Believing is not how you understand something
Pernah suatu hari saya menonton tayangan "The Biggest Mystery on Earth" di saluran luar negeri yang merangking mundur 15 misteri terbesar di dunia. Awalnya saya nonton santai menikmati ulasan Si Tayangan, hitungan mundur ini dimeriahkan oleh ulasan tentang Alienlah, Crop Circle-lah, hingga makhluk-makhluk misterius seperti Big Foot, Yeti dan Loch Ness. Saya mulai gelisah saat tayangan tersebut menempatkan Tuhan di rangking kedua.
Saya menduga Tuhan pasti misteri terbesar pertama di atas muka bumi ini. Apa lagi yang bisa mereka tempatkan di posisi teratas sebagai misteri paling misterius di dunia? Saya tertantang untuk menunggu ranking pertama versi mereka.
"And the biggest mystery on earth is..." voice over menggiring rasa penasaran semakin dalam. Tayangan ini mendramatisir dengan baik penyajian si misteri nomor satu ini. Seisi layar televisi menampilkan gambar alam semesta, dengan titik-titik bintang bertabur di kedalaman jarak tak terhingga, sepi dan misterius sekali. Pada satu detik, setitik cahaya muncul di kejauhan, perlahan terang ini mendekat, semakin dekat hingga terasa menyilaukan. Diiringi scoring menggugah, seketika muncullah jawaban itu...
Tayangan ini sukses mengobrak-abrik keimanan saya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan yang bertubi-tubi diajukannya. Tentang penjelasan logis zat penyusun sel telur dan sel sperma yang bisa menjelma jadi embrio-lah, tentang jiwa dan raga-lah, tentang kematian hingga pertanyaan tentang tujuan diciptakannya kehidupan.
Sejak hari itu, saya seperti mulai menyusun rapi puzzle tentang kehidupan. Keping demi keping disambung untuk mencoba melihat sebuah gambar yang utuh.
---
Tidak pernah ada riset perjalanan sefiktif ini sebelumnya.
Saya mengarahkan riset perjalanan saya kali ini ke Pulau
Sulawesi. Dan saya menemukan sebuah artikel yang bercerita tentang sebuah
tempat di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, kurang lebih 100 kilometer jauhnya
di Utara Makassar, dengan waktu tempuh kira-kira tiga setengah sampai empat jam
mengendarai mobil. Tapi artikelnya seperti cerita fiksi. Satu bagian membuat
dahi berkernyit, bagian lain membuat sedikit bergidik.
http://news.liputan6.com/read/59205/tobelo-manusia-belang-kutukan-sang-dewa |
Tapi semakin terasa fiktif, semakin terasa layak untuk disinggahi. Apalah artinya misteri tanpa rasa penasaran yang diundangnya, kan? Mari berangkat!
Pegunungan Bulu Pao di Kabupaten Barru jadi tujuan saya kali ini.
Dari Makassar perjalanan kami lanjutkan ke utara. Hingga kabupaten Barru yang memakan waktu kira-kira 3 jam, perjalanan belum terlalu menantang. Perjalanan jadi lebih beresiko saat mulai mendaki dari desa di kaki gunung. Mobil bergardan ganda yang kami tumpangi harus melipir jalur sempit yang berbatasan langsung dengan jurang-jurang dalam. Belum lagi di beberapa titik, jalur yang memang hanya muat untuk satu mobil ini longsor. Kami harus menangguhkan kembali pondasi jalan tanah ini dengan batu-batuan dan batang kayu.
Perjalanan kali ini tidak seperti membawa misi dokumentasi budaya, lebih terasa jadi Agen Murder atau Agen Scully-nya X-Files. Semakin jauh perjalanannya pun teman-teman kru semakin sering bertanya kepada saya. Sedikit mengancam kalau-kalau Tobalo yang dicari sebenarnya tidak ada.
Empat jam kami habiskan di jalur pendakian, yang setelah kami ketahui baru kali ini dilalui mobil. Dan tibalah kami di tahap perjalanan terakhir, berjalan kaki mendaki dan menuruni bukit mendatangi pondok demi pondok untuk bertemu dengan salah satu Tobalo. Anggaplah ini tempat persembunyian Tobalo, tapi bisa jadi ini tempat pengasingan diri yang paling membahagiakan. Mari lihat apa yang terbentang sejauh mata kami memandang saat kami berhenti untuk mengambil nafas sejenak di tengah pendakian kami.
Sosok Tobalo pertama yang saya temui adalah seorang ibu di sebuah pondok kecil, sosoknya pemalu dan pendiam, Ibu Samina. Setelah memohon ijin, beliau mengantar kami ke pondok Sang Kakak, sosok yang menjadi kepala atau yang dituakan para Tobalo saat ini. Perasaan sedikit lega saat kami diterima dengan hangat, terjawab sudah Tobalo bukan mitos. Keluarga itu ada bersama kami sekarang, bertukar cerita.
Menurut saya Tobelo bukan suku, mereka lebih merupakan satu keluarga keturunan Bugis namun berbahasa berbeda, yaitu bahasa Bentong. Konon, bahasa ini pun sulit dimengerti oleh siapapun. Beberapa hari kami habiskan bersama Pak Nuru dan keluarga, diajari cara memanjat pohon nira untuk mengambil air gula, diajak ke sungai berarus deras untuk mandi, hingga membuat penganan dari air gula resep warisan nenek moyangnya. Menyenangkan sekali.
Ada sebuah cerita yang coba saya yakini ketika bertanya mengenai asal bercak putih yang terus terwaris di tubuh mereka secara turun temurun. Satu cerita berkisah tentang nenek moyang mereka, seorang ksatria yang berhasil menaklukkan sayembara kerajaan di masa lampau untuk menjinakkan seekor kuda istana dan mendapatkan putri raja sebagai istri. Namun karena tak kunjung dikaruniai keturunan, Sang Ksatria bernazar kepada Dewa agar diberikan keturunan sekalipun belang seperti kuda yang dijinakkannya. Sejak hari itulah semua keturunannya hingga hari ini bertubuh belang.
Berusahalah meyakini tapi jangan sekali-sekali menyandingi cerita ini dengan teori-teori genetika. Ilmu pengetahuan bukan bagian dari hidup Tobalo. Dan pernahkah kalian coba bayangkan hidup tanpa ilmu pengetahuan? Tanpa sesuatu yang melatih logika untuk membuat semua jadi apa yang kita pahami sebagai 'masuk akal'.
Saya melamun untuk pengalaman ini dan sempat terlintas : Tanpa ilmu pengetahuan, mungkin iman akan lebih terlatih untuk mengamini dan memahami bahasa-bahasa alam. Bahkan bercak turun temurun Tobalo pun bisa jadi sandi dari Tuhan, untuk kita memahami secuil pelajaran tentang kehidupan. Tentang apa itu? Saya juga belum tau. Toh, dari tadi pun saya bilang mungkin dan bisa jadi.
Saya menyimpan tulisan ini sebagai draft sekian lama. Ada keyakinan catatan perjalanan ini abu-abu, atau membingungkan. Sedikit penjelasan logis yang bisa saya tambahkan untuk bagian-bagian yang saya ceritakan. Posting ini belum saya tambahkan cerita dimana Pak Nuru mengajak kami menyaksikannya menari Sere Api, menunjukkan kekebalannya menari di atas api.
Atau apa jawaban mereka atas konfirmasi isi paragraf terakhir artikel di atas yang membuat saya bergidik? Ah, biarlah beberapa misteri ditinggal sebagai misteri.
Dari Makassar perjalanan kami lanjutkan ke utara. Hingga kabupaten Barru yang memakan waktu kira-kira 3 jam, perjalanan belum terlalu menantang. Perjalanan jadi lebih beresiko saat mulai mendaki dari desa di kaki gunung. Mobil bergardan ganda yang kami tumpangi harus melipir jalur sempit yang berbatasan langsung dengan jurang-jurang dalam. Belum lagi di beberapa titik, jalur yang memang hanya muat untuk satu mobil ini longsor. Kami harus menangguhkan kembali pondasi jalan tanah ini dengan batu-batuan dan batang kayu.
Perjalanan kali ini tidak seperti membawa misi dokumentasi budaya, lebih terasa jadi Agen Murder atau Agen Scully-nya X-Files. Semakin jauh perjalanannya pun teman-teman kru semakin sering bertanya kepada saya. Sedikit mengancam kalau-kalau Tobalo yang dicari sebenarnya tidak ada.
Empat jam kami habiskan di jalur pendakian, yang setelah kami ketahui baru kali ini dilalui mobil. Dan tibalah kami di tahap perjalanan terakhir, berjalan kaki mendaki dan menuruni bukit mendatangi pondok demi pondok untuk bertemu dengan salah satu Tobalo. Anggaplah ini tempat persembunyian Tobalo, tapi bisa jadi ini tempat pengasingan diri yang paling membahagiakan. Mari lihat apa yang terbentang sejauh mata kami memandang saat kami berhenti untuk mengambil nafas sejenak di tengah pendakian kami.
Sosok Tobalo pertama yang saya temui adalah seorang ibu di sebuah pondok kecil, sosoknya pemalu dan pendiam, Ibu Samina. Setelah memohon ijin, beliau mengantar kami ke pondok Sang Kakak, sosok yang menjadi kepala atau yang dituakan para Tobalo saat ini. Perasaan sedikit lega saat kami diterima dengan hangat, terjawab sudah Tobalo bukan mitos. Keluarga itu ada bersama kami sekarang, bertukar cerita.
Menurut saya Tobelo bukan suku, mereka lebih merupakan satu keluarga keturunan Bugis namun berbahasa berbeda, yaitu bahasa Bentong. Konon, bahasa ini pun sulit dimengerti oleh siapapun. Beberapa hari kami habiskan bersama Pak Nuru dan keluarga, diajari cara memanjat pohon nira untuk mengambil air gula, diajak ke sungai berarus deras untuk mandi, hingga membuat penganan dari air gula resep warisan nenek moyangnya. Menyenangkan sekali.
Ada sebuah cerita yang coba saya yakini ketika bertanya mengenai asal bercak putih yang terus terwaris di tubuh mereka secara turun temurun. Satu cerita berkisah tentang nenek moyang mereka, seorang ksatria yang berhasil menaklukkan sayembara kerajaan di masa lampau untuk menjinakkan seekor kuda istana dan mendapatkan putri raja sebagai istri. Namun karena tak kunjung dikaruniai keturunan, Sang Ksatria bernazar kepada Dewa agar diberikan keturunan sekalipun belang seperti kuda yang dijinakkannya. Sejak hari itulah semua keturunannya hingga hari ini bertubuh belang.
Berusahalah meyakini tapi jangan sekali-sekali menyandingi cerita ini dengan teori-teori genetika. Ilmu pengetahuan bukan bagian dari hidup Tobalo. Dan pernahkah kalian coba bayangkan hidup tanpa ilmu pengetahuan? Tanpa sesuatu yang melatih logika untuk membuat semua jadi apa yang kita pahami sebagai 'masuk akal'.
Saya melamun untuk pengalaman ini dan sempat terlintas : Tanpa ilmu pengetahuan, mungkin iman akan lebih terlatih untuk mengamini dan memahami bahasa-bahasa alam. Bahkan bercak turun temurun Tobalo pun bisa jadi sandi dari Tuhan, untuk kita memahami secuil pelajaran tentang kehidupan. Tentang apa itu? Saya juga belum tau. Toh, dari tadi pun saya bilang mungkin dan bisa jadi.
Saya menyimpan tulisan ini sebagai draft sekian lama. Ada keyakinan catatan perjalanan ini abu-abu, atau membingungkan. Sedikit penjelasan logis yang bisa saya tambahkan untuk bagian-bagian yang saya ceritakan. Posting ini belum saya tambahkan cerita dimana Pak Nuru mengajak kami menyaksikannya menari Sere Api, menunjukkan kekebalannya menari di atas api.
Atau apa jawaban mereka atas konfirmasi isi paragraf terakhir artikel di atas yang membuat saya bergidik? Ah, biarlah beberapa misteri ditinggal sebagai misteri.
Pernah ketemu satu orang, waktu itu saya lagi cek lapangan untuk lomba cross country yang jalurnya dari Barru, Bone, Pangkep
BalasHapus