Patriotisme tidak tumbuh dari hipokrisi dan slogan.
Seseorang dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia
mengenal objeknya.
Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan
dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.
Soe Hok Gie (17 Desember 1942 – 16 Desember 1969)
Perjalanan saya dan teman-teman dari kota Pontianak
sudah hampir mencapai 6 jam, jadi kami putuskan untuk menepi sebentar di satu
dari sedikit rumah makan yang ada di tepi jalur yang kami lintasi. Makan siang
(yang sudah sangat lewat dari waktunya) sambil meluruskan badan yang pegal
karena kelamaan duduk di dalam mobil.
Sambil beristirahat, pemandangan inilah yang tersuguh di hadapan kami, Sungai
Kapuas yang mengalir berdampingan dengan jalan yang kami lalui membelah
Kalimantan Barat. Serta selebat-lebatnya hutan belantara di seberangnya.
Sempat tercetus ide di dalam kepala untuk menyeberangi
sungai dan mencari sebuah perkampungan tradisional Dayak di dalam hutan Kapuas ini saja, tapi
sebelum ide sempat terlontar, Produser saya sudah memberi instruksi untuk kembali
melanjutkan perjalanan yang tinggal 3 jam.
Tujuan kami adalah Ensaid Panjang, sebuah dusun yang
terletak di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, tempat bermukim bagi komunitas
Dayak Desah. Di sini masih berdiri rumah panjang (rumah tradisional Suku Dayak)
yang ditempati turun-temurun sejak jaman nenek moyang mereka. Satu dari sedikit
rumah panjang yang masih lestari.
Bagi saya, seberapa luasnya Ensaid Panjang adalah
sebesar Rumah Betang, nama bagi rumah panjang tradisional Suku Dayak Desah.
Karena di dalam rumah sepanjang 120 meter inilah seluruh masyarakatnya tinggal
dan menghabiskan hari.
Bagi masyarakat Dayak, rumah panjang atau rumah batang
adalah jantung kehidupannya. Hampir semua kegiatan dilakukan di dalam rumah dan
banyak hal yang membuat saya takjub! Salah satunya adalah alat pengupas kulit
padi tradisional yang tidak hanya terdapat di dalam rumah, tapi jelas-jelas alat
ini terhubung dengan struktur Rumah Betang. Pengoperasiannya pun unik, seperti
kemudi sepeda yang digerakkan memutar sedikit ke kanan dan ke kiri, lalu
biji-biji padi yang sudah terkupas dari kulitnya akan keluar dari bagian bawah
si alat.
Atau sekelompok ibu yang setiap pagi hari sudah sibuk
menenun kain tradisional mereka. Kain tenun tradisional banyak saya temui di
Nusa Tenggara, tetapi Suku Dayak yang menenun kain tradisional mereka baru saya
jumpai di sini. Bermacam alat dikeluarkan, salah satu sudut Rumah Betang pun jadi
sangat hidup dengan ada yang memintal dan menggulung benang, menenun, sambil
tentu saja berceloteh khas para ibu. Tentang dapur, tentang resep makanan baru,
tentang anak-anak, bahkan tentang kami, para tamu yang datang.
Tidak ada yang memperlihatkan dirinya lebih tinggi atau
lebih rendah dalam kelas ekonomi di dalam Rumah Betang. Memang ada 28 bilik
yang menjadi ruang tinggal bagi masing-masing keluarga, tapi tidak pernah ada
alasan untuk tidak berbagi. Bahkan untuk keperluan dokumentasi kebudayaan
mereka yang kami lakukan pun, seisi rumah jadi sibuk mengadakan apapun yang
kami perlukan. Karena persamaan itulah, Rumah Betang memberikan rasa kehangatan
komunitas. Setidaknya itulah kesan yang saya tangkap.
Konon, konsep rumah panjang ini juga sangat aman baik
dari alam, hewan maupun musuh-musuh pada masa lampau. Kalau untuk keamanan dari
bentuk rumah mungkin bisa Anda lihat dan nilai sendiri. Tapi cobalah berkunjung
ke Ensaid Panjang jika ada kesempatan, untuk merasakan keamanan yang hadir
dengan cara lain. Di sini, keamanan hadir dari kebersamaan komunitas. Bukan
sekedar dari rumah yang dibikin
panggung, letak pintu atau bentuk dinding penutup rumah.
Prihatin mendengar kabar bahwa di beberapa tempat rumah
panjang tidak lagi ada. Dan hal ini memang menggeser kehidupan sosial budaya
masyarakat Dayak menjadi sendiri-sendiri.
Sambil prihatin, saya kagum juga dengan nenek moyang kita, arsitek rumah
panjang ini, sejak dulu mereka tau model rumah seperti inilah yang paling sanggup
mempertahankan kekerabatan anak-cucunya menantang masa kini yang memang
cenderung menjadikan manusia untuk hidup sendiri-sendiri.
Mereka sebenarnya sudah menyiapkan perlindungan.
|
harus tetep di lestarikan peninggalan budaya ini, sebagai bukti kalo negeri kita kaya akan beragam suku dan bisa harmonis
BalasHapusyup, seperti yg saya rasakan, ketika saya melakukan perjalanan sambil mengamati rumah" adat, hampir di setiap daerah rumah" adat setempat sudah jarang terlihat, namun yg ada adalah rumah" gedong dengan corak yg sama semuanya, mungkin suatu saat nanti kalo rumah" adat tidak dilestarikan akan berganti menjadi rumah nasional dengan satu corak yg sama
BalasHapusMau nanya, kalo dari fotonya nih kayaknya semua masyarakatnya pake kain tenun yang dibuat sendiri. Ini memang kehidupan sehari-harinya seperti ini apa mereka menggunakannya dalam rangka kedatangan tim 'ethnic runaway'?
BalasHapussehari-hari masyarakat disana berpakaian seperti biasa. beberapa ibu memakai kain tenun hanya untuk penutup bawah setiap hari, dan dalam upacara adat mereka memakai kain adatnya ini.
Hapusgambar-gambar ini bagian dari keperluan pengambilan gambar ethnic runaway. dalam beberapa adegannya memang diseragamkan memakai kain tenun ini. :)