyimpan banyak daya pikat wisata, mulai dari keindahan alam
di atas maupun di dalam permukaan perairannya, kehidupan satwa hingga masyarakatnya
yang bersahabat.
Dari pusat kota Ambon, saya dan kedua teman saya harus bergerak
sedikit ke Pasar Mardika. Di sini, Anda bisa menemukan bemo-bemo (angkutan umum
di Ambon) ke tujuan mana pun di pulau Ambon, termasuk ke Tulehu, pelabuhan
kapal yang akan menyeberangkan kami ke Pulau Seram, tepatnya ke Amahai.
Naik bemo dari Ambon ke Tulehu memakan biaya Rp. 10.000,-/orang.
Dan biaya tiket speedboat untuk
menyeberang dari Tulehu ke Amahai adalah Rp. 110.000,-/orang. Perjalanan Tulehu – Amahai
ini kira-kira 2 jam saja.
Pelabuhan Tulehu, Ambon. Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan speedboat Express Cantika menuju Amahai. Courtesy of : Indra AW. |
Kami membayar tiket untuk kelas eksekutif dimana semua tempat duduk saat
itu hampir penuh terisi. Ada penduduk lokal yang asyik mengobrol dengan
segunung barang dagangan yang baru dibelinya dari Ambon, adik-adik kecil yang
berlarian di lorong tempat duduk, ibu yang sibuk memarahi anaknya karena gaduh,
pedagang keliling hingga wisatawan-wisatawan asing yang mungkin bingung dengan betapa
memungkinkannya semua keadaan berisik ini terjadi di dalam kapal.
Tiba-tiba tepat di belakang tempat duduk saya, saya
mendengar seorang wisatawan asing sibuk bertanya pada penumpang lokal di
sebelahnya. Dengan bahasa Inggris yang terbatas dia bertanya arah menuju Pantai Ora sambil
menunjuk Lonely Planet lecek berbahasa Perancis yang
dipegangnya dan Si Bapak yang duduk di sebelahnya kebingungan tidak bisa
menjawab. Saya menjelajah Maluku pada perjalanan kali ini pun dengan bantuan
Lonely Planet (berbahasa Inggris), jadi saya tahu ada beberapa informasi mengenai Pantai Ora yang
tidak lagi valid di Lonely Planet cetakan itu, jadi saya pun membuka percakapan dengan Si
Orang Asing.
Namanya Clement, orang Perancis, di sebelahnya duduk
pasangannya Elise, juga warga negara Perancis. Usut punya usut, mereka telah berkeliling
Indonesia selama 3 bulan dari total 6 bulan yang mereka rencanakan untuk
mengelilingi seluruh Indonesia, dan kini mereka ingin menuju Pantai Ora.
Pantai Ora adalah satu bagian kecil saja dari Teluk Sawai.
Ya, dia termasyur karena kombinasi pantai dan resornya yang menciptakan suasana
romantis. Tapi jangan salah, ada berbagai destinasi lain di Teluk Sawai yang juga
sama atau bahkan lebih menawan dari Pantai Ora.
Di awal sepertinya Clement (28) dan Elise (29) agak skeptis pada
kami, tiga wisatawan dalam negeri yang mengajaknya bergabung menjajaki jalan
menuju Pantai Ora impian mereka. Sebaliknya buat kami, ini semacam hadiah di
tengah perjalanan karena kami bisa membagi biaya transportasi sewa mobil dari
Amahai menuju Desa Saleman (Rp. 300.000,-/mobil) dengan mereka. Tapi beginilah biasanya
prinsip perjalanan backpacking, tidak
takut berteman dengan backpackers
lain untuk mengurangi biaya-biaya perjalanan. Jadilah kami bersama menuju Desa
Saleman yang berjarak kira-kira 1 jam jauhnya berkendara mobil dari Pelabuhan
Amahai. Dari desa ini, katanya kami akan diseberangkan dengan perahu kecil semacam
ketingting bermotor ke Desa Sawai.
Singkat cerita kami sampai di Saleman. Saleman ini sama
sekali tidak tampak seperti pelabuhan untuk kapal menyeberang. Dia hanya sebuah
desa nelayan yang dikelilingi hutan. Bahkan di sini tidak ada dermaga, kami
hanya menyeberang dari bibir pantai. Di sini, kami bertemu dengan wisatawan
asing lain, Toshi dan Junko, mereka suami istri dari Jepang yang juga dalam
perjalanan mengelilingi Indonesia, mereka baru menghabiskan satu bulan
perjalanan menyambangi Pulau Jawa dan Sunda Kecil. Mereka meminta ijin untuk
bergabung karena tujuan kami sama.
Oh ya, tujuan kami tidak lagi Pantai Ora tapi sebuah
penginapan di Desa Sawai. Pak Ali nama pemiliknya.
Lagi-lagi kami membagi biaya penyeberangan dengan perahu
warga ini dengan lebih banyak orang. Satu kali penyeberangan dihargai Rp.
700.000,- yang akhirnya kami bagi bertujuh. Sebut ini sebuah kebetulan, atau
kemujuran kami.
Pernah menonton film The Beach-nya Leonardo Dicaprio? Ingat
adegan saat pertama kalinya, Ricahard dan teman-temannya menemukan sebuah
perkampungan yang dibangun oleh para wisatawan yang berhasil menemukan tempat
indah di pulau itu? Film dengan semangat perjalanan yang luar biasa ini yang
terlintas di benak saya saat pertama kali perahu kami merapat ke dermaga di
Desa Sawai. Bukan penduduk lokal atau Si Empunya Penginapan yang menyambut atau
membantu kami naik, tapi justru wisatawan-wisatawan lain (asing dan lokal) yang
telah lebih dulu ada di sanalah yang melempar senyum dan menyapa kami yang baru
saja tiba. Berbagai orang dengan berbagai latar belakang kami temui, ada
pasangan dari Belgia, solo traveler dari Belanda, sekelompok kru televisi dari
Jakarta, dosen peneliti, sekelompok wisatawan asing berusia lanjut, hingga
pasangan bulan madu. Kami berinteraksi satu sama lain. Dan tiba-tiba sore itu jadi terasa
lebih hangat.
Penginapan ini terdiri dari beberapa bungalow apung. Satu
bungalow berisi rata-rata empat hingga lima kamar untuk dua orang. Kami yang
datang bersama-sama berbagi satu bungalow kosong, saya dan kedua teman saya
mengisi dua kamar, Clement dan Elise mengisi satu kamar, lalu Toshi dan Junko
mengisi satu kamar lagi. Dan dalam sekejap kami jadi housemate! Saking betahnya kami menghabiskan empat hari tiga malam
di sini, termasuk malam pergantian tahun.
Pesona Sawai berhasil menawan hati kami di sini. Sore
pertama saat menanti matahari terbenam dari teras, kami sudah dibuat terpesona
dengan seekor penyu yang tiba-tiba berenang dari kolong bungalow hingga perlahan
hilang dari penglihatan kami saat ia menyelam ke kedalaman Laut Seram. Atau
plankton-plankton yang menyisakan cahaya berpendar pada garis renangnya setiap
malam di lautan luas yang menjadi halaman penginapan kami. Jangan tanya
seberapa indah koral dan ikan-ikan di dalamnya.
Pelayaran sehari mengitari Teluk Sawai dilakukan dengan perahu bermotor berkapasitas maksimal 10 orang (kiri). Courtesy of : Masatoshi. Perjalanan termasuk singgah di pulau kecil tanpa penghuni, Pulau Sapalewa (kanan). |
Hari kedua di Sawai kami ikut dalam paket perjalanan sehari
penuh yang dikelola Pak Ali dan beberapa pemuda Desa Sawai. Objek-objek wisata
yang ditawarkan dalam sehari sangat beragam dan membawa kita hampir ke seluruh
sudut Teluk Sawai yang unik. Ada penelusuran sungai ber-buaya, melihat langsung
proses pengolahan sagu dari pohonnya oleh penduduk lokal, makan siang di sebuah
pulau berpasir putih, snorkeling, mampir ke Pantai Ora hingga mengunjungi
sebuah pulau penangkaran kelelawar raksasa (yang menghasilkan suara seperti
kawanan kera). Paket wisata ini pun tergolong murah, lagi-lagi jika Anda datang
dalam kelompok besar. Beruntungnya kami sudah berkelompok sejak hari pertama
datang ke sini, jadi biaya Rp. 1.000.000,-/trip kami bagi bertujuh.
Perjalanan tidak terlupakan dan singkat di Sawai
mengakrabkan kami. Bahkan kami menghabiskan waktu bersama hingga setibanya kami
di Ambon lagi. Clement dan Elise berinisiatif untuk mengumpulkan kami lagi pada
sebuah makan malam. Makan malam itu jadi titik berpisahnya kami yang akan
meneruskan penjelajahan kami masing-masing. Clement dan Elise akan berjalan ke
Ternate Tidore di Utara, saya dan teman-teman akan terbang ke Kepulauan Kei di
Selatan, sedangkan Toshi dan istrinya akan langsung ke Utara Sulawesi.
Foto bersama setelah snorkeling di beberapa spot di Sawai. Courtesy of : Indra AW |
Ini adalah makan malam terakhir kami di tahun 2013. Momen duduk bersama di meja makan ini mungkin yang akan paling saya rindukan, dimana kami bertukar ucapan Bon Apetite - Selamat Makan - Itadakimasu setiap sebelum mulai makan. Malam itu, Junko mengartikan nama kami dalam bahasa dan huruf Jepang, inset gambar di kanan bawah adalah coretannya untuk nama saya. Farli adalah Faruri dalam Bahasa Jepang. Courtesy of : Masatoshi. |
Berkunjung ke Sawai dan menikmati keindahannya mungkin jadi bagian dari rencana perjalanan kami. Sensasi singgah dan terpesona akan semua suguhan alam di sini pun sedikit sudah ada dalam bayangan saat merencanakan. Tapi ada sebuah nilai dari perjalanan yang tidak bisa direncanakan seperti saat bertemu manusia. Pun manusia adalah bagian dari setiap perjalanan kita. Manusia seperti Clement, Elise, Toshi atau Junko menghadiahi perjalanan dengan sebuah pertalian baru, pertemanan. Dan pertemanan punya nilai yang tidak bisa digantikan. Betapa menakjubkannya dengan begitu luasnya dunia, kami dipertemukan hanya di satu titik pada suatu waktu. Untuk apa sebenarnya? Saya pun tidak tahu pasti, yang saya tahu kami banyak berbagi cerita tentang negeri dan budaya kami masing-masing. Saya jadi memandang manusia sebagai jendela dunia, yang membuka pandangan semakin luas dan semakin luas lagi.
Sebuah email masuk! Dan itu berasal dari Clement Marcorelles. Dia mengabarkan kalau dalam beberapa hari, dia dan Elise akan tiba di Jakarta dalam beberapa hari ke depan untuk kemudian bertolak kembali ke Perancis. Petualangan keliling Indonesia-nya telah berakhir!
Seolah terhubung, di hari yang sama pun Toshi mengirim
email, mengabarkan kalau hari itu dia akan bertolak kembali ke Jepang dari Solo.
Petualangannya menjelajah Indonesia pun telah usai.
Singkat cerita kami menemui Clement dan Elise saat mereka
tiba kembali di Jakarta. Tawa kami untuk lelucon satu sama lain masih sama
lepasnya seperti di Sawai. Kami mengajak mereka ke kawasan Kota Tua Jakarta,
kami traktir mereka makan malam dan mereka traktir kami sebotol Red Wine. Yang
saya ingat kami mengobrol soal kepercayaan dan ketidakpercayaan kami pada institusi
pernikahan, dan negara yang mengatur soal agama malam itu. Obrolan kami masih
sama lugasnya seperti di Sawai, tidak ada yang berubah.
Perpisahan malam itu kami tandai dengan sepasang batik untuk
Clement dan Elise. Ada pula doa untuk keselamatan penerbangan mereka kembali ke
Perancis serta harapan semoga kami bisa bertemu suatu hari nanti di bagian
dunia yang lain.
Vous voir!
Sayonara!
Courtesy of : Indra AW |
PS : Alasan Clement dan Elise memilih Indonesia sebagai
tujuan perjalanan 6 bulan-nya adalah karena hanya di negeri ini penjelajahan
dari Timur hingga ke Barat-nya yang mampu menghadirkan berbagai macam
pengalaman, pemandangan alam serta budaya. Elise bilang dari pengalaman ini dia
banyak berhenti dan berpikir ulang tentang kehidupan.
Pertemanan yang indah. Ingin saya bersama waktu itu .....
BalasHapus